Islam adalah agama yang sempurna,
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Asasnya adalah aqidah yang benar,
bagunannya adalah amal shalih dan hiasannya adalah akhlak yang mulia. Sebuah
pondasi tidak akan bernilai tinggi, jika tidak ada bangunan di atasnya; Sebuah
bangunan akan rapuh, meski terkesan kokoh jika pondasinya tidak kuat dan sebuah
bangunan tidak akan enak dipandang jika hampa dari hiasan. Artinya, ketiga
unsur merupakan satu-kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Diantara akhlak islami yang mulia yang menghiasi diri kaum muslimin dan terhitung sebagai bukti atau kensekuensi persaudaraan sejati yaitu berjabat tangan tatkala berjumpa. Pertanyaannya, bagaimana aturan Islam dalam berjabat tangan yang mendatangkan kebaikan itu ? Sudah benarkah praktik yang dilakukan oleh kaum Muslimin sekarang ini ? Ini perlu sekali untuk diketahui bersama, karena tidak beberapa lagi kita akan melaksanakan ibadah puasa yang diakhiri dengan hari raya Idul Fithri. Pada hari ini, biasanya berjabat tangan itu seakan sudah menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Berikut pembahasan seputar berjabat tangan dalam Islam, hukum dan keutamaannya serta hal-hal yang terkait dengannya.
HUKUM BERJABAT TANGAN DAN ASAL USULNYA
Berjabat tangan adalah sunnah
yang disyari'atkan dan adab mulia para shahabat Radhiyallahu anhum yang
dipraktikkan sesama mereka tatkala berjumpa.
Imam Bukhâri rahimahullah dalam kitab al-Isti'dzân dalam kitab Shahihnya memuat sebuah bab yang berjudul Babul Mushafahah (Bab: Berjabat Tangan). Dalam bab ini, beliau rahimahullah membawakan beberapa hadits yang menjelaskan sunnahnya berjabat tangan tatkala bersua, diantaranya :
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسٍ أَكَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ
Dari Qatâdah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Saya bertanya kepada Anas (bin Mâlik) Radhiyallahu anhu , ‘Apakah berjabat tangan dilakukan dikalangan para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?’ Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya’ [1]
Dalam riwayat lain :
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلاَقَوْا تَصَافَحُوْا وَإِذَا قَدِمُوْا مِنْ سَفَرٍ تَعَانَقُوْا
Adalah
shahabat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mereka bertemu, mereka
saling berjabat tangan dan apabila kembali dari perjalanan mereka saling
berangkulan .[2]
Dan hadits Ka'ab Bin Mâlik Radhiyallahu anhu setelah turunnya taubat beliau, ia berkata :
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ حَوْلَهُ النَّاسُ فَقَامَ إِلَيَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي
Saya masuk masjid (Nabawi) sementara Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan duduk dan dikelilingi oleh manusia (para shahabat), lalu Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu anhu berlari ( kearahku) lalu beliau Radhiyallahu anhu berjabat tangan denganku dan memberikan ucapan selamat kepadaku. [3]
Imam Nawawi rahimahullah
menyebutkan bahwa dalam hadits ini banyak terkandung faedah, diantaranya :
"Disunnahkan berjabat tangan tatkala berjumpa. Ini merupakan sunnah yang
tidak diperselisihkan."[4]
Dari sebagian hadits diatas disimpulkan bahwa berjabat tangan tatkala bersua adalah sunnah yang disyari'atkan, sebagaimana yang dipertegas oleh para Ulama, seperti :
Dari sebagian hadits diatas disimpulkan bahwa berjabat tangan tatkala bersua adalah sunnah yang disyari'atkan, sebagaimana yang dipertegas oleh para Ulama, seperti :
- Imam Ibnu Baththal rahimahullah
yang mengatakan, "Berjabat tangan adalah kebaikan menurut seluruh
Ulama." [5]
- Imam Nawawi rahimahullah yang juga mengatakan, "Berjabat tangan adalah sunnah tatkala bersua berdasarkan hadits hadits yang shahih dan ijma' para Imam." [6]
ASAL-USUL JABAT TANGAN
Orang-orang melakukan ini untuk
kali pertama adalah penduduk Yaman yang terkenal dengan keimanan dan keilmuan
mereka. Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengungkapkan :
لَمَّا
جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَدْ جَاءَكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ وَهُمْ أَوَّلُ مَنْ جَاءَ بِالْمُصَافَحَة
Tatkala penduduk Yaman datang (ke
Madinah) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang
kepada kalian penduduk Yaman, dan merekalah orang yang pertama sekali yang
melakukan berjabat tangan." [7]
Dalam riwayat lain Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْدَمُ عَلَيْكُمْ غَدًا أَقْوَامٌ هُمْ أَرَقُّ قُلُوبًا لِلْإِسْلَامِ مِنْكُمْ قَالَ فَقَدِمَ الْأَشْعَرِيُّونَ فِيهِمْ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ فَلَمَّا دَنَوْا مِنْ الْمَدِينَةِ جَعَلُوا يَرْتَجِزُونَ يَقُولُونَ : غَدًا نَلْقَى الْأَحــــِبَّهْ مُــحَمَّدًا وَحِـــزْبَهْ فَلَمَّا أَنْ قَدِمُوا تَصَافَحُوا فَكَانُوا هُمْ أَوَّلَ مَنْ أَحْدَثَ الْمُصَافَحَةَ
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Besok akan datang kepada kalian kaum yang hati mereka lebih lembut untuk (menerima) Islam dari pada kalian.’ Anas mengatakan, ‘Maka datanglah kabilah Asy'ariyyun, diantara mereka ada Abu Musa al-Asy'ari. Tatkala mereka telah mendekati kota Madinah, mereka melantunkan sebagian sya'irnya seraya berkata, "Besok kita akan berjumpa dengan para kekasih, Muhammad dan shahabatnya".
Tatkala mereka telah datang
mereka berjabatan tangan, merekalah orang yang pertama sekali melakukan jabat
tangan. [8]
BERJABAT TANGAN BUKAN HANYA
KETIKA BERJUMPA
Untuk diketahui bahwa berjabat
tangan bukan diwaktu berjumpa saja, tetapi di syari'atkan juga tatkala
berpisah, akan tetapi keutamaan nya tidak seperti tatkala berjumpa.
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, "Sesungguhnya berjabat tangan (disyari'atkan) di waktu berpisah juga".
Beliau rahimahullah menambahkan, "Pendalilan (tentang hal ini) hanya akan jelas dengan dalil disyari'atkannya mengucapkan salam tatkala berpisah juga, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ وََإِذَا خَرَجَ فَلْيُسَلِّمْ فَلَيْسَتِ الْأُولَى بِأَحَقَّ مِنَ الأُخْرَى
Apabila salah seorang diantara
kamu masuk majlis maka hendaklah ia mengucapkan salam, apabila ia keluar
hendaklah ia mengucap salam, tidaklah yang pertama lebih pantas dari yang
kedua", diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmizi dan yang lain dengan sanad
yang hasan.[9]
Jadi perkataan sebagian orang,
"Sesungguhnya berjabat tangan tatkala berpisah adalah bid'ah" itu
adalah perkataan yang tidak perlu dilihat. Benar, sesungguhnya orang yang
memperhatikan hadits-hadits tentang (syari'at) berjabat tangan tatkala
berjumpa, dia akan mendapatkannya lebih banyak dan lebih kuat dibandingkan
dengan hadits-hadits tentang berjabat tangan tatkala berpisah. Orang yang
paham, niscaya akan menyimpulkan dari hadits-hadits tersebut bahwa berjabat
tangan yang kedua (tatkala bepisah) tidaklah sama hukum dan kedudukannya
seperti yang pertama (tatkala bersua). Yang pertama adalah sunnah (yang sangat
di anjurkan) dan yang kedua mustahab, adapun jika dihukumi sebagai bid'ah maka
itu tidak benar, berdasarkan dalil yang kami sebutkan." [10]
KEUTAMAAN BERJABAT TANGAN
Berjabat tangan memiliki
keutamaan yang sangat agung dan pahala sangat besar. Berjabat tangan termasuk
diantara penyebab terhapusnya dosa, sebagaimana dalam hadits :
عَنْ
الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ
لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
Dari Barâ' bin 'Aazib Radhiyallahu anhu , ia berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: tidaklah dua orang Muslim bersua kemudian mereka bedua saling berjabat tangan kecuali diampuni (dosa) keduanya sebelum mereka berpisah." [11]
Dari Barâ' bin 'Aazib Radhiyallahu anhu , ia berkata, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: tidaklah dua orang Muslim bersua kemudian mereka bedua saling berjabat tangan kecuali diampuni (dosa) keduanya sebelum mereka berpisah." [11]
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَ أَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
Sesungguhnya seorang Mukmin apabila berjumpa dengan Mukmin lainnya lalu ia mengucapkan salam kepadanya kemudian memegang tangannya dan berjabat tangan, maka berguguran (dihapuskan) dosa mereka sebagaimana daun pohon berguguran .[12]
ETIKA BERJABAT TANGAN
1. Berjabat tangan dengan wajah
yang berseri-seri
Imam Nawawi rahimahullah
mengatakan, "Disunatkan dalam berjabat tangan dengan wajah yang
berseri-seri. Berdasarkan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
Janganlah kamu meremekan suatu
kebaikkan apapun sekalipun hanya menjumpai saudaramu dengan wajah yang
berseri-seri". Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Dzar Radhiyallahu
anhu [13], dan masih banyak hadits lainnya yang membicarakan tentang hal
ini."[14]
2. Berjabat tangan dengan satu
tangan.
Etika ini di ambil dari hadits
yang memerintahkan untuk bermushafahah (berjabat tangan) karena itulah makna
berjabat tangan secara etimologi.
Syaikh al-Albâni rahimahullah
berkata, "Memegang dengan satu tangan dalam berjabat tangan. Sungguh telah
terdapat penjelasanya dalam banyak hadits, bahkan asal usul lafadz mushâfahah
secara etimologi menunjukkan hal ini. Dalam kamus Lisânul Arab :
"al-Mushâfahah" artinya memegang dengan satu tangan, dan begitu juga
at-tashâfuh.
Dan mushafahah dalam hadits
bermushafahah (berjabat tangan) tatkala berjumpa, termasuk dalam makna ini.
Mushafahah adalah perbuatan yang saling melengketkan telapak tangan dengan
telapak tangan dan wajah menghadap wajah (saling berhadapan)".
Kemudian beliau membawakan hadits
Hudzaifah diatas tentang keutamaan berjabat tangan seraya berkata :
"Seluruh hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang sunnah dalam berjabat
tangan adalah memegang dengan satu tangan. Sedangkan apa yang dilakukan oleh
sebagian orang yang berjabat tangan dengan dua tangan adalah perbuatan yang
menyelisihi sunnah." [15]
3. Tidak membungkuk Saat berjabat tangan, karena ini dilarang dalam agama.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :
قَالَ
رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ
أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ
أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ
Seseorang bertanya, 'Wahai
Rasûlullâh, salah seorang dari kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah
ia menundukkan punggung kepadanya?' Beliau menjawab, 'Tidak,' Apakah ia
merangkul dan menciumnya ?' Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
'Tidak,' Apakah ia memegang tangannya kemudian ia berjabat tangan dengannya?'
Beliau menjawab, 'Ya" [16]
Imam Nawawi rahimahullah
mengatakan "Makruh hukumnya menundukkan punggung dalam segala kondisi bagi
sesorang, berdasarkan hadits Anan di atas, "Apakah kami menundukkan
punggung" Beliau n menjawab, "Tidak", dan tidak ada yang menyelisihi
hadits ini. Dan jangan kamu tertipu dengan mayoritas orang yang melakukannya
seperti orang-orang yang dianggap berilmu atau shâlih dan semisal mereka."
[17]
BEBERAPA PERKARA YANG DILARANG
DAN MENYELISIHI SUNNAH DALAM BERJABAT TANGAN
1. Berjabat tangan dengan lawan
jenis yang bukan mahram.
Tidak diperbolehkan seorang
lelaki berjabat tangan dengan wanita dan wanita berjabat tangan dengan laki
laki yang bukan mahramnya. Sebagaimana dalam hadits :
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ
Sesungguhnya saya tidak berjabat
tangan dengan wanita [18].
'Aisyah Radhiyallahu anhuma
berkata :
وَاللَّهِ
مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ مَا يُبَايِعُهُنَّ
إِلَّا بِقَوْلِهِ
Demi Allâh,tidak pernah tangan
Rasûlullâh menyentuh tangan wanita sama sekali dalam bai'at. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengambil bai'at (atas) mereka kecuali dengan perkataan
.[19]
2. Waspadai berjabat tangan
dengan al-amrad (anak muda ganteng yang belum tumbuh jenggotnya).
Imam Nawawi rahimahullah
mengatakan, "Dan hendaklah waspada dari berjabat tangan dengan al-amrad
yang ganteng, karena melihatnya tanpa ada keperluan adalah haram berdasarkan
pendapat yang shahih." [20]
Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
mengatakan, "Dan di kecualikan dari keumuman perintah untuk berjabat
tangan yaitu berjabat tangan wanita lain (bukan mahram) dan amrad (anak muda)
yang ganteng" [21]
3. Mengucapkan shalawat tatkala berjabat tangan.
3. Mengucapkan shalawat tatkala berjabat tangan.
Kebiasan sebagian kaum Muslimin
apabila berjabat tangan mereka mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak diragukan bahwa ini adalah perbuatan bid'ah yang tidak
ada landasan dalam agama, karena mengucapkan shalawat adalah ibadah, dan tidak
terdapat satu riwayatpun yang menjelaskan bahwa diantara tempat bershalawat
adalah tatkala berjabat tangan. Maka jelaslah bahwa ia adalah perbuatan yang
menyelisihi sunnah. Karena sekiranya hal itu adalah suatu ibadah dan kebaikkan
maka tentu Rasul dan para shahabat yang akan lebih dahulu mengamalkannya.
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah
dalam kitabnya "Jalâ’ul afhâm fi Fadhli ash-Shalât 'ala Khairil Anâm"
menyebutkan empat puluh satu (41) tempat yang disyari'atkan bershalawat
padanya, dan tidak satu dari tempat tersebut diwaktu berjabat tangan. Ini
memperkuat pernyataan diatas bahwa bershalawat tatkala berjabat tangan adalah
perkara yang bid'ah yand tidak ada landasannya dalam agama, wallahu a'lam.
4. Berjabat tangan sesudah shalat
antara makmum dengan imam atau antara para makmum.
Amalan seperti ini tidak ada
landasan dalam sunnah, tidak pernah dilakukan oleh rasul dan para shahabatnya,
kecuali bila seseorang bertemu dengan teman atau saudaranya yang sebelumnya ia
belum bersua, maka diperbolehkan baginya untuk berjabat tangan. Karena berjabat
tangan disyari'atkan tatkala berjumpa sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas. Adapun sesama jama'ah yang setiap hari dan waktu berjumpa di masjid atau
mushalla, maka tidak disyari'atkan untuk berjabat tangan setiap selesai shalat,
karena perbuatan seperti ini adalah perkara bid'ah yang telah dingkari oleh
para Ulama.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Adapun tradisi berjabat tangan yang dilakukan oleh menusia sesudah shalat Shubuh dan Ashar maka tidak ada landasan atau asalnya dalam syari'at seperti ini" [22]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, "Adapun berjabat tangan setelah shalat fardhu maka tidak diragukan bahwa ia adalah bid'ah, kecuali diantara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya, maka ia adalah sunnah sebagaimana yang Anda ketahui." [23]
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Adapun tradisi berjabat tangan yang dilakukan oleh menusia sesudah shalat Shubuh dan Ashar maka tidak ada landasan atau asalnya dalam syari'at seperti ini" [22]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, "Adapun berjabat tangan setelah shalat fardhu maka tidak diragukan bahwa ia adalah bid'ah, kecuali diantara dua orang yang belum berjumpa sebelumnya, maka ia adalah sunnah sebagaimana yang Anda ketahui." [23]
Hukum ini pulalah yang di
fatwakan oleh "Lajnah ad daimah" (komite fatwa di Saudi Arabia)
seraya berkata, "Tradisi berjabat tangan setelah shalat fardhu antara imam
dan makmum atau diantara para makmum, seluruhnya adalah bid'ah tidak ada
landasannya. Oleh karena itu, wajib ditinggalkan, karena sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan
yang tidak ada landasan dari perintah kami maka tertolak" [24], dan adalah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat bersama para shahabatnya, begitu juga
para khalifah sepeninggalnya, mereka shalat bersama kaum Muslimin, namun tidak
dinukilkan keterangan tentang rutinitas berjabat tangan setelah shalat.
Padahal, sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan sejelek jelek perkara adalah yang baru, dan setiap perkar yang baru
(dalam agama) adalah bid'ah dan setiap yang bid'ah adalah sesat" [25].
Kesimpulan
Demikianlah pembahasan singkat tentang hukum berjabat tangan dalam Islam, dari apa yang diutarakan bisa disimpulkan beberap poin berikut :
Demikianlah pembahasan singkat tentang hukum berjabat tangan dalam Islam, dari apa yang diutarakan bisa disimpulkan beberap poin berikut :
1.
Berjabat tangan disyariatkan tatkala berjumpa dan berpisah, sekalipun
kedudukannya tidak sama dengan waktu berjumpa.
2.
Berjabat tangan merupakan adab dan akhlak para shahabat sesama mereka tatkala
bersua.
3.
Berjabat tangan diantara sebab pengampunan dosa.
4.
Tidak diperbolehkan berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.
5.
Tidak disyari'atkan mengucapkan shalawat tatkala berjabat tangan, karena tidak
ada dasarnya.
6. Berjabat tangan setelah shalat adalah ritual yang bid'ah, kecuali antara dua orang yang belum bertemu sebelumnya.
6. Berjabat tangan setelah shalat adalah ritual yang bid'ah, kecuali antara dua orang yang belum bertemu sebelumnya.
Semogah
Allâh Azza wa Jalla senatiasa membimbing kita dan seluruh kaum muslimin untuk
mempelajari sunnah dan mengamalkannya serta menghiasi diri kita semua dengan
ahklak islamiyah karimah, Amiin.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183
Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Bukhâri (no.5908).
_______
Footnote
[1]. HR Bukhâri (no.5908).
[2].
HR. ath-Thabarani dalam "al-Mu'jamul Awsath" (no.97). dan dishahihkan
oleh Syaikh al-Albâni dalam ash Shahihah (no. 2647).
[3].
HR Bukhâri (no.4156) dan Muslim (no.2769).
[4].
"Syarh Shahih Muslim" Imam Nawawi (17/101).
[5].
Lihat "Fathul Bâri" (11/57) cet. Dar Ar Rayyan.
[6].
"al-Majmu' Syarah al-Muhazzab" Imam Nawawi (4/475).
[7].
HR Abu Daud (no. 5213) dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyâdush
Shâlihîn dan Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11/57). "dengan sanad
yang shahih".
[8].
HR Ahmad (3/155, 223) di shahihkan oleh Syaikh al-Albâni (lihat: Silsilah
ash-Shahihah, no. 527).
[9]. Lafazh ini yang tertulis dalam Silsilah ash-Shahihah, akan tetapi lafazh yang kami dapatkan dalam Sunan Abi Daud adalah dengan lafazh
[9]. Lafazh ini yang tertulis dalam Silsilah ash-Shahihah, akan tetapi lafazh yang kami dapatkan dalam Sunan Abi Daud adalah dengan lafazh
إِذَا انتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَجْلِسِ فَلْيُسَلِّمْ فَإِذَا
أَرَادَ أَنْ يَقُوْمَ فَلْيُسَلِمْ فَلَيْسَتِ الأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ
الآْخِرَةِ
[10].
Silsilah ash-Shahihah (1/52-53).
[11].
HR Abu Daud (no.5212) dan Tirmizi (no.2727) ia berkata: "Hadits
Hasan" dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah
(no. 525).
[12].
HR ath-Thabrani dalam "al-Mu'jamul Awsath" (no. 245) dan dishahihkan
oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahihah (no.526).
[13].
Shahih Muslim (no. 2626).
[14].
Al-Majmu' Syarh al-Muhazzab (4/476).
[15].
Silsilah ash-Shahihah (1/22-23) cet. Al-Maktab al-Islami.
[16].
HR at-Tirmizi (no.2728). ia berkata: "Hadits hasan".
[17].
Al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, Imam Nawawi (4/635).
[18].
HR Malik dalam al-Muwaththa' (2/983), Ahmad (6/357), Nasa'I (no. 4181), Ibnu
Majah (2874) dan yang lain.
[19].
HR Bukhari (no. 4609).
[20].
Al-Majmu' Syarhul Muhazdzab (4/476).
[21].
Fathul Bari (11/57).
[22].
Al-Adzkâr (hlm. 337) dan lihat Al-Majmu' Syarhul Muhazdzab (4/476)
"Raudhatuth Thâlibîn" (10/237) dan Fathul Bari " (11/57).
[23].
As-Silsilah ash-Shahîhah (1/53).
[24].
HR Muslim (no.1718).
[25].
Fatawa al Lajnah ad Daaimah" (no. fatwa: 16843) lihat juga fatwa no.
(15148).
Source: http://www.almanhaj.or.id