
Al-Qur`an menggambarkan dua model
manusia super kaya dari masa yang berbeda. Yang satu beriman, sedang yang lain
kafir. Yang satu suka member hartanya, sedang yang lain lebih suka menyimpan
dan memamerkan hartanya. Kedua model itu adalah Nabi Sulaiaman Alaihissalam dan
Qarun.
Syukur versus Angkuh
Sulaiman mewarisi kerajaan yang
amat luas dari ayahnya, Nabi Daud Alaihissalam. Tentaranya terdiri dari
manusia, binatang, dan jin. Setan yang ahli bangunan dan menyelam juga berada
di bawah kekuasaannya. Sulaiaman juga diberi kemampuan untuk memahami bahasa
binatang, bahkan di antaranya dijadikan intelijen. Tapi, kekuasaan besar dan
kekayaan yang melimpah di tangan Sulaiman itu tidak menjadikannya sombong dan
ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, semua itu justru
menjadikannya lebih bersyukur.
Ia pun menjadi manusia yang taat dan saleh, baik secara ritual maupun sosial. Ini tercermin dalam doanya yang diabadikan dalam al-Qur`an berikut ini:
Ia pun menjadi manusia yang taat dan saleh, baik secara ritual maupun sosial. Ini tercermin dalam doanya yang diabadikan dalam al-Qur`an berikut ini:
… وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ
نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ
صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
Dan (Nabi
Sulaiman as) berdoa: Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk
tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada
kedua orangtuaku dan untuk mengerjakan amal saleh (kebajikan) yang Engkau
ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam kelompok hamba-hamba-Mu
yang saleh. (An-Naml [27]: 19).
Sementara Qarun adalah seorang
konglomerat besar yang hidup semasa dengan Fir’aun. Ia dikarunia harta yang
melimpah dan kekayaan yang luar biasa. Al-Qur`an menggambarkan kekayaannya
sebagai berikut:
… إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ
أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ
الْفَرِحِينَ
Perbendaharaan harta yang
kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.
(Al-Qashash [28]: 76)
Sayangnya, dengan kekayaan yang
luar biasa itu ia malah menjadi sombong dan angkuh. Jangankan bersyukur, ia
bahkan mengklaim bahwa semua kekayaannya diperoleh berkat ilmu dan
kecerdikannya sendiri. Al-Qur`an mencacat klaim tersebut dalam firman-Nya:
قَالَ
إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي …
Qarun berkata, sesungguhnya aku
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku. (Al-Qashash [28]: 78)
Qarun sering keluar rumah dengan
iring-iringan besar dan pengawalan yang super ketat. Ia sekadar ingin
memamerkan kekayaannya sehingga orang yang menyaksikannya berdecak kagum
sembari berkata seperti yang digambarkan al-Qur`an:
… يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ
قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Semoga kiranya kita mempunyai
seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang besar. (Al-Qashash [28]: 79)
Qarun telah lupa daratan. Ia senang
pujian, sanjungan, dan tepuk tangan. Ia merasa puas jika orang-orang di
sekitarnya mengagumi harta kekayaannya. Dalam hatinya tak sedikitpun terbetik
keinginan untuk berbagi dengan hartanya, walaupun sedikit.
Apa akibatnya? Qarun yang tak tahu
diri dan sombong itu akhirnya mati bersama dengan seluruh harta kekayaannya dan
tak seorangpun yang mampu memberikan pertolongan kepadanya (lihat Qur`an surat
al-Qashash ayat 81)
فَخَسَفْنَا
بِهِ وَبِدَارِهِ الأرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ
Nabi Sulaiman dan Qarun adalah dua
simbol manusia yang menyikapi harta secara berbeda. Sulaiman menganggap harta
miliknya sebagai karunia Allah Ta’ala yang harus disyukuri dan dibagi-bagikan
kepada sesama manusia yang membutuhkan.
Sementara Qarun mengira bahwa
hartanya diperoleh karena ilmu, kecerdikan, dan kerja kerasnya. Ia menganggap
harta kekayaan itu miliknya yang harus dinikmati dan dibangga-banggakan, bukan
untuk dibagi. Dua sikap yang berbeda itu menghasilkan akibat yang berbeda pula.
Sulaiman yang peduli terhadap sesama dan dermawan mendapati kehidupannya penuh
kedamaian, kesuksesan, dan kebahagiaan. Ia mulia dan dimuliakan baik di dunia
maupun di akhirat dengan surga.
Adapun Qarun yang mengambil sikap
berlawanan dengan kehendak Allah Ta’ala justru mengalami nasib yang
mengenaskan: di dunia bangkrut dan binasa, di akhirat mendapat azab dan siksa
yang pedih di neraka.
Berbagi Karena Iman
Islam sangat menginginkan umatnya
hidup saling mencintai, menyayangi, dan berbagi. Bahkan, semangat itu dijadikan
ukuran keimanan seseorang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (SAW) bersabda: Tidak beriman salah seorang di antara kamu sampai ia
mencintai saudaranya sama dengan ia mencintai dirinya sendiri. (Riwayat
Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasai)
Dengan landasan cinta, seorang
Muslim menjadi penolong bagi Muslim yang lain, sekaligus pelindung. Mereka
bahkan mempunyai sikap yang luar biasa, yaitu mendahulukan orang lain
dibandingkan dirinya sendiri. Mereka jauh dari sikap egois dan individualis.
Mereka mengutamakan persatuan, hidup saling menyanyangi dan mencintai. Allah Ta
a’la menggambarkan mereka dalam al-Qur`an:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya, Allah Maha
Perkasa, lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah [9]: 71)
Di masa Rasulullah SAW, sikap
seperti ini pernah dipraktikkan dalam kehidupan nyata, yakni saat kaum Anshar
(penduduk Muslim Madinah) menolong kaum Muhajirin (penduduk Makkah yang
berhijrah) tanpa pamrih. Al-Qur`an mencatat hal dalam ayat berikut:
Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka
(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka
tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya , mereka itulah orang-orang yang
beruntung. (Al-Hasyr [59]: 9)
Kejadian seperti itu tidak hanya
sekali terjadi. Pada tataran individu, kejadian semacam itu bisa terjadi
sehari-hari.
Misalnya apa yang terjadi pada Abu
Hurairah. Pada suatu hari, Sahabat yang dikenal miskin itu berkunjung ke rumah
Rasulullah SAW demi mengadukan dirinya yang telah beberapa hari belum makan. Mengetahui
hal itu, Abu Thalhah berinisiatif untuk mengambil alih masalah. Ia mengundang
sahabatnya itu ke rumahnya untuk dijamu makan malam.
Sayangnya, malam itu tidak ada
makanan di rumahnya kecuali tinggal sedikit saja. Itupun merupakan jatah
anak-anaknya. Maka ia kemudian berunding dengan istrinya, dan mengambil sebuah
keputusan yang luar biasa, yakni makanan yang ada diperuntukan hanya bagi sang
tamu.
Untuk itu, mereka segera menidurkan
anak-anaknya tanpa makan malam. Sementara saat tamunya sedang menikmati
hidangan, Abu Thalhah dan isterinya berpura-pura makan dengan cara memadamkan
lampunya agar tidak terlihat.
Abu Hurairah pun makan hingga
kenyang, kemudian permisi pulang tanpa mengatahui apa yang sebenarnya terjadi.
Keesokan harinya, saat shalat shubuh, iapun menunaikan shalat hingga selesai.
Seusai shalat Rasulullah SAW
berpaling kepada para Sahabatnya dan bertanya, “Apa yang kalian lakukan semalam
sehingga turun ayat yang memuji kalian?“ Ayat itu adalah ayat ke-9 dari Surah
al-Hasyr di atas.
Tak Hitung-hitungan
Dalam hal berbagi, para Sahabat
Nabi tidak mengenal istilah berhitung untung rugi. Mereka bahkan tak takut
jatuh miskin, sekalipun seluruh harta miliknya telah habis dibagi-bagikan. Mereka
berkeyakinan bahwa harta milik sebenarnya adalah apa yang telah disedekahkan,
bukan harta yang masih di tangan.
Jika seperti itu semangat para
Sahabat, bagaimana dengan Nabi sendiri? Imam Muslim meriwayatkan dari Anas
bahwa Rasulullah SAW tidak pernah dimintai sesuatu kecuali beliau akan
memberikannya. Suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Nabi, lalu beliau
memberinya kambing sejumlah yang berada di dua gunung.
Lelaki itu lantas pulang ke kaumnya
seraya berseru, “Wahai kaumku, masuklah kalian semua ke dalam Islam.
Sesungguhnya Muhammad memberi sebagaimana pemberian orang yang tidak takut
miskin.” Sangat wajar jika Ibnu Abbas memberikan testimoninya tentang kemurahan
hati beliau, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya, yakni:
Rasulullah adalah orang yang paling murah hati, lebih-lebih ketika bertemu
Jibril di bulan Ramadhan. Beliau bertemu Jibril pada setiap malam bulan
Ramadhan untuk tadarus al-Qur`an. Maka sifat murah hati Rasulullah melebihi
hembusan angin.
Bagaimana dengan kita? Wallahu
a’lam bish-Shawab.
0 Comments:
Posting Komentar