ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما
، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله ، وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في
النار
3 perkara yang
apabila ketiga perkara tersebut ada dalam diri seseorang, maka dia akan
merasakan manisnya IMAN. Menjadikan Allah swt dan Rasul-Nya lebih dicintainya
daripada selain keduanya. Mencintai seseorang, tidak mencintainya melainkan
hanya karena Allah swt. Dan membenci terhadap kekufuran sebagaimana ia benci
manakala dimasukan ke dalam neraka. (HR.Bukhari-Muslim)
Al-‘aqliyyuun yakin bahwa esensi
manusia adalah “keberpikirannya”. Bagi mereka semakin sempurna seorang manusia,
semakin sempurna pula pemikirannya. Karena itu insan kamil (manusia sempurna)
menurut pandangan ini adalah orang yang paling sempurna nalarnya, dalam arti
telah menyingkap rahasia wujud (keberadaan) sebagaimana kenyataannya.
Tafakkur, -dalam pengertian
rasionalnya-, merupakan satu aktifitas utama yang menghantarkan manusia
mencapai tujuannya. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan
pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil – albaab. (Yaitu)
orang-ornag yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi : ` Yaa Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran 190-191).
Di sisi lain, para ‘urafa, meyakini
bahwa esensi manusia adalah al-qalb (hati). Dalam pandangan ini ihsas(rasa) dan
‘isyq (Cinta) manusia mempunyai nilai lebih dibanding tafakkur – nya. Perlu
dicatat di sini bahwa ‘isyq bukanlah dalam arti cinta seksual seperti cinta
pada umumnya. Ada dua ciri ‘isyq menurut para ‘urafa ;
- Cinta ini bergerak menuju kepada Allah. Ma’syuq (obyek yang dicintai)-nya hanyalah Allah SWT.
- Cinta ini mengalir pada semua yang maujud; bintang, bulan, matahari dan yang ada di sekalian alam.
Hati (al-qalb) adalah sentral Cinta.
Maka bagaimana agar manusia mencapai insan kamil ? Para ‘urafa yakin bahwa
dengan akal (baca; nalar), manusia tidak akan pernah mencapai kesempurnaan yang
hakiki. Maulana Jalaluddin Rumi mengatakan;
Kaki para filosof terbuat dari kayu
Kaki yang terbuat dari kayu tidaklah berkekuatan sedikitpun
Kaki yang terbuat dari kayu tidaklah berkekuatan sedikitpun
Sebaliknya para ‘urafa meyakini
adanya kitab’azali yang terdapat dalam diri setiap orang. Kitab Agung tempat
khazanah pengetahuan Tuhan. Yaitu; hati. Tuhan tidak akan pernah dapat
ditampung bimi dan langit, tapi Tuhan dapat ditampung (baca; hadir) pada hati
mukmin. Dengan membersihkan hati (tazkiyyatun-nafs) dan mengkonsentrasikan hati
serta mengarahkannya hanya kepada Allah, maka seseorang akan dapat mencapai
derajat insan kamil.
Dalam kitab sufi tidak terdapat
tulisan dan kata,
Yang ada hanya hati putih bak salju
Yang ada hanya hati putih bak salju
Karena tulisan dan kata hanyalah
rerantingan
Sedang Wujud yang dirasa adalah akar
Sedang Wujud yang dirasa adalah akar
Dan tulisan dan kata hanyalah
kekhayalan
Sedang rasakanlah Ia yang lebih dekat dari urat leher
Sedang rasakanlah Ia yang lebih dekat dari urat leher
Dalam hati sufi tidak terdapat
berbagai pengetahuan
Yang ada hanya lah Ia sendiri
Yang ada hanya lah Ia sendiri
Firman Allah swt: Beruntunglah
mereka yang telah membersihkan dirinya (QS Asy-Syams 9).
Di sisi lain Allah swt juga
berfirman: Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang
yang beriman dan beramal shalih, dan saling berwasiat tentang kebenaran, dan
saling berwasiat tentang kesabaran. Jelas amal shalih apapun tanpa iman adalah
seperti seorang gadis tanpa ruh. Walaupun secantik apapun hanyalah mayat.
Sebaliknya iman tanpa amal shalih pun mustahil, seperti adanya aliran elektron
tanpa arus listrik.
Iman (+amal shalih), akal dan cinta
adalah tiga ekivalensi tapi mempunyai dimensi masing-masing. Tidak mungkin
beriman terhadap sesuatu yang tidak masuk akal. Tidak mungkin mencintai sesuatu
yang tidak diimani wujud-nya. Dan tidak mungkin akal kita dapat berkonsentrasi
terus menerus untuk menyingkap rahasia Wujud Yang Maha Agung tanpa dorongan
dari geletar ‘isyq yang ada dalam dada.
Apa kesimpulannya? Ketiganya
hanyalah manifestasi dari satu hal yang sama. Tiadanya yang satu memustikan
ketiadaan yang lain. Hanya saja dimensi kehidupan tak berhingga . Manakala kita
pandang dari sudut nalar, akal-lah namanya. Manakala kita pandang dari sudut
hati, cinta-lah namanya dan manakala kita pandang dari sudut keyakinan,
iman-lah namanya.
Dengan ketiganya, - atau mungkin
lebih tepat lagi dengan segenap wujud nya-, seorang manusia dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Ketika seseorang sampai pada pintu keselamatan, tidak ada
lagi hijab antara ia dengan allah. Dia dapat melihat Allah dengan mata hatinya.
Baginya Tuhan benar-benar dapat disifati sebagai Azh-Zhaahir ( Yang Maha
Lahir), atau bahkan An-Nuur (Cahaya (Mutlak)), sehingga tak ada suatu apa pun
yang lebih jelas dari-Nya. Imam Husein bin ‘Ali (r.a.), -cucu Rasulullah (SAW)
yang akan menjadi satu dari pemimpin para pemuda di surga-, mengatakan; “
Adakah maujud yang lebih jelas dan terang dari-Mu?”
Wallahu A`lam Bishshowab
0 Comments:
Posting Komentar