Pengertian

وَالَّذِينَ
لا يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..”
(at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak
memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Ijtihad
(Arab: اجتهاد)
adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan
oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang.
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya
menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk
dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah Nabi saw mengungkapkan
kata-kata:
“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”
artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan
bersungguh-sungguhlah dalam berdo`a”
Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak
tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang
mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada
relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk
melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin
pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang
telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad
adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash yang
terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari
maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah yang terkenal dengan “mashlahat.”
Rasulullah saw bersabda ketika mengutus Mu`adz
bin Jabal ke Yaman, lalu terjadi dialog antara mereka. Rasul Bertanya:
بِمَا تَحْكُمُ؟
“Dengan
apa engkau memutuskan hukum?”
Mu`adz menjawab:
بِكِتَابِ اللهِ
“Dengan Kitab Allah swt”
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ؟
Nabi bertanya lagi: “Jika engkau tidak
mendapati di dalamnya?”
Jawab
Mu`adz:
بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ
“Dengan
Sunah Rasul-Nya”
Lalu Tanya Nabi saw:
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ؟
“Jika engkau tidak mendapati di dalamnya?”
Jawab Mu`adz:
أَجْتَهِدُ رَأْيِى
“Saya berijtihad dengan kekuatan akalku”
Mendengar jawaban tersebut Nabi saw bersabda:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ
رَسُوْلَ رَسُوْلِهِ
“Segala
puji bagi Allah swt yang telah membuka hati utusan rasul-Nya”
Berdasar hadits di atas maka sumber hukum Islam
yang ketiga adalah Ijtihad.
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah,
ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok
minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan
diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok
mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan
segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku ijtihad adalah seorang ahli
fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum
syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan
orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh
ijtihad adalah dzanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi
ijtihad di atas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian
istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u
‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally)
menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila
dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’,
Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat
sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh
mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.
Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu
(ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah
non Islam yang dhalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa
ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan
tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya,
diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
Tujuan
ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada
Allah di suatu tempat tertentu atau pada
suatu waktu tertentu.
Fungsi
Ijtihad
Meski
Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist.
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jika
terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka
yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
Macam-macam
Ijtihad
a. Ijma’
Ijma’
artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum
hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang
terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah
fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
diikuti seluruh umat. Contohnya adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para
ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
b. Qiyâs
Qiyas
artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu
perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan
dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu
sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila
memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa
sebelumnya. Beberapa definisi qiyâs (analogi):
1) Menyimpulkan hukum dari yang asal
menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
2) Membuktikan hukum definitif untuk
yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
3) Tindakan menganalogikan hukum yang
sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang
memiliki persamaan sebab (iladh).
Contohnya
adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau
‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau
menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
c. Istihsân
Beberapa
definisi Istihsân:
1) Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih
(ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2) Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih
tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
3) Mengganti argumen dengan fakta yang
dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
4) Tindakan memutuskan suatu perkara
untuk mencegah kemudharatan.
5) Tindakan menganalogikan suatu
perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
Contohnya,
menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum
ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah
(kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan sistem
pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
d. Maslahah murshalah
Adalah
tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan
prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan. Contohnya, dalam Al Quran
maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan
ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi
kemaslahatan umat.
e. Syad Adz-Dzarra`
Adalah
tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn
umat.
f. Istishab
Adalah
tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa
mengubahnya. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau
belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan
sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah
bila tidak berwudhu.
g. Urf
Adalah
tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat
setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan
prinsipal dalam Alquran dan Hadis. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si
pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya
tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual
dan pembeli.
Wallahul
Muwafiq
0 Comments:
Posting Komentar