Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

Shalat Tahiyatul Masjid

Pastikan anda me-like Cahaya Islam di Fans Page Facebook untuk mendapatkan informasi yang up to date.
Ilustrasi - Blue Mosque, Istanbul Turkey
Shalat Tahiyatul Masjid

Salah satu ibadah yang penting buat kita adalah shalat. Shalat merupakan ibadah yang menunjukkan bukti ketaatan kita kepada agama Allah swt. Barang siapa yang memelihara shalat maka ia sungguh telah meninggikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat maka ia telah benar-benar merusak agama. Shalat tidak boleh kita tinggalkan apalagi yang termasuk shalat wajib, karena selain shalat wajib, Allah swt juga menyediakan untuk kita amalan shalat sunah (shalat nafilah) sebagai tambahan pahala buat kita. 
Shalat sunah yang harus menjadi perhatian umat Islam adalah shalat sunah tahiyatul masjid. Oleh karena itu pada kesempatan ini, akan diutarakan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan shalat sunah tahiyatul masjid. Semoga bermanfaat dan menjadi berkah untuk ilmu kita sehingga bisa diamalkan dan menjadi bekal untuk kehidupan kita kelak di yaumil qiyamah. aamiin.

Pengertian Tahiyatul Masjid Dan Penjelasan Hukumnya
Shalat Tahiyatul masjid jumlahnya dua rakaat. Dikerjakan oleh orang yang masuk ke dalam masjid. Hukumnya sunnah secara Ijma (kesepakatan) bagi orang yang masuk masjid. Yang demikian menurut keumuman berita-berita (yang sampai). (Lihat Fathul al-Baary 2/407)

Siapa Yang Dikecualikan Mengerjakan Tahiyatul Masjid?
Khatib jumu'at (penceramah jum'at) dikecualikan (dari melakukan dua rakaat tahiyatul masjid) jika dia masuk untuk berkhutbah jumu'at. Demikian pulu qoyyum al-Masjid yaitu orang yang mengurus masjid karena sering keluarmasuk masjid sehingga dapat memberatkannya. Juga tidak disunnahkan bagi orang yang masuk masjid ketika imam sedang melaksanakan shalat maktubah
(shalat wajib yang lima waktu) atau setelah iqomat shalat dikumandangkan, karena shalat wajib telah menggantikan tahiyatul masjid. (Subul as-Salam 1/320)
Sebagian ulama berpendapat istihbab (disukainya) mengulang-ulang tahiyatul masjid setiap kali masuk masjid. Pendapat ini diambil oleh an-Nawawi dan dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taymiah, yang juga merupakan pendapat kuat Madzhab Hanbali. (Al-Majmu 4/75)
As-Syaukani berpendapat bahwa tahiyatul masjid disyari'atkan meskipun acap kali keluar-masuk masjid sebagaimana zahir hadits. (Nail al-Authar 3/70)
Wallahu A`lam

Hikmah Disyari'atkannya Tahiyatul Masjid
Tahiyatul masjid tergolong sebagai penghormatan terhadap masjid. Seolah menduduki ungkapan salam ketika masuk ke suatu tempat, sebagaimana seorang yang memberi salam kepada sahabatnya ketika bertemu.

An-Nawawi berkata, "Sebagian yang lain mengibaratkannya dengan memberi salam kepada pemilik masjid. Karena maksud dilakukannya tahiyatul masjid adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada masjid; sebab seseorang yang masuk ke rumah orang lain, yang diberi salam adalah pemiliknya bukan rumahnya. (Hasyiah Ibnu Qoosim 2/252)

Perkara-Perkara Terkait Tahiyatul Masjid
Perkara pertama:
Tahiyatul masjid disyari'atkan disetiap waktu, karena ia termasuk zawaatul asbab (ibadah yang terkait dengan sebab). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Islam Ibnu Taymiah dan dikatakan oleh Majduddin Abu al-Burkan, Ibnu al-Jauzi dan selain mereka. (Lihat al-Inshoof 2/802, Al-Muharror 1/86, Nail al-Authaar 3/62 dan Al-Fatawa oleh Ibnu Taymiah 23/219) Pendapat ini juga yang dipilih oleh syaikh kami Muhammad bin Utsaimin dan dia menshahihkannya (Lihat As-Syarh al-Mumti' 4/179). juga Syaikh Ibnu Baz. (Lihat Fatawa Muhimmah yang berhubungan dengan shalat)

Perkara kedua:
Waktu mengerjakan tahiyatul masjid adalah ketika masuk masjid sebelum duduk. Jika dia sengaja duduk dan menyadarinya, tidak disyari'atkan baginya kembali berdiri untuk mengerjakan shalat tahiyatul masjid karena waktunya telah usai.

Perkara ketiga:
Seseorang yang masuk masjid karena tidak tahu atau lupa langsung duduk sebelum shalat tahiyatul masjid, disyari'atkan baginya berdiri dan melaksanakan dua rakaat tahiyatul masjid, karena bagi yang berudzur waktunya belum berlalu, dengan syarat antara duduk dan shalatnya tidak berselang lama.( Lihat Fath al-Baary 2/408)

Perkara keempat:
Hukum melaksanakan tahiyatul masjid adalah sunnah, berbeda dengan mereka yang mengatakan wajib. An-Nawawi menyampaikan ijma (kesepakatan ulama) akan hal itu. (Nail al-Authaar 3/68)

Perkara kelima:
Ketika seseorang masuk masjid dan muadzin sedang mengumandangkan adzan, yang disyari'atkan baginya adalah menjawab seruan adzan dan mengakhirkan pelaksanaan tahiyatul masjid agar mendapatkan keutamaan menjawab seruan adzan. Namun jika masuk masjid pada hari jum'at dan adzan khutbah (adzan kedua) telah dimulai, hendaknya mendahulukan tahiyatul masjid daripada menjawab seruan adzan, karena mendengar khutbah lebih penting. (Al-Inshaf 1/427)

Perkara keenam:
Siapa yang masuk masjid pada hari jum'at dan imam sedang berkhutbah, disunnahkan baginya melakukan shalat dua rakaat tahiyatul masjid dan meringankannya (tidak memanjangkan). Makruh (dibenci) jika meninggalkannya. ( Al-Fatawa oleh Ibnu Taymiah 23/219). Hal ini sebagaimana hadits:
فَلاَ يَجْلِس حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
"Janganlah duduk sebelum melakukan shalat dua rakaat." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari no.1163, Muslim no.714)
Dan hadits:
فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَ لِيَتَجَوَّزَ فِيْهِمَا
"Hendaklah melakukan shalat dua rakaat dan meringankan keduanya (tidak memanjangkannya)." (Hadits riwayat al-Bukhari no.931 dan Muslim no.875)
Adapun jika khatib sudah hampir selesai dari khutbahnya, dan orang yang masuk yakin jika dia melaksanakan shalat tahiyatul masjid dia tidak akan mendapat rakaat pertama shalat jumu'at, maka hendaknya berdiri sampai dikumandangkan iqomat shalat dan tidak duduk, agar jangan sampai duduk sebelum shalat tahiyatul masjid.

Perkara ketujuh:
Tahiyatul masjid untuk Masjid al-Haram (Mekkah) adalah towaf menurut kebanyakan ahli fiqih. An-Nawawi berkata: "Tahiyatul Masjid al-Haram adalah towaf bagi mereka yang datang, adapun bagi mereka yang mukim (tinggal di Mekkah) baik Masjid al-Haram atau masjid yang selainnya adalah sama. (Fath al-Baary 2/412)
Boleh jadi maksud (perkataan an-Nawawi) adalah bagi mereka yang tidak bermaksud melakukan tawaf. Adapun bagi mereka yang ingin tawaf, maka tawafnya itu sudah menggantikan dua rakaat tahiyatul masjid. Inilah pendapat yang benar. (Lihat Hasyiah Ibnu al-Qoosim 2/487)

Perkara kedelapan:
Shalat sunnah raatibah qobliah (Shalat sunnah yang mengikuti shalat wajib yang dikerjakan sebelumnya) sudah menggantikan tahiyatul masjid. Karena maksud dari tahiyatul masjid adalah agar orang yang masuk masjid memulai dengan shalat, dan itu sudah terdapat pada shalat sunnah raatibah yang dilakukannya. Jika dalam shalatnya dia berniat melakukan shalat tahiyatul masjid dan sunnah raatibah atau tahiyatul masjid dan shalat fardhu (shalat wajib yang lima waktu), maka dia telah mendapat semuanya. An-Nawawi berkata: "Tidak ada yang menyelisihi pendapat ini." (9 Lihat Kasysyaf al-Qonaa' 1/423)

Perkara kesembilan:
Tahiyatul masjid tidak cukup hanya dengan satu rakaat. Tidak pula tergantikan oleh shalat jenazah, sujud tilawah atau sujud sukur. (Lihat Kasysyaf al-Qonaa' 1/424)

Perkara kesepuluh:
Jika imam masjid mencukupkan diri dengan shalat maktubah21 dari pada mengerjakan tahiyatul masjid (ketika masuk masjid) karena dekatnya waktu iqomat shalat, hal itu sudah cukup. (Subul as-Salaam no.1329).
Dari Jabir bin Samuroh, dia berkata, "Dahulu Bilal menyerukan adzan jika matahari telah tergelincir sampai Nabi SAW keluar (Keluar dari rumahnya berarti masuk ke dalam masjid, karena rumah Nabi SAW bersebelahan dengan masjid). Ketika Nabi keluar Bilal segera menyerukan iqomat seketika melihat beliau. (Hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud). Apabila imam ingin duduk, disyari'at melakukan shalat tahiyatul masjid seperti yang lainnya. Sebagaimana keumuman dalil-dalil yang ada (Lihat perkara berikutnya).
Di dalam hadits Nabi  SAW :
إِذَا دَخلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلاَ يَجْلِس حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
"Jika salah seorang di antara kalian masuk ke dalam masjid, maka janganlah duduk sampai melaksanakan shalat dua rakaat.” (Hadits riwayat al-Bukhari no.444 dan Muslim no.764)
Jika melaksanakan shalat di tempat terbuka, maka tidak ada shalat tahiyatul masjid (Al-fawakih al-A'didah 1/99) kecuali jika singgah di suatu masjid dalam perjalanannya. Pada saat itulah dia boleh melakukannya. Jika diniatkan tahiyatul masjid dan shalat faridhah secara bersamaan hal itu lebih benar.

Perkara kesebelas:
Tidak disyari'atkan bagi imam melakukan shalat tahiyatul masjid sebelum shalat jum'at atau shalat 'Id. Hendaknya memulai dengan khutbah ketika jum'at (Lihat al-Majmu 4/448) dan dengan shalat ketika 'Id (pada hari 'Id), karena demikianlah yang dilakukan Nabi SAW.
Sedangkan makmum disyari'atkan melakukan tahiyatul masjid di tempat penyelenggaraan shalat 'Id sebelum duduk, sebagaimana keumuman dalil-dalil yang ada. Sama saja apakah shalat 'Id dilaksanakan di majid atau di mushola, karena tempat itu dihukumi seperti masjid. Hal ini sebagaimana dalil yang terdapat pada hadits Ummu 'Athiah –semoga Allah meridoinya-, dia berkata, "Nabi memerintahkan kami para gadis dan yang haidh agar keluar menghadiri pelaksnaan shalat dua hari raya ('Idul Fitri dan 'Idul Adha) untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, dan bagi yang haidh hendaknya berada diluar mushala. (Hadits riwayat al-Bukhari no.324 dan Muslim no.890)
Atas dasar inilah Muhammad bin Utsaimin berpendapat, yang juga merupakan pendapat Madzhab Syafi'I (As-Sarh al-Mumti' 5/205) dan dishahihkan oleh penulis alInshaf dan al-Furuu' . (Lihat al-Inshaf 1/246)

Perkara kedua belas:
Disunnahkan bagi yang telah selesai mengerjakan shalat faridhah (di tempatnya) kemudian datang ke suatu masjid yang sedang melaksanakan shalat berjamaah agar ikut melakukan shalat bersama mereka. Sebagaimana sabda Nabi
"Jika kalian berdua telah melaksanakan shalat ditempat kalian, kemudian datang ke masjid (yang sedang melaksanakan shalat) jamaah, maka shalatlah bersama mereka, karena sesungguhnya shalat kalian itu adalah nafilah (ibadah sunnah). (Hadits riwayat at-Turmudzi no.219)
Dengan demikian, shalat faridhah yang dilakukannya cukup menggantikan tahiyatul masjid, dan itu terhitung sebagai ibadah nafilah (sunnah). Sedang shalat wajibnya adalah yang dia kerjakan pertama kali ditempatnya, karena dengan shalat pertama itulah dia telepas dari kewajiban. Perkara ini banyak terjadi pada masjid yang diselenggarakan disitu shalat jenazah, pengajian dan sebagainya. Barang siapa yang shalat bersama imam hendaknya menyempurnakan shalatnya, sebagaimana keumuman sabda Nabi  SAW:
"Apa yang kalian dapatkan (dari rakaat) maka (lanjutkan) shalat kalian, dan apa  yang luput dari kalian, maka sepurnakanlah." (Hadits dikeluarkan oleh al-Bukhari no.636 dan Muslim no.602). Yang demikian ini lebih utama.  Jika dia hanya mendapatkan dua rakaat bersama imam, boleh salam (menyelesaikan shalatnya) bersama imam. Adapun jika kurang dari itu, yang sunnah adalah menyempurnakannya menjadi dua rakaat lalu salam. (5 Asy-Syarh al-Mumti' 4/220)
Jika dia duduk setelah masuk masjid atau menunggu sampai usainya shalat berjamaah hal itu adalah menyelisihi sunnah dan menunjukkan kebodohan orang yang bersangkutan.
Kita meminta kepada Allah agar mengajarkan kita ilmu yang bermanfaat dan memberi manfaat dengan ilmu yang telah kita pelajari, karena sesungguhnya Dia pemilik kemurahan dan kemulian. Amin.

Sumber:

Hukum-hukum seputar tahiyatul masjid karya Muhammad bin Shalih al-Khuzaim.
Share:

Ujub Gila Akan Takjub

Pastikan anda me-like Cahaya Islam di Fans Page Facebook untuk mendapatkan informasi yang up to date.
Ujub Gila Akan Takjub

Salah satu sifat manusia yang berasal dari dorongan hawa nafsu syaithoni adalah sifat ujub. Ujub adalah merasa kagum terhadap diri sendiri sehingga dia pantas mendapatkan pujian dari orang lain meskipun dia melakukan hal-hal yang buruk. Ujub seringkali disandingkan dengan kata takabbur karena memang ujub akan mengarahkan seseorang ke dalam kesombongan. wal`iyaadzubilaah.
Salah seorang ulama salaf pernah berkata: “Seorang yang ujub akan tertimpa dua kehinaan, akan terbongkar kesalahan-kesalahannya dan akan jatuh martabatnya di mata manusia.”
Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang yang terkena penyakit ujub, akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena saking ujubnya terhadap diri sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari orang itu, ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya, maka Imam Syafi’i pun membantahnya seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa yang mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjatuhkan martabatnya.”

Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya dan mengang-gapnya bagai angin lalu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits: “Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)
Bisyr Al-Hafi mendefenisikan ujub sebagai berikut: “Yaitu menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Barangkali gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena penyakit ujub adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang lain.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah meringkas defenisi ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya!”
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub? Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
“Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)
Amal shalih itu ibarat sinar dan cahaya yang terkadang padam bila dihembus angin ujub!
Defenisi Ujub
Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya dan mengang-gapnya bagai angin lalu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits: “Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)
Bisyr Al-Hafi mendefenisikan ujub sebagai berikut: “Yaitu menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”
Barangkali gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena penyakit ujub adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang lain.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah meringkas defenisi ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya!”
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub? Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:
“Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)
Amal shalih itu ibarat sinar dan cahaya yang terkadang padam bila dihembus angin ujub!
sumber; Risalah Al-Hujjah No: 54 / Thn IV / Rabiul Awal


Share:

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer

Sepakbola GP