PENDAHULUAN
Pada
zaman modern seperti sekarang ini, terdapat berbagai macam bentuk kehidupan
yang telah terjadi. Setiap manusia memiliki kehidupan yang berbeda-beda dan harus
dijalani. Sebagaimana kehidupan yang akan dijalani dan setiap manusia memiliki
keinginan agar kehidupan mereka bisa berjalan sesuai dengan apa yang mereka
harapkan. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi banyak kehidupan yang berjalan
tidak sesuai dengan apa yang di inginkan.
Kehidupan
manusia yang di penuhi dengan berbagai macam keinginan, membuat manusia menjadi
lupa diri dan sering melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan,
baik aturan agama ataupun aturan Negara untuk mendapatkan setiap keinginan yang
mereka inginkan. Al-Quran telah mengatur berbagai kehidupan yang akan di jalani
oleh manusia.
Aturan
ini bisa membuat setiap manusia dapat hidup dengan kehidupan yang lurus dan
selalu berada di jalan yang benar, yaitu Shiratul
mustaqim. Oleh karena itu, marilah kita menjaga diri kita agar senantiasa
bisa mengontrol nafsu akan keinginan-keinginan yang berlebihan.
ISI
Ketika seorang hamba melihat dengan akalnya tanpa
terpengaruh oleh hawa, maka segala sesuatu akan tampak sebagaimana hakikatnya.
Namun jarang yang dapat melihat dengan cara demikian, karena hawa terlalu
menguasai nafs, dan nafs sangat sulit untuk melepaskan diri dari kekuasaan
hawa. Bahkan karena demikian tersembunyi dan sulit dipahami, maka manusia tidak
dapat merasakan kehadiran hawa. Hanya orang-orang yang berakal unggul
(superior) yang dapat mengetahui keberadaan hawa dalam nafs-nya.
Hawa adalah makanan nafs. Hal ini membuat nafs sangat
bergantung dan sulit melepaskan diri dari cengkeraman hawa. Oleh karena itu,
jauhilah hawa dan bebaskanlah nafs-mu darinya. Sebab, hawa akan menodai agamamu,
sebagaimana dikatakan dalam syair:
Jika kau ikuti hawa,
ia akan menuntunmu
menuju semua perbuatan
yang tercela bagimu.
ia akan menuntunmu
menuju semua perbuatan
yang tercela bagimu.
Jika kamu perhatikan dan beda-bedakan semua peristiwa yang
terjadi, maka akan kamu temukan bahwa hawa-lah yang menjadi sumber segala
fitnah dan bencana dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena, hawa merupakan sumber
kebatilan dan kesesatan. Hawa bak minuman memabukkan. Seseorang yang meneguknya
akan dikuasai oleh minuman itu, dan akan hilang akal sehatnya. Oleh karena itu,
seorang yang pandai harus menyadari hal ini dan berusaha
mematikan hawa-nya dengan mujâhadah dan mukhôlafah (penentangan).
mematikan hawa-nya dengan mujâhadah dan mukhôlafah (penentangan).
Hakikat hawa adalah kecenderungan pada sesuatu yang batil.
Hawa adalah perilaku dan tabiat nafs. Semua kecenderungan nafs pada kebatilan
disebut hawa. Hawa terbagi dua, yaitu:
Pertama, ajakan-ajakan syahwat yang terdapat dalam diri
seseorang, misalnya berbagai hal di atas, yang menipu dan menguasai nafs serta
diperebutkan oleh manusia. Ajakan-ajakan syahwat tersebut hina dan buruk,
karena itulah orang-orang yang memiliki murûah menjauhinya demi menjaga agama,
menyucikan murûah, melindungi kehormatan, dan menjaga akal mereka. Orang-orang
berakal, jika menghadapi tipu daya hawa dan penentangan nafsu, mereka tetap
kokoh, tidak goyah.
Mereka mempertimbangkan akibatnya dengan hati-hati dan tidak
gegabah. Lain halnya dengan orang-orang yang akal dan jiwanya lemah, mereka
akan dikuasai nafs hingga tak dapat berkutik. Hawa akan menjerumuskan mereka ke
dalam perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela. Namun karena hatinya telah
buta, hanyut dimabuk hawa, mereka tidak menyadari berbagai keburukan yang telah
dilakukannya.
Kedua, hawa yang timbul ketika seseorang marah (ghodhob).
Hawa jenis ini merupakan jenis hawa yang paling buruk. Sebab hawa yang timbul
ketika seseorang sedang marah (ghodhob) bersifat memaksa dan sulit diajak
kompromi. Hanya kaum ksatria (abthôl), orang-orang yang berakal sehatlah yang
mampu mengetahui keberadaan hawa ini.
Jenis hawa yang lain adalah (perasaan) yang timbul ketika
seseorang bersikap sombong (kibr) dan congkak. Jenis hawa ini juga buruk,
merusak agama dan menghancurkan amal. Namun pengaruh buruknya lebih ringan
dibandingkan dengan hawa yang timbul ketika marah. Hawa yang timbul ketika
marah menggoncangkan nafs dan menghilangkan akal sehatnya. Nafs menjadi bodoh.
Ketahuilah, marah adalah jenis hawa yang paling berat. Para
abdâl pilihan memperoleh kedudukan di sisi Allah karena mereka benar-benar
menjauhi semua jenis hawa. Sebab, semua jenis hawa adalah buruk. Para ashâbul
Haq Ta’âlâ selalu berpijak pada kebenaran. Sebab, kebenaran adalah lawan
kebatilan. Mereka sadar bahwa seberapa besar mereka mendekati hawa, maka
sebesar itu pula mereka menjadi jauh dari Allah. Karena itu dalam semua
perilakunya — makan, tidur, berbicara, dan lain-lain — mereka hanya
melakukannya sebatas kebutuhan (dharûri) saja. Dalam pandangan mereka segala
sesuatu yang melebihi batas kebutuhan merupakan bagian dari hawa. Dalam
Al-Quran dan hadits dijelaskan bahwa :
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ
كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى
أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ
تَعْلَمُونَ (البقرة: 216)
"Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu me-nyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216)
· Tafsir
Ayat ini mengandung hukum wajibnya berjihad
di jalan Allah setelah sebelumnya kaum muslimin diperintahkan untuk
meninggalkannya, karena mereka masih lemah dan tidak mampu. Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah dan jumlah kaum muslimin
bertambah banyak dan kuat, Allah memerintahkan mereka untuk berperang, dan
Allah mengabarkan bahwasanya peperangan itu sangatlah dibenci oleh jiwa karena
mengandung keletihan, kesusahan, menghadapi hal-hal yang menakutkan dan membawa
kepada kematian. Tapi sekalipun demikian berjihad itu merupakan kebaikan yang
murni, karena memiliki ganjaran yang besar dan menghindarkan dari siksaan yang
pedih, pertolongan atas musuh dan kemenangan dengan ghanimah dan sebagainya,
yang memang menimbulkan rasa tak suka.
وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ "Dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu". Hal itu seperti tidak ikut pergi berjihad
demi menikmati istirahat, itu adalah suatu keburukan, karena akan mengakibatkan
kehinaan, penguasaan musuh terhadap Islam dan pengikutnya, terjadinya
kerendahan dan hina dina, hilangnya kesempatan mendapat pahala yang besar dan
(sebaliknya) akan memperoleh hukuman.
Ayat ini adalah umum lagi luas, bahwa
perbuatan-perbuatan baik yang dibenci oleh jiwa manusia karena ada kesulitan
padanya itu adalah baik tanpa diragukan lagi, dan bahwa perbuatan-perbuatan
buruk yang disenangi oleh jiwa manusia karena apa yang diperkirakan olehnya
bahwa padanya ada keenakan dan kenikmatan ternyata buruk tanpa diragukan lagi.
Perkara dunia tidaklah bersifat umum, akan
tetapi kebanyakan orang bahwa apabila ia senang terhadap suatu perkara, lalu
Allah memberikan baginya sebab-sebab yang membuatnya berpaling darinya bahwa
hal itu adalah suatu yang baik baginya, maka yang paling tepat baginya dalam
hal itu adalah ia bersyukur kepada Allah, dan meyakini kebaikan itu ada pada
apa yang terjadi, karena ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala lebih sayang kepada
hambaNya daripada dirinya sendiri, lebih kuasa memberikan kemaslahatan buat
hambaNya daripada dirinya sendiri, dan lebih mengetahui kemaslahatannya
daripada dirinya sendiri, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ "Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui". Maka yang
pantas bagi kalian adalah kalian sejalan dengan segala takdir-takdirNya, baik
yang menyenangkan ataupun yang menyusahkan kalian.
·
Hadits yang memperkuat ayat di
atas
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan beberapa hadits ketika
menafsirkan ayat tersebut diantaranya:
مَنْ مَاتَ وَلمَ ْيَغْزُ وَلَمْ
يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِالْغَزْوِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيِّةً
"Barang siapa meninggal dunia sedang ia tidak pernah
ikut berperang dan ia juga tidak pernah berniat untuk berperang, maka ia
meninggal dunia dalam keadaan jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih)
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ
وَلَكِنْ جِهَادٌ وَ نِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Tidak
ada hijrah setelah Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah), akan tetapi yang ada
yaitu hijrah untuk jihad dan untuk niat baik. Bila kalian di minta untuk maju
perang, maka majulah !” (Muttafaq
‘alaih)
Imam Az-Zuhri mengatakan, “Jihad itu
wajib bagi setiap individu, baik yang dalam keadaan berperang maupun yang
sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai
bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk maju berperang, maka
ia harus maju perang, dan jika tidak dibutuhkan, maka hendaknya ia tetap di
tempat (tidak ikut).”
Dan memang, dalam kehidupan ini kita akan selalu diuji oleh
Allah SWT. Dihadapkan pada berbagai pilihan. Namun kita tidak boleh hanya
mengandalkan hasrat hati dan nafsu semata. Karena apa yang menurut nafsu kita
baik, belum tentu membawa kebaikan bagi diri kita. Bagi mereka yang selalu
mengikuti norma-norma agama dan mendapat hidayah Allah SWT, hal ini tidaklah
sulit. Namun bagi mereka yang suka melanggar norma, butuh latihan mental yang
terus-menerus untuk menanamkan ayat ini di dalam jiwa. Sedangkan Allah SWT yang
Maha Bijaksana, membiarkan kita mengambil keputusan sendiri, namun tetap
memberikan bimbingan-Nya bagi mereka yang selalu ingat bahwa diri adalah mahluk
ciptaan-Nya dan waspada terhadap segala ayat Allah, baik yang tertulis di dalam
Al-Qur'an, maupun yang 'tertulis' pada mahluk ciptaan-Nya, termasuk alam
semesta ini.
Ada sebuah cerita tentang seorang anak bernama Ahmad dan
ibunya yang sedang menyulam kain. Sang ibu duduk di atas kursi dan Ahmad duduk
di lantai, di samping kursi ibunya. Ketika sang ibu menyulam, Ahmad bertanya,
“Ibu, kenapa ibu membuat untaian benang yang begitu rumit dan tidak teratur
seperti itu?” Sang ibu hanya tersenyum dan terus meyelesaikan sulamannya itu.
Tak berapa lama hasil sulamannya pun jadi. Ibu mengangkat dan mendudukkan Ahmad
ke pangkuannya. Kemudian sang ibu berkata, “Apa yang kamu lihat sekarang
Ahmad?” Ahmad menjawab, “Wow, indah sekali sulaman ini, Bu!” Ahmad takjub
ketika melihat pola dari atas yang begitu rapi membentuk gambar bunga, berbeda
dengan apa yang ia lihat dari bawah, rumit dan tidak beraturan. Kemudian sang
ibu menjelaskan kepada anaknya bahwa apa yang ia lihat adalah perumpamaan hidup
kita. Jalan hidup seringkali terasa begitu rumit dan buruk bagi kita, tapi
belum tentu di mata Allah SWT. Bisa jadi apa yang kita pandang sebagai sesuatu
yang berat dan menyusahkan, ternyata begitu indah di hadapan Allah SWT. Allah memang tidak akan selalu
memberi apa yang kita inginkan, tetapi yakinlah bahwa Allah pasti akan memberi
apapun yang kita butuhkan.
Jadi, kamu
bebas, saya juga bebas. Kita semua bebas dalam menentukan arah
tujuan hidup kita. Namun, sekali lagi, ingat-ingatlah: Boleh jadi
kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216). Itulah sebabnya, mengapa
beberapa orang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan hatinya.
Ya, karena mereka tahu bahwa ada keburukan dibalik kesenangan yang nampak.
Darimana mereka tahu? Dari perintah dan larangan agama! Mereka berusaha untuk
selalu mendapatkan petunjuk Allah SWT dengan cara mengamalkan isi Al-Qur'an dan
Al-Hadits, banyak beribadah dan beramal soleh. Dan hanya pada Allah-lah kita
semua akan kembali.
KESIMPULAN
·
Ayat tersebut merupakan penetapan kewajiban jihad dari
Allah Ta’ala bagi kaum muslimin. Agar mereka menghentikan kejahatan musuh dari
wilayah islam. Dan juga agar supaya tidak tersisa di bumi Allah ini fitnah dan
perbuatan syirik.
·
Ketidaktahuan seseorang terhadap akibat atau balasan
sebuah perbuatan ataupun ketentuan Allah, menjadikannya menyenangi perbuatan
yang dibenci atau diharamkan, dan menjadikannya membenci dan menjauhi perbuatan
yang sebenarnya dicintai dan diridhai Allah, walaupun terkadang bertentangan
dengan keinginan dan hawa nafsunya.
·
Seluruh perintah Allah adalah baik, dan seluruh
larangan-laranganNya adalah buruk. Maka dari itu wajib bagi setiap muslim untuk
melaksanakan seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh larangan-laranganNya.
Penulis: Ahmad Nur Fachri Mahmud, Siswa Kelas XII IPA 2,
MAN Insan Cendekia Gorontalo.
0 Comments:
Posting Komentar