
1. Benih Kemunafikan
Agar
terhindar dari bahaya kemunafikan, maka harus diwaspadai mulai dari
benih-benihnya. Sebagaimana pesan Nabi saw tentang tanda-tanda orang yang
munafik:
1.
Bila
berbicara selalu bohong.
Orang seperti ini tidak bisa dipercayai dalam setiap perkataan yang diucapkannya. Bisa jadi apa yang dibicarakan tidak sesuai dengan hatinya.
Orang seperti ini tidak bisa dipercayai dalam setiap perkataan yang diucapkannya. Bisa jadi apa yang dibicarakan tidak sesuai dengan hatinya.
2.
Bila
berjanji, tidak ditepati
Orang munafik sulit untuk dipercayai perkataan dan perbuatannya
Orang munafik sulit untuk dipercayai perkataan dan perbuatannya
3.
Bila
diberi kepercayaan selalu berkhianat.
Orang munafik sulit diberikan kepercayaan. Setiap kali kepercayaan yang diberikan tidak dapat dia jaga dengan baik.
Orang munafik sulit diberikan kepercayaan. Setiap kali kepercayaan yang diberikan tidak dapat dia jaga dengan baik.
Hati
yang sakit biasanya dimiliki oleh orang munafik, mereka menyatakan beriman tapi
sekadar di lisan, mereka laksanakan kebaikan termasuk shalat tapi
maksudnya adalah untuk mendapatkan pujian orang, karena itu mereka tidak
merasakan nikmatnya beribadah dan berbuat baik. Allah SWT berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ آمَنَّا بِاللّهِ وَبِالْيَوْمِ
الآخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ. يُخَادِعُونَ اللّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ
إِلاَّ أَنفُسَهُم وَمَا يَشْعُرُونَ. فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللّهُ
مَرَضاً وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ
Di antara manusia ada yang mengatakan:
“Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya
bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak
sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan
bagi mereka siksa yang pedih,disebabkan mereka berdusta. (QS Al-Baqarah:8-10)
2. Rasa Takut tidak pada tempatnya
Rasa
takut hanya kepada Allah swt, bukan kepada selain-Nya. Takut akan adzab-Nya,
takut karena betapa Allah swt Maha Kuasa, Maha Perkasa dan Maha Menguasai
seluruh ciptaan-Nya di langit dan di bumi. Dengan takut kepada Alah swt, maka ruh
(spiritual) kita akan meningkat dan terpelihara dengan kokoh dan
sebaliknya orang yang takut kepada selain Allah swt maka hal itu pertanda
runtuh dan robohnya ruh. Takut kepada Allah swt (al khauf minallah)
adalah salah satu bentuk ibadah yang semestinya dicamkan oleh setiap mukmin.
Rasa
takut merupakan merupakan sifat orang yang bertakwa, dan semakin berilmu maka
semakin takut kepada Allah swt.
Sifat
Orang Yang Bertaqwa
Takut
kepada Allah adalah sifat orang yang bertaqwa, dan ia juga merupakan bukti
imannya kepada Allah. Lihatlah bagaimana Allah mensifati para Malaikat, Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya) : “Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di
atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)” (QS.
An Nahl: 50).
Lihat
juga bagaimana Allah Ta’ala berfirman tentang hamba-hambanya yang paling
mulia, yaitu para Nabi ‘alahimus wassalam (artinya) : “Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan
takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami” (QS. Al
Anbiya: 90)
Semakin
Berilmu Semakin Takut Kepada Allah
Oleh
karenanya, seseorang semakin ia mengenal Rabb-nya dan semakin dekat ia kepada
Allah Ta’ala, akan semakin besar rasa takutnya kepada Allah. Nabi kita Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku yang paling mengenal Allah dan
akulah yang paling takut kepada-Nya” (HR. Bukhari-Muslim).
Allah
Ta’ala juga berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28)
3.
Berprasangka Buruk
Imam
al-Ghazali berkata dalam Ihya Ulumuddin (3/150), “Ketahuilah bahwa
prasangka buruk (su’u zhan) adalah haram seperti halnya ucapan yang
buruk. Sebagaimana haram atasmu membicarakan keburukan seseorang kepada orang
lain, maka tidak boleh juga membicarakannya kepada dirimu (hatimu) sendiri dan
engkau berprasangka buruk terhadap saudaramu. Dan yang aku maksudkan adalah
keyakinan hati terhadap orang lain dengan keburukan. Adapun apa yang terlintas
dan bisikan hati maka hal itu dimaafkan, bahkan keraguan juga. Akan tetapi yang
dilarang adalah menyangka, dan prasangka adalah kata lain dari sesuatu yang
dijadikan sandaran yang hati condong kepadanya.
Allah
berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan prasangka, (karena)
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.”(QS. al-Hujurat:12)
Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata,
“Tidak boleh engkau berprasangka buruk kepada saudaramu sesama muslim, kecuali
jika terlihat sesuatu yang tidak mungkin lagi untuk ditakwil (dicari-cari
alasannya). Jika seseorang yang adil mengabarkan kepadamu tentang hal itu, lalu
hatimu condong untuk membenarkan maka engkau tidak bersalah. Karena jika engkau
mendustakan, berarti engkau telah berburuk sangka terhadap orang yang
mengabarkannya. Tidak pantas engkau berbaik sangka terhadap seseorang dan
berburuk sangka terhadap orang lain, akan tetapi hendaknya engkau mencari tahu,
apakah di antara keduanya ada permusuhan atau kedengkian. ”(Mukhtashor Minhajil Qashidin: 172)
4. Ghibah
Ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri
seorang muslim, sedang ia tidak suka (jika hal itu disebutkan). Baik dalam
keadaan soal jasmaninya, agamanya, kekayaannya, hatinya, ahlaknya, bentuk
lahiriyahnya dan sebagainya. Caranya-pun bermacam-macam. Di antaranya dengan
membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari orang yang
dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok.
Secara bahasa, ghibah berarti menggunjing. Banyak orang
meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Allah swt ia adalah
sesuatu yang keji dan kotor. Hal itu dijelaskan dalam sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Riba itu ada tujuh puluh
dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang
menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan
seorang laki-laki atas kehormatan saudaranya". (As-Silsilah As-Shahihah,)
Dari Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله
أعلم .قال:الْغِيبَة ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ
فِي أَخِي مَا أَقُول ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ،
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَقَدْ بَهَتّه
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”
Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu.”
Kemudian beliau shallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Engkau menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”
Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika
sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata ada pada saudaraku?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,
“Jika memang apa yang engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang
namanya ghibah, namun jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.”
(HR Muslim 2589 Bab: Al-Bir Wash Shilah Wal Adab)
5. Gampang Marah
A.
Orang Kuat ialah yang Mampu Menahan Marahnya
Ketika
seseorang marah dan dia tidak mampu mengendalikan nafsu amarahnya, maka
terkadang refleks keluar dari mulutnya kata-kata yang menghinakan. Baik berupa
cacian, perkataan kotor, bahkan dia bisa saja berbuat sesuatu yang dapat
mencelakakan dirinya dan orang lain. Karena sesungguhnya nafsu amarah itu
mendorong orang untuk melakukan perbuatan yang buruk dan tercela.
Dari
Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Orang kuat itu
bukanlah orang yang dapat bergulat. Tetapi orang kuat ialah orang yang dapat
menahan nafsunya ketika sedang marah.” (Mutafaq’alaih) [1]
B.
Wasiat Nabi saw. Pada Seorang Lelaki
Diantara
wasiat Rasul saw kepada umatnya adalah agar mampu menahan amarahnya, bahkan
kalau bisa jangan sampai marah. Karena kalau seseorang sudah berada di luar
kontrol akalnya karena tidak mampu menguasai marahnya, maka akan sangat
berpengaruh besar terhadap ucapan dan perbuatannya.
Wasiat
Nabi saw tentang larangan marah ini disampaikan agar kita mampu mengontrol diri
kita. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang bersumber dari Abu Hurairah ra,
ada seorang lelaki berkata kepada Nabi saw, “Berilah saya nasihat.” Beliau
bersabda, “Jangan marah.” Lelaki itu terus mengulang-ulang permintaannya dan
beliau tetap menjawab, “Jangan marah.” (HR. Bukhari) [2]
Imam
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna jangan marah yaitu janganlah kamu
tumpahkan kemarahanmu. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa marah itu
sendiri. Karena pada hakikatnya marah adalah tabi’at manusia, yang tidak
mungkin bisa dihilangkan dari perasaan manusia.”
C.
Nasihat Nabi saw. Dalam Mengatasi Marah
Apabila
seseorang marah, maka Nabi saw memberikan tips buat kita untuk megatasi marah
yang membara dalam diri kita. Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah
seorang dari kalian marah dalam kondisi berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau
marahnya belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring.” (HR. Ahmad)
Ini
merupakan langkah yang paling baik untuk ditempuh jika seseorang marah, dan
apabila masih belum juga hilang maka ambillah air wudlu lalu shalatlah, karena
marah itu ibarat api, dan padamnya api tidak lain adalah dengan air.
D.
Surga Buat Orang yang Mampu Menahan Amarahnya
Dibalik
anjuran Rasul agar jangan marah, tentu ada hikmah yang sangat besar yang terkandung
di dalamnya. Karena orang yang mampu menahan amarahnya dan tidak menumpahkannya
demi melampiaskan keinginan hawa nafsunya, maka balasan bagi dirinya adalah
surga.
Ada
seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah saw dan mengatakan, “Wahai
Rasulullah, ajarkanlah kepada saya sebuah ilmu yang bisa mendekatkan saya ke
surga dan menjauhkan dari neraka.” Maka beliau saw bersabda, “Jangan tumpahkan
kemarahanmu. Niscaya surga akan kau dapatkan.” (HR. Thabrani)
E.
Allah Menahan Azab Buat Orang yang Menahan Amarahnya
Hal
ini dijelaskan dalam hadits Nabi saw., yang bersumber dari dari Anas ra, ia
berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa mampu menahan
amarahnya, Allah Akan menahan azab-Nya dari dirinya.” (HR. Thabrani dalam
Al-Mu’jam Al-Ausath) [3]
Perlu
digaris bawahi, bahwa bukanlah maksud Nabi saw melarang memiliki rasa marah.
Karena pada dasarnya rasa marah itu merupakan bagian dari tabi’at manusia yang
pasti ada. Akan tetapi maksudnya ialah kuasailah dirimu ketika rasa marah itu
muncul. Supaya kemarahanmu itu tidak menimbulkan dampak yang tidak baik bagi
dirimu dan orang lain.
Sesungguhnya
kemarahan merupakan bara api yang dilemparkan oleh syaithan ke dalam lubuk hati
bani Adam. Oleh sebab itu, perhatikanlah kalau orang sedang marah. Kita akan
melihat kedua matanya menjadi merah, dan urat lehernya menonjol serta menegang.
Bahkan terkadang rambutnya pun ikut rontok dan berjatuhan akibat luapan marah.
Bahkan hal-hal lain yang tidak terpuji dapat timbul mengikuti di belakangnya.
Hal ini akan mengakibatkan pelakunya merasa sangat menyesal atas perbuatan yang
telah dia lakukan ketika dia marah.
Wallahul muwafiq
0 Comments:
Posting Komentar