Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

RAIH KEUNTUNGAN HINDARI KERUGIAN



Quran Surat Al-`Ashr
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran” (QS. Al ‘Ashr 1-3).

Surat Al-`Ashr merupakan salah satu surat yang pendek dan banyak dihafal oleh umat Islam, bahkan anak-anak sekalipun tidak sedikit dari mereka yang sudah menghafalnya. Namun meskipun pendek, surat ini sangat sarat dengan makna, yang apabila dihafal, ditelaah, difahami dan diamalkan maka akan membawa kepada kebahagiaan dan menjauhkan dari kerugian dunia akhirat.

Surat ini termasuk surat makkiyyah, demikian pendapat mayoritas ulama. Tema utamanya adalah tentang pentingnya memanfaatkan waktu dan mengisinya dengan kegiatan atau aktifitas yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Sebab jika tidak, maka kerugian dan kecelakaanlah yang menanti mereka.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
“Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya (petunjuk-petunjuknya) mencukupi mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].

Ayat 1-2
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2)
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”.
·         Tafsir Mufradat
Kata (العصر) al-`ashr terambil dari kata (عَصَرَ) `ashara yakni menekan sesuatu sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam daripadanya Nampak ke permukaan atau keluar (memeras). Angin yang tekanannya sedemikian keras sehingga memporak-porandakan segala sesuatu dinamai (إِعْصَار) i`shar /waktu. Tatkala matahari telah melampaui pertengahan dan telah menuju kepada terbenamnya dinamai (عَصْر  )  `ashar/asar. Penamaan ini agaknya karena disebabkan karena ketika itu manusia yang sejak pagi telah memeras tenaganya diharapkan telah mendapatkan hasil dari usaha-usahanya. Awan yang mengandung butir-butir air yang kemudian berhimpun sehingga karena beratnya ia kemudian mencurahkan hujan yang dinamai dengan ( الْمُعْصِرَات) al-mu`shirat.
            Kata (الإِنْسَان)  al-insan / manusia terambil dari akar kata yang dapat berarti gerak atau dinamisme, lupa, merasa bahagia (senang). Ketiga arti ini menggambarkan sebagian dari sifat atau ciri khas manusia. Ia bergerak bahkan seyogianya memiliki dinamisme, ia juga memiliki sifat lupa atau seyogianya melupakan kesalahan-kesalahan orang lain serta ia pun merasa bahagia dan senang bila bertemu dengan jenisnya atau seyigianya selalu berusaha memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada diri dan makhluk-makhluk lainnya.
            Kata al-insan yang mengambil bentuk ma`rifat (difinit) menunjuk kepada jenis-jenis manusia tanpa kecuali, baik mukmin ataupun kafir. Syeikh Muhammad Abduh menambahkan bahwa manusia yang dimaksud oleh ayat ini meskipun bersifat umum, tetapi tidak mencakup mereka yang tidak mukallaf (tidak mendapatkan beban perintah keagamaan) seperti yang belum dewasa atau gila.
            Kata (خُسْر) khusr memiliki banyak arti; rugi, sesat, celaka, lemah, tipuan dan sebagainya yang semuanya mengarah kepada makna-makna negatif atau tidak disenangi oleh siapa pun. Kata tersebut dalam ayat ini berbentuk nakirah (indefinit). Ia menggunakan tanwin yang memberikan arti keragaman dan kebesaran yakni kerugian serta kesesatan, kecelakaan, dan sebagainya yang besar dan beraneka ragam.
            Kata (لَفِي) la fii adalah gabungan dari huruf  (ل) lam yang menyiratkan makna sumpah dan huruf (ــفِي) fii yang mengandung makna wadah atau tempat. Dengan kata tersebut tergambar bahwa seluruh totalitas manusia berada di dalam satu wadah kerugian. Kerugian seakan-akan menjadi satu tempat atau wadah dan manusia berada serta diliputi oleh wadah tersebut.  
            Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi maka kita akan merugi, bahkan kalaupun diisi tapi dengan dengan hal-hal negatif maka manusia pun diliputi oleh kerugian. Di sinilah terlihat keterikatan antara ayat pertama dan kedua dan dari sini pula ditemukan sekian banyak hadits Nabi saw yang mengingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin. “Dua nikmat yang sering dilupakan (disia-siakan) banyak manusia adalah kesehatan dan waktu”.
Ayat 3
إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran”.
·         Tafsir Mufradat
Kata (عَمَل) `amal / pekerjaan digunakan oleh Al-Quran untuk menggambarkan penggunaan daya manusia – daya pikir, fisik, qalbu, dan daya hidup yang dilakukan dengan sadar oleh manusia dan jin.
            Kata (صَالِح) shalih terambil dari akar kata (صلح) shaluha yang dalam kamus-kamus bahasa al-quran sering dijelaskan sebagai antonym (lawan) dari kata (فَاسِد) fasid/rusak. Dengan demikian kata  shalih diartikan sebagai tiadanya (terhentinya) kerusakan. Kata ini juga dapat diartikan bermanfaat atau sesuai. Amal shaleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan terhenti atau menjadi tiada – akibat pekerjaan tersebut – suatu madharat (kerusakan), ataukah dengan dikerjakannya diperoleh manfaat dan kesesuaian. Amal shaleh adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan. Ia adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, Al-Quran dan atau sunnah Nabi Muhammad saw. Melakukan suatu upaya agar nilai-nilai yang terdapat pada sesuatu tetap lestari sehingga ia dapat berfungsi sebagaimana mestinya dinamakan dengan “amal shaleh.” Apabila ada suatu nilai yang tidak terpenuhi, maka manusia sangat dituntut untuk memenuhi nilai yang hilang itu dan “memasang”-nya kembali agar dapat berfungsi. Ketika itu, manusia tadi dinamakan telah melakukan  (إِصلاَح) Ishlah.
IMAN
Pada surat al-`ashr ini Allah swt  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Atau bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah men-generalisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat syarat. [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Syarat pertama, yaitu beriman kepada Allah swt. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu.  Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
“Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa  membuat dirinya mampu menegakkan agama.”  [Al Furu’ 1/525].
Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala  berfirman,

مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ  نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
“Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
AMAL
Syarat yang kedua adalah amal. Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,  seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.
Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا
“Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
“Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

Menasehati dalam kebaikan (Dakwah  Fillah)
Syarat yang ketiga adalah memberikan nasehat kebaikan dan kebenaran atau dengan kata lain berdakwah. Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogianya seseorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Manakala kita senang berdakwah, saling menasehati demi tegaknya ajaran Islam yang sesungguhnya, maka sebenarnya kita telah mencapai kepada derajat syukur akan keimanan dan keislaman yang Allah swt berikan kepada kita.
Bersabar
Syarat keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

فَبِاالأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
“Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Kesimpulan:
1.      Waktu adalah modal utama manusia, apabila tidak diisi dengan hal-hal positif, maka ia akan berlalu tanpa arti dan akan hilang tertiup angina tanpa membawa keuntungan.
2.      Iman bagaikan rasa cinta dan kagum, hanya dirasakan oleh pemiliknya.
3.      Keadaan seseorang yang beriman bagaikan orang yang sedang mendayung perahu di tengah samudera dengan ombak dan gelombangnya yang dahsyat lagi bergemuruh.
4.      Amal shaleh adalah pekerjaan yang penuh makna kebaikan atas dasar iman dan takwa.
5.      Manusia akan memperoleh kebahagiaan dan keuntungan manakala ia beriman, kemudian imannya dihiasi oleh amal shaleh, dan amal shaleh dibingkai dengan nasehat dalam kebaikan dan kesabaran. 

Mudah-mudahan Allah swt menganugerahkan kekuatan kepada seluruh hamba-hamba-Nya agar mampu dengan mudah mempertahankan keimanan yang lurus, beramal sholeh tiada henti, dan saling nasehat-menasehati dalam kebaikan dan penuh kesabaran. Amin Ya Mujibassailin..

Share:

Related Posts:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini

Blog Archive


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer