Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

Keinginan dan Kebaikan

PENDAHULUAN
            Pada zaman modern seperti sekarang ini, terdapat berbagai macam bentuk kehidupan yang telah terjadi. Setiap manusia memiliki kehidupan yang berbeda-beda dan harus dijalani. Sebagaimana kehidupan yang akan dijalani dan setiap manusia memiliki keinginan agar kehidupan mereka bisa berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi banyak kehidupan yang berjalan tidak sesuai dengan apa yang di inginkan.


            Kehidupan manusia yang di penuhi dengan berbagai macam keinginan, membuat manusia menjadi lupa diri dan sering melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan-aturan, baik aturan agama ataupun aturan Negara untuk mendapatkan setiap keinginan yang mereka inginkan. Al-Quran telah mengatur berbagai kehidupan yang akan di jalani oleh manusia.
            Aturan ini bisa membuat setiap manusia dapat hidup dengan kehidupan yang lurus dan selalu berada di jalan yang benar, yaitu Shiratul mustaqim. Oleh karena itu, marilah kita menjaga diri kita agar senantiasa bisa mengontrol nafsu akan keinginan-keinginan yang berlebihan.


ISI
Ketika seorang hamba melihat dengan akalnya tanpa terpengaruh oleh hawa, maka segala sesuatu akan tampak sebagaimana hakikatnya. Namun jarang yang dapat melihat dengan cara demikian, karena hawa terlalu menguasai nafs, dan nafs sangat sulit untuk melepaskan diri dari kekuasaan hawa. Bahkan karena demikian tersembunyi dan sulit dipahami, maka manusia tidak dapat merasakan kehadiran hawa. Hanya orang-orang yang berakal unggul (superior) yang dapat mengetahui keberadaan hawa dalam nafs-nya.
Hawa adalah makanan nafs. Hal ini membuat nafs sangat bergantung dan sulit melepaskan diri dari cengkeraman hawa. Oleh karena itu, jauhilah hawa dan bebaskanlah nafs-mu darinya. Sebab, hawa akan menodai agamamu, sebagaimana dikatakan dalam syair:
Jika kau ikuti hawa,
ia akan menuntunmu
menuju semua perbuatan
yang tercela bagimu.
Jika kamu perhatikan dan beda-bedakan semua peristiwa yang terjadi, maka akan kamu temukan bahwa hawa-lah yang menjadi sumber segala fitnah dan bencana dalam peristiwa-peristiwa itu. Karena, hawa merupakan sumber kebatilan dan kesesatan. Hawa bak minuman memabukkan. Seseorang yang meneguknya akan dikuasai oleh minuman itu, dan akan hilang akal sehatnya. Oleh karena itu, seorang yang pandai harus menyadari hal ini dan berusaha
mematikan hawa-nya dengan mujâhadah dan mukhôlafah (penentangan).
Hakikat hawa adalah kecenderungan pada sesuatu yang batil. Hawa adalah perilaku dan tabiat nafs. Semua kecenderungan nafs pada kebatilan disebut hawa. Hawa terbagi dua, yaitu:
Pertama, ajakan-ajakan syahwat yang terdapat dalam diri seseorang, misalnya berbagai hal di atas, yang menipu dan menguasai nafs serta diperebutkan oleh manusia. Ajakan-ajakan syahwat tersebut hina dan buruk, karena itulah orang-orang yang memiliki murûah menjauhinya demi menjaga agama, menyucikan murûah, melindungi kehormatan, dan menjaga akal mereka. Orang-orang berakal, jika menghadapi tipu daya hawa dan penentangan nafsu, mereka tetap kokoh, tidak goyah.
Mereka mempertimbangkan akibatnya dengan hati-hati dan tidak gegabah. Lain halnya dengan orang-orang yang akal dan jiwanya lemah, mereka akan dikuasai nafs hingga tak dapat berkutik. Hawa akan menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela. Namun karena hatinya telah buta, hanyut dimabuk hawa, mereka tidak menyadari berbagai keburukan yang telah dilakukannya.
Kedua, hawa yang timbul ketika seseorang marah (ghodhob). Hawa jenis ini merupakan jenis hawa yang paling buruk. Sebab hawa yang timbul ketika seseorang sedang marah (ghodhob) bersifat memaksa dan sulit diajak kompromi. Hanya kaum ksatria (abthôl), orang-orang yang berakal sehatlah yang mampu mengetahui keberadaan hawa ini.
Jenis hawa yang lain adalah (perasaan) yang timbul ketika seseorang bersikap sombong (kibr) dan congkak. Jenis hawa ini juga buruk, merusak agama dan menghancurkan amal. Namun pengaruh buruknya lebih ringan dibandingkan dengan hawa yang timbul ketika marah. Hawa yang timbul ketika marah menggoncangkan nafs dan menghilangkan akal sehatnya. Nafs menjadi bodoh.
Ketahuilah, marah adalah jenis hawa yang paling berat. Para abdâl pilihan memperoleh kedudukan di sisi Allah karena mereka benar-benar menjauhi semua jenis hawa. Sebab, semua jenis hawa adalah buruk. Para ashâbul Haq Ta’âlâ selalu berpijak pada kebenaran. Sebab, kebenaran adalah lawan kebatilan. Mereka sadar bahwa seberapa besar mereka mendekati hawa, maka sebesar itu pula mereka menjadi jauh dari Allah. Karena itu dalam semua perilakunya — makan, tidur, berbicara, dan lain-lain — mereka hanya melakukannya sebatas kebutuhan (dharûri) saja. Dalam pandangan mereka segala sesuatu yang melebihi batas kebutuhan merupakan bagian dari hawa. Dalam Al-Quran dan hadits dijelaskan bahwa :

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ (البقرة: 216)

"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu me-nyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216)

     ·       Tafsir
Ayat ini mengandung hukum wajibnya berjihad di jalan Allah setelah sebelumnya kaum muslimin diperintahkan untuk meninggalkannya, karena mereka masih lemah dan tidak mampu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah dan jumlah kaum muslimin bertambah banyak dan kuat, Allah memerintahkan mereka untuk berperang, dan Allah mengabarkan bahwasanya peperangan itu sangatlah dibenci oleh jiwa karena mengandung keletihan, kesusahan, menghadapi hal-hal yang menakutkan dan membawa kepada kematian. Tapi sekalipun demikian berjihad itu merupakan kebaikan yang murni, karena memiliki ganjaran yang besar dan menghindarkan dari siksaan yang pedih, pertolongan atas musuh dan kemenangan dengan ghanimah dan sebagainya, yang memang menimbulkan rasa tak suka.
وَعَسَى أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ "Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu". Hal itu seperti tidak ikut pergi berjihad demi menikmati istirahat, itu adalah suatu keburukan, karena akan mengakibatkan kehinaan, penguasaan musuh terhadap Islam dan pengikutnya, terjadinya kerendahan dan hina dina, hilangnya kesempatan mendapat pahala yang besar dan (sebaliknya) akan memperoleh hukuman.
Ayat ini adalah umum lagi luas, bahwa perbuatan-perbuatan baik yang dibenci oleh jiwa manusia karena ada kesulitan padanya itu adalah baik tanpa diragukan lagi, dan bahwa perbuatan-perbuatan buruk yang disenangi oleh jiwa manusia karena apa yang diperkirakan olehnya bahwa padanya ada keenakan dan kenikmatan ternyata buruk tanpa diragukan lagi.
Perkara dunia tidaklah bersifat umum, akan tetapi kebanyakan orang bahwa apabila ia senang terhadap suatu perkara, lalu Allah memberikan baginya sebab-sebab yang membuatnya berpaling darinya bahwa hal itu adalah suatu yang baik baginya, maka yang paling tepat baginya dalam hal itu adalah ia bersyukur kepada Allah, dan meyakini kebaikan itu ada pada apa yang terjadi, karena ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala lebih sayang kepada hambaNya daripada dirinya sendiri, lebih kuasa memberikan kemaslahatan buat hambaNya daripada dirinya sendiri, dan lebih mengetahui kemaslahatannya daripada dirinya sendiri, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ "Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". Maka yang pantas bagi kalian adalah kalian sejalan dengan segala takdir-takdirNya, baik yang menyenangkan ataupun yang menyusahkan kalian.

·         Hadits yang memperkuat ayat di atas
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan beberapa hadits ketika menafsirkan ayat tersebut diantaranya:
مَنْ مَاتَ وَلمَ ْيَغْزُ وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِالْغَزْوِ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيِّةً
"Barang siapa meninggal dunia sedang ia tidak pernah ikut berperang dan ia juga tidak pernah berniat untuk berperang, maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahiliyah.” (Muttafaq ‘alaih)

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَ نِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah (pembukaan kota Makkah), akan tetapi yang ada yaitu hijrah untuk jihad dan untuk niat baik. Bila kalian di minta untuk maju perang, maka majulah !” (Muttafaq ‘alaih)
            Imam Az-Zuhri mengatakan, “Jihad itu wajib bagi setiap individu, baik yang dalam keadaan berperang maupun yang sedang duduk (tidak ikut berperang). Orang yang sedang duduk, apabila dimintai bantuan, maka ia harus memberikan bantuan, jika diminta untuk maju berperang, maka ia harus maju perang, dan jika tidak dibutuhkan, maka hendaknya ia tetap di tempat (tidak ikut).”
Dan memang, dalam kehidupan ini kita akan selalu diuji oleh Allah SWT. Dihadapkan pada berbagai pilihan. Namun kita tidak boleh hanya mengandalkan hasrat hati dan nafsu semata. Karena apa yang menurut nafsu kita baik, belum tentu membawa kebaikan bagi diri kita. Bagi mereka yang selalu mengikuti norma-norma agama dan mendapat hidayah Allah SWT, hal ini tidaklah sulit. Namun bagi mereka yang suka melanggar norma, butuh latihan mental yang terus-menerus untuk menanamkan ayat ini di dalam jiwa. Sedangkan Allah SWT yang Maha Bijaksana, membiarkan kita mengambil keputusan sendiri, namun tetap memberikan bimbingan-Nya bagi mereka yang selalu ingat bahwa diri adalah mahluk ciptaan-Nya dan waspada terhadap segala ayat Allah, baik yang tertulis di dalam Al-Qur'an, maupun yang 'tertulis' pada mahluk ciptaan-Nya, termasuk alam semesta ini.

Ada sebuah cerita tentang seorang anak bernama Ahmad dan ibunya yang sedang menyulam kain. Sang ibu duduk di atas kursi dan Ahmad duduk di lantai, di samping kursi ibunya. Ketika sang ibu menyulam, Ahmad bertanya, “Ibu, kenapa ibu membuat untaian benang yang begitu rumit dan tidak teratur seperti itu?” Sang ibu hanya tersenyum dan terus meyelesaikan sulamannya itu. Tak berapa lama hasil sulamannya pun jadi. Ibu mengangkat dan mendudukkan Ahmad ke pangkuannya. Kemudian sang ibu berkata, “Apa yang kamu lihat sekarang Ahmad?” Ahmad menjawab, “Wow, indah sekali sulaman ini, Bu!” Ahmad takjub ketika melihat pola dari atas yang begitu rapi membentuk gambar bunga, berbeda dengan apa yang ia lihat dari bawah, rumit dan tidak beraturan. Kemudian sang ibu menjelaskan kepada anaknya bahwa apa yang ia lihat adalah perumpamaan hidup kita. Jalan hidup seringkali terasa begitu rumit dan buruk bagi kita, tapi belum tentu di mata Allah SWT. Bisa jadi apa yang kita pandang sebagai sesuatu yang berat dan menyusahkan, ternyata begitu indah di hadapan Allah SWT. Allah memang tidak akan selalu memberi apa yang kita inginkan, tetapi yakinlah bahwa Allah pasti akan memberi apapun yang kita butuhkan.

Jadi, kamu bebas, saya juga bebas. Kita semua bebas dalam menentukan arah tujuan hidup kita. Namun, sekali lagi, ingat-ingatlah: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah: 216). Itulah sebabnya, mengapa beberapa orang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan keinginan hatinya. Ya, karena mereka tahu bahwa ada keburukan dibalik kesenangan yang nampak. Darimana mereka tahu? Dari perintah dan larangan agama! Mereka berusaha untuk selalu mendapatkan petunjuk Allah SWT dengan cara mengamalkan isi Al-Qur'an dan Al-Hadits, banyak beribadah dan beramal soleh. Dan hanya pada Allah-lah kita semua akan kembali.


KESIMPULAN
·         Ayat tersebut merupakan penetapan kewajiban jihad dari Allah Ta’ala bagi kaum muslimin. Agar mereka menghentikan kejahatan musuh dari wilayah islam. Dan juga agar supaya tidak tersisa di bumi Allah ini fitnah dan perbuatan syirik.
·         Ketidaktahuan seseorang terhadap akibat atau balasan sebuah perbuatan ataupun ketentuan Allah, menjadikannya menyenangi perbuatan yang dibenci atau diharamkan, dan menjadikannya membenci dan menjauhi perbuatan yang sebenarnya dicintai dan diridhai Allah, walaupun terkadang bertentangan dengan keinginan dan hawa nafsunya.

·         Seluruh perintah Allah adalah baik, dan seluruh larangan-laranganNya adalah buruk. Maka dari itu wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakan seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh larangan-laranganNya.

Penulis: Ahmad Nur Fachri Mahmud, Siswa Kelas XII IPA 2,
MAN Insan Cendekia Gorontalo.
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini

Blog Archive


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer

Sepakbola GP

Blog Archive