BAB I
A. LATAR
BELAKANG
Pada
zaman yang semakin maju seperti sekarang ini. Perbedaan menjadi hal yang lumrah
terjadi di antara para pakar. Salah satunya termasuk para pakar agama islam.
Dalam memutuskan suatu permasalahan mempunyai pendapat masing-masing dengan
rujukan yang berbeda. Sehingga berimbas pada terbaginya umat menjadi beberapa
halaqah yang sering berpegang teguh pada pendapat masing-masing dan menganggap
salah pendapat lainnya. Masalah yang paling sering terjangkau oleh masyarakat
dari berbagai kalangan tanpa terkecuali adalah penentuan awal dan akhir Rhamadhan
di setiap tahunnya. Umat islam di berbagai belahan dunia yang tidak mukim di
negara islam biasa mengawali dan mengakhiri puasa Rhamadhan pada hari yang
berbeda. Sehingga perpecahan umat terlihat dengan jelas. Walaupun banyak pihak
yang mengemukakan toleransi dengan perbedaan itu. Namun kita sebagai umat islam
tidak bisa memungkiri hati nurani kita untuk melalui Rhamadhan secara serempak.
Selain untuk menghindari perpecahan, hal ini juga bertujuan untuk syiar islam.
Sering kali umat islam menggembor-gemborkan bahwasannya islam itu adalah agama
rahmatan lilalamin. Namun umat islam sendiri seringkali berselisih karena
masalah-masalah agama. Dengan terjadinya hal ini penulis merasa malu pada umat
non muslim. Sehingga pada tulisan ini penulis ingin mengungkapkan metode-metode
yang di pakai di zaman Rasulullah.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
dasar hukum metode hisab dalam menentukan awal dan akhir rhamadhan?
2.
Apa
dasar hukum metode ru’yat dalam menentukan awal dan akhir rhamadhan?
C. TUJUAN
1.
Membantu
masyarakat untuk mengetahui sumber hukum dari berbagai metode dalam penentuan
awal dan akhir bulan rhamadhan.
2.
Memberi
pandangan pada masyarakat dalam memilih
metode yang paling sesuai denga syariat.
BAB II
PEMBAHASAN
Allah SWT memerintahkan kaum muslim untuk
mencontoh dan mengikuti Rasul dalam menjalankan syari’at. Termasuk dalam
memulai dan mengakhiri puasa Rhamadhan yang termasuk ibadah uatama umat muslim.
Oleh karena itu Rasulullah dengan tegas mengajarkan cara penentuan awal dan
akhir Rhamadhan dengan menggunakan ru’yat (melihat hilal) dengan mata atau
menggenapkan bilangan bulan menjadi 30 hari jika tidak memungkinkan
dilakukannya ru’yat. Sebagaimana hadis mutawatir dengan sanad shahih dari
hadits Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Umar bin al-khatthab, dll. Bahwa
Rasulullah bersabda:
“
Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihat bulan. Jika kamu
terhalang mendung dalam melihat bulan, maka sempurnakanlah menjadi 30 hari.”
Demikianlah contoh dan ajaran beliau dalam
menentukan awal dan akhir bulan Rhamadhan. Sehingga dalam menentukannya bergantung
pada ru’yat hilal. Tidak berpuasa kecuali dengan melihatnya dan
tidak berbuka dari Ramadhan kecuali dengan melihatnya langsung dan seandainya
melihat dengan alat teropong dan alat-alat yang dapat memperjelas penglihatan
maka itu dianggap sebagai penglihatan dengan mata.
Dari keterangan
di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Hisab tidak bisa di jadikan sandaran dalam
menentukan awal dan akhir Rhamadhan. Sebagaimana pendapat para pakar:
1. Imam
Ibnu Daqiqil Ied yang berkata: Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh
dijadikan sandaraan dalam puasa.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Tidak
diragukan lagi hal ini telah ditetapkan dengan dasar sunnah yang shahih dan
atsar para sahabat, sungguh tidak boleh bersandar kepada hisab.
Ketika
mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ ”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata
:‘Pada mereka (bangsa Arab) ada orang yang dapat menulis dan mengetahui hisab,
(dinamakan umiyun) karena yang menulis sangat sedikit sekali.
Yang dimaksud
hisab dalam hadits ini adalah hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka
hanya sedikit yang mengerti hal ini, sehingga hukum berpuasa dan lainnya
tergantung kepada rukyah agar tidak menyulitkan mereka karena sulitnya hisab.
Lalu hukum ini
berlaku terus pada puasa walaupun setelahnya banyak orang yang telah mengetahui
hisab. Bahkan dzahir hadits dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal
ini dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ….. dan tidak menyatakan: “Tanyalah kepada
Ahli Hisab!”.
Lalu beliau
berkata lagi: ‘Sebagian kaum berpendapat merujuk kepada ahli hisab. Mereka
adalah Syiah Rafidhah, dan
dinukilkan dari sebagian ahli fiqih bahwa mereka menyetujuinya.
Al Baaji berkata: ‘Ijma’ Salaush Shalih sudah
menjadi hujjah atas mereka’. Dan Ibnu Bazizah berkata: ‘Ini adalah madzhab yang
batil, sebab syari’at telah melarang memperdalam ilmu perbintangan, karena ia
hanyalah persangkaan dan hipotesa semata tidak ada kepastian dan tidak juga
perkiraan yang rajih (zhann rajih). Ditambah lagi seandainya perkara puasa
dihubungkan dengannya. Maka tentulah menyulitkan, karena yang mengetahuinya
sedikit sekali.
Dewasa ini
penggunaan Hisab dalam menentukan awal dan akhir Rhamadhan mulai marak di
gunakan oleh beberapa firqah. Mereka mencari-cari dalil yang mendukung argumen
mereka. Adapun beberapa dalil yang mereka gunakan akan di jabarkan di bawah
ini:
1.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Yunus : 5)
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (Yunus : 5)
Ayat yang mulia
ini tidak menunjukkan bahwa syari’at menganggap hisab sebagai sarana dalam
penentuan awal bulan. Ayat ini hanya menjelaskan fungsi manzilah-manzilah bulan
dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu dan ini dijelaskan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melihat hilal.
Sedangkan firmanNya: (لِتَعْلَمُوا ) tidak berhubungan dengan sifat matahari dan bulan namun berhubungan dengan taqdir manaazil (ketentuan manzila bulan).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: Firman Allah (لِتَعْلَمُوا) berhubungan dengan firmanNya (َقَدَّرَهُ ) bukan kepada (جَعَلَ ) karena sifat matahari bersinar dan bulan bercahaya tidak memiliki pengaruh dalam mengenal bilangan tahun dan hisab. Juga karena Allah tidak menggantung kepada matahari dalam perhitungan bulan dan tahun dan hanya menetapkannya dengan hilal, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat. Demikian juga karena Allah berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّماَوَاتِ وَاْلأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram”. (at-Taubah :36)
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhabarkan jumlah bulan adalah 12, sehingga diketahui bahwa bulan-bulan tersebut diketahui dengan hilal.
Dengan demikian keumuman ayat ini tidak menunjukkan i’tibar hisab dalam penentuan bulan menurut syari’at.
2.
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika melihatnya kembali maka berbukalah (ber hari raya ‘ied), lalu jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya) maka perkirakanlah bulan tersebut.”
Melihat
bentuk kata faqdurulah yang artinya maka perkirakanlah, adalah bentuk amar
(perintah) yang dalam hal ini juga hadits (sabda Nabi) yang berkedudukan
sebagai dalil. Sehingga menggunakan ilmu hisab, berarti pengamalan terhadap
ayat al Qur’an dan hadits. Jadi penggunaan hisab itu bukanlah rekaan terhadap
urusan agama (bid’ah).
Menurut ahli bahasa Arab, kata faqdurulah berasal dari makna taqdir yaitu tentukanlah bukan perkirakanlah, sebagaimana firman Allah :
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
“Lalu
Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan”.(al-Mursalat
:23)
Kemudian makna ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri melalui perawi hadits diatas yaitu Ibnu Umar dan yang lainnya bahwa makna faqdurullah tersebut adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban tiga puluh hari.
Sehingga
bila kita mau mengamalkan hadits ini maka harus membawa maknanya kepada hadits
yang lain bukan sekedar mendapatkan sesuatu yang dianggap mendukung pendapatnya
lalu tidak mau berhujah dengan tafsirnya yang juga berasal dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
sikap
yang benar terhadap hadits-hadits seperti ini adalah dengan membawa sesuatu
yang muthlak kepada penjelasnya, sehingga makna faqdurullah difahami dengan
makna menyempurnakan bulan, barulah kemudian dianggap telah mengamalkan hadits
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kemudian seandainya kata faqdurullah dalam hadits ini dimaknai kira-kira dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat melihat hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya.
Kemudian seandainya kata faqdurullah dalam hadits ini dimaknai kira-kira dengan ilmu hisab, maka hadits ini membolehkannya setelah tidak dapat melihat hilal karena mendung dan sejenisnya, bukan sebelumnya.
Sedangkan mereka yang menjadikan hisab sebagai standar penentuan awal Ramadhan tidaklah demikian. Tetapi mereka menentukannya jauh sebelum waktu rukyat dan tidak melihat mendung atau cerah keadaan langitnya.
3.
Dari segi sejarah dapat kita pelajari uraian
kitab Bidayatul Mujtahid. Disebutkan bahwa penggunaan hisab oleh ulama sejak
masa sahabat atau tabi’in. Kalau dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dengan
rukyat tidak berhasil karena mendung maka digunakan hisab. Hal ini dilakukan
oleh sebagian ulama salaf dan dipelopori oleh seorang senior tabi’in yang
bernama Mutharif bin Asy Syahr.
BAB III
A. KESIMPULAN
Dalam menentukan awal dan akhir puasa Rhamadhan,
syari’at hanya memberikan dua cara. Yaitu dengan ru’yat atau menggenapkan hari
menjadi 30 hari ( jika rukyat tidak mungkin untuk di lakukan).
B. SARAN
Dalam menentukan awal dan akhir bulan
Rhamadhan hendaknya kita menggunakan metode ru’yat sebagaimana yang di lakukan
Rasulullah saw. Adapun metode Hisab juga bisa digunakan dalam mendukung metode
ru’yat. Sebagaimana yang digunakan dalam menentukan jadwal shalat fardhu di
setiap harinya.
C. DAFTAR
PUSTAKA
Durusul
falakiyah karangan syeih Ma’sum bin Ali.
Bulugul
Maram al-Hafidh bin Hasan al-asqolani
Penulis: Sofa Azizah, Siswi Kelas XII IPA 1,
MAN Insan Cendekia Gorontalo.
0 Comments:
Posting Komentar