بسم الله الرحمن الرحيم
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (٥٦)
Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (QS.Adz-Dzariyat: 56)
Berawal dari sebuah
keyakinan yang pasti bahwa tidaklah Allah swt menciptakan jin dan manusia
melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya. Karena tujuan hidup manusia adalah
jelas untuk beribadah maka tak sedikitpun waktu terlewatkan melainkan di
dalamnya terkandung nilai-nilai ibadah sebagai bukti totalitas penghambaan kita
kepada Allah swt. Akan tetapi tidak cukup dengan keyakinan saja, namun harus
dibarengi dengan ilmu yang mendukung terhadap amalan ibadah tersebut yang
bersumber dari Kalam Allah swt dan sunah Rasulullah saw. Berikut ini akan
dijelaskan seluk beluk tentang ibadah, kiranya dapat menambah wawasan keilmuan
islam dan sebagai bukti bahwa ibadahnya kita bukan hanya ikut-ikutan namun atas
dasar ikhlas karena Allah dan sesuai dengan apa-apa yang dibawa Baginda
Rasulullah saw dalam sunah-sunah beliau.
A. DEFINISI IBADAH
Ibadah secara etimologi berarti
merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak
definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah itu antara lain :
1.
Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya
(yang digariskan) melalui lisan para Rasul-Nya,
2.
Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah , yaitu tingkatan ketundukan yang
paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi,
3.
Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah
, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin. Ini adalah
definisi ibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah
hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah
(cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah
ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji,
dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak
lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan
penciptaan manusia, Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun
dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi
Sangat Kokoh.” (QS.
Adz-Dzariyat: 56-58)
Allah memberitahukan,
hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada
Allah . Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi
merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah ,
maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang
menolak beribadah kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya
tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku
bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah
mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).
B. MACAM-MACAM IBADAH
DAN KELUASAN CAKUPANNYA
Ibadah itu banyak macamnya. Ia
mencakup semua ketaatan yang nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir
dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil, dan membaca Al-Qur’an; shalat,
zakat, puasa, haji, jihad, amar ma’ruf nahi munkar, berbuat baik kepada
kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Begitu pula cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya, khassyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali)
kepada-Nya, ikhlas kepada-Nya, sabar terhadap hukum-Nya, ridha dengan
qadha’-Nya, tawakkal, mengharap nikmat-Nya dan takut dari siksa-Nya.
Jadi, ibadah mencakup seluruh
tingkah laku seorang mukmin jika perbuatan itu diniatkan sebagai qurbah
(pendekatan diri kepada Allah ) atau apa-apa yang membantu qurbah itu. Bahkan
adat kebiasaan yang dibolehkan secara syari’at (mubah) dapat bernilai ibadah
jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepada-Nya. Seperti tidur, makan,
minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai
kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah
yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas pada
syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal semata.
C. PAHAM-PAHAM YANG
SALAH TENTANG PEMBATASAN IBADAH
Ibadah adalah perkara tauqifiyah.
Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti
bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Barang
siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” (HR. Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)
Maksudnya, amalnya ditolak dan
tidak diterima, bahkan ia berdosa karenanya. Sebab amal tersebut adalah
maksiat, bukan taat.
Kemudian manhaj (jalan) yang
benar dalam melaksanakan ibadah yang disyari’atkan adalah sikap pertengahan.
Tidak meremehkan dan malas, serta tidak dengan sikap ekstrim dan melampaui
batas. Allah berfirman kepada Nabi-Nya , “Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui
batas.” (QS. Hud:
112)
Ayat Al-Qur’an ini adalah garis
petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan ber-istiqomah
dalam melaksanakan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang atau lebih, sesuai
dengan petunjuk syari’at (sebagaimana yang diperintahkan). Kemudian pada akhir
ayat, Allah menegaskan lagi dengan firman-Nya, “Dan janganlah kamu
melampaui batas.”
Tughyan adalah melampaui batas dengan bersikap
terlalu keras dan memaksakan kehendak serta megada-ada. Ia lebih dikenal dengan
ghuluw.
Ketika Rasulullah
mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw dalam
ibadah, dimana seorang dari mereka berkata, “Saya akan terus berpuasa dan
tidak berbuka”, yang kedua berkata, “Saya akan shalat terus dan tidak
tidur”, lalu yang ketiga berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita”, maka
beliau bersabda, “Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat
dan saya tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barang siapa tidak menyukai
jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)-ku.” (HR. Bukhari no. 4675
dan Muslim no. 2487)
Ada 2 golongan yang saling
bertentangan dalam soal ibadah :
1. Golongan pertama: Yang
mengurangi makna ibadah serta meremehkan pelaksanaannya. Mereka meniadakan
berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada
syi’ar-syi’ar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid
saja. Menurut mereka tidak ada ibadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang
sosial, juga tidak dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara
kehidupan lainnya.
Memang masjid mempunyai
keistimewaan dan harus dipergunakan dalam shalat fardhu lima waktu. Akan tetapi
ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar
masjid.
2. Golongan kedua: Yang bersikap
berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai pada batas ekstrim, yang sunnah
sampai mereka angkat menjadi wajib, sebagaimana yang mubah (boleh) mereka
angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi
jalan (manhaj) mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lainnya.
Padahal sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Nabi Muhammad dan seburuk-buruk perkara adalah yang
bid’ah.
D. PILAR-PILAR UBUDIYAH
YANG BENAR
Sesungguhnya ibadah itu
berlandaskan pada tiga pilar sentral, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut) dan
raja’ (harapan).
Rasa cinta (hubb) harus dibarengi
dengan sikap rasa rendah diri, sedangkan khauf (takut) harus dibarengi dengan
raja’ (harapan). Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah
berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin, “Dia
mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.” (QS. Al-Maidah: 54).
Dan juga firman-Nya, “Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Dalam perkara ini, Allah
juga berfirman menyifati para Rasul dan Nabi-Nya, “Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan
cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 90)
Sebagian salaf berkata, “Siapa
yang menyembah Allah dengan rasa hubb (cinta) saja maka dia zindiq
(istilah untuk setiap munafik, orang yang sesat dan mulhid). Siapa yang
menyembah-Nya dengan raja’ (harapan) semata maka ia adalah murji’ (orang
Murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan dari iman. Iman hanya
dengan hati saja). Dan siapa yang menyembah-Nya hanya dengan khauf (takut)
saja, maka dia adalah harury (orang dari golongan Khawarij, yang pertama kali
muncul di Harurro’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang
berdosa adalah kafir). Siapa yang menyembah-Nya dengan hubb, khauf dan raja’
maka dia adalah mukmin muwahhid”.
Hal ini disebutkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Risalah Ubudiyah. Beliau juga berkata,
“Dien Allah adalah menyembah-Nya, taat dan tunduk kepada-Nya. Asal makna ibadah
adalah adz-dzull (hina). Dikatakan “طريق معبّد” jika jalan itu dihinakan dan
diinjak-injak oleh kaki manusia. Akan tetapi ibadah yang diperintahkan
mengandung makna dzull (hina/merendahkan diri) dan hubb (cinta). Yakni
mengandung makna dzull yang paling dalam dengan hubb yang paling tinggi kepada
Allah . Siapa yang tunduk kepada seseorang dengan perasaan benci kepadanya,
maka ia bukanlah menghamba (menyembah) kepadanya. Dan jika ia menyukai sesuatu
tetapi tidak tunduk kepadanya, maka iapun tidak menghamba (menyembah)
kepadanya. Sebagaimana seorang ayah mencintai anak atau rekannya. Karena itu
tidak cukup salah satu dari keduanya dalam beribadah kepada Allah , tetapi
hendaklah Allah lebih dicintainya dari segala sesuatu dan Allah
lebih diagungkan dari segala sesuatu. Tidak ada yang berhak mendapat
mahabbah (cinta) dan khudu’ (ketundukan) yang sempurna selain Allah .”
(Majmu’ah Tauhid Najdiyah, 542). Inilah pilar-pilar kehambaan yang merupakan
poros segala amal ibadah.
Ibnu Qayyim rahimullah berkata
dalam “Nuniyyah-nya”, “Ibadah kepada Ar-Rahman adalah cinta yang dalam
kepada-Nya, beserta kepatuhan menyembah-Nya. Dua hal ini adalah ibarat dua
kutub. Di atas keduanyalah orbit ibadah beredar. Ia tidak beredar sampai kedua
kutub itu berdiri tegak. Sumbunya adalah perintah (perintah Rasul-Nya). Bukan
hawa nafsu dan setan.”
Ibnu Qayyim rahimullah
menyerupakan beredarnya ibadah di atas rasa cinta dan tunduk bagi yang
dicintai, yaitu Allah dengan beredarnya orbit di atas dua kutubnya.
Beliau juga menyebutkan bahwa beredarnya orbit ibadah adalah berdasarkan
perintah rasul dan syari’atnya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan setan. Karena
hal yang demikian bukanlah ibadah. Apa yang disyari’atkan baginda Rasul
itulah yang memutar orbit ibadah. Ibadah tidak diputar oleh bid’ah, nafsu
dan khurafat.
E. SYARAT DITERIMANYA
IBADAH
Pembaca yang budiman, untuk
melengkapi pembahasan ini, kami ingatkan lagi dengan syarat diterimanya ibadah.
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar
kecuali dengan ada syarat :
1.
Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil,
2.
Sesuai dengan tuntunan Rasulullah .
Syarat pertama adalah merupakan
konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallah, karena ia mengharuskan ikhlas
beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya.
Sedangkan syarat yang kedua
adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau
ibadah-ibadah yang diada-adakan. Allah berfirman, “(Tidak
demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112)
Dalam ayat diatas disebutkan
“menyerahkan diri” (aslama wajhahu) artinya memurnikan ibadah kepada Allah .
Dan “berbuat kebajikan” (wahuwa muhsin) artinya mengikuti Rasul-Nya .
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Inti agama ada dua pokok yaitu kita
tidak menyembah kecuali kepada Allah , dan kita tidak menyembah kecuali dengan
apa yang dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah. Sebagaimana Allah
berfirman, “Barang siapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110). Yang demikian
adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah
dan Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak
menyembah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua bahwasannya Muhammad adalah
utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan
mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau telah
menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah , dan beliau melarang kita
dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa bid’ah itu sesat”
(Al-Ubudiyah, hal 103; ada dalam Majmu’ah Tauhid, hal. 645)
Rujukan : Kitab Tauhid
lish-Shafil Awwal karya Dr. Shalih Al-Fauzan
0 Comments:
Posting Komentar