Haji Mabrur
IFTITAH
Mabrur (bahasa Arab) yang berasal dari kata barra-yaburru-barran yang artinya taat atau berbakti. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap karangan Ahmad Warson Munawwir terbitan Pustaka Progressif Surabaya dijelaskan kata-kata albirru artinya ketaatan, kesalehan atau kebaikan. Sedangkan mabrur sendiri artinya haji yang diterima pahalanya oleh Allah SWT. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: alhajjul mabruru laisa lahul jazaa-u illal jannah yang artinya, “Haji yang mabrur tiada balasan kecuali surga.’’ (HR Bukhari dan Muslim).
Mabrur (bahasa Arab) yang berasal dari kata barra-yaburru-barran yang artinya taat atau berbakti. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap karangan Ahmad Warson Munawwir terbitan Pustaka Progressif Surabaya dijelaskan kata-kata albirru artinya ketaatan, kesalehan atau kebaikan. Sedangkan mabrur sendiri artinya haji yang diterima pahalanya oleh Allah SWT. Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: alhajjul mabruru laisa lahul jazaa-u illal jannah yang artinya, “Haji yang mabrur tiada balasan kecuali surga.’’ (HR Bukhari dan Muslim).
Ajaran Islam dalam semua aspeknya
memiliki hikmah dan tujuan tertentu. Hikmah dan tujuan ini diistilahkan oleh
para Ulama dengan maqâshid syarî'ah, yaitu berbagai maslahat yang bisa diraih
seorang hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun maslahat akhirat,
orang-orang shaleh ditunggu oleh kenikmatan tiada tara yang terangkum dalam
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam(hadits qudsi):
قَالَ اللَّه: أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيْ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنَ رَأَتْ ، وَلاَ أُذُنَ سَمِعَتْ ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
Allah berfirman: “Telah Aku siapkan untuk hamba-hamba-Ku
yang shaleh kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar
telinga, dan tidak pernah terbetik di hati manusia." [1]
Untuk ibadah haji, secara khusus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Untuk ibadah haji, secara khusus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ
إِلاَّ الْجَنَّةُ
Haji yang mabrûr tidak lain
pahalanya adalah surga. [2]
Adapun di dunia, banyak maslahat
yang bisa diperoleh umat Islam dengan menjalankan ajaran agama mereka. Dan untuk
ibadah haji khususnya, ada beberapa contoh yang bisa kita sebut; seperti
menambah teman, bertemu dengan Ulama dan keuntungan berdagang.
Di samping itu, Allah Azza wa Jalla juga memberikan tanda-tanda diterimanya amal seseorang, sehingga Allah Azza wa Jalla bisa menyegerakan kebahagiaan di dunia sebelum akhirat dan agar ia semakin bersemangat untuk beramal.
TIDAK SEMUA ORANG MERAIH HAI MABRUR
Setiap orang yang pergi berhaji
mencita-citakan haji yang mabrûr. Haji mabrûr bukanlah sekedar haji yang sah.
Mabrûr artinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla , dan sah artinya menggugurkan
kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya
telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah Azza wa Jalla .
Jadi, tidak semua yang hajinya
sah terhitung sebagai haji mabrûr. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan: "Yang
hajinya mabrûr sedikit, tapi mungkin Allah Azza wa Jalla memberikan karunia
kepada jama`ah haji yang tidak baik dikarenakan jama’ah haji yang
baik."[3]
TANDA-TANDA HAJI MABRUR
Bagaimanakah mengetahui mabrûrnya
haji seseorang? Apa perbedaan antar haji yang mabrûr dengan yang tidak mabrûr?
Tentunya yang menilai mabrûr tidaknya haji seseorang adalah Allah Azza wa Jalla
semata. Kita tidak bisa memastikan bahwa haji seseorang adalah haji yang mabrûr
atau tidak. Para Ulama menyebutkan ada tanda-tanda mabrûrnya haji, berdasarkan
keterangan al-Qur`ân dan Hadits. Namun, itu tidak bisa memberikan kepastian
mabrûr tidaknya haji seserang.
Sebagian dari tanda-tanda ini barangkali berhubungan dengan pembahasan cara meraih haji mabrûr, karena cara kita menjalankan ibadah haji juga bisa dijadikan cermin dalam hal ini.
Di antara tanda-tanda haji mabrûr
yang telah disebutkan para Ulama adalah:
Pertama: Harta yang dipakai untuk
haji adalah harta yang halal, karena Allah Azza wa Jalla tidak menerima kecuali
yang halal, sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.[4]
Orang yang ingin hajinya mabrûr
harus memastikan bahwa seluruh harta yang ia pakai untuk haji adalah harta yang
halal, terutama bagi mereka yang selama mempersiapkan biaya pelaksanaan ibadah
haji tidak lepas dari transaksi dengan bank. Jika tidak, maka haji mabrûr bagi
mereka hanyalah jauh panggang dari api.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata
dalam sebuah syair[5] :
Jika anda berhaji dengan harta
tak halal asalnya.
Maka anda tidak berhaji, yang
berhaji hanya rombongan anda.
Allah Azza wa Jalla tidak menerima
kecuali yang halal saja.
Tidak semua yang berhaji
mabrûr hajinya.
Kedua: Amalan-amalannya dilakukan dengan baik, sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Paling tidak, rukun-rukun dan kewajibannya dijalankan, dan semua larangan ditinggalkan. Jika terjadi kesalahan, maka hendaknya segera melakukan penebusan yang telah ditentukan.
Di samping itu, haji yang mabrûr
juga memperhatikan keikhlasan hati, yang seiring dengan majunya zaman semakin
sulit dijaga. Mari merenungkan perkataan Syuraih al-Qâdhi: "Yang
(benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji banyak. Alangkah banyak orang
yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla
."[6]
Pada zaman dahulu ada orang yang
menjalankan ibadah haji dengan berjalan kaki setiap tahun. Suatu malam ia tidur
di atas kasurnya dan ibunya memintanya untuk mengambilkan air minum. Ia
merasakan berat untuk bangkit memberikan air minum kepada sang ibu. Ia pun
teringat perjalanan haji yang selalu ia lakukan dengan berjalan kaki tanpa
merasa berat. Ia mawas diri dan berpikir bahwa pandangan dan pujian manusialah
yang telah membuat perjalanan itu ringan. Sebaliknya saat meyendiri, memberikan
air minum untuk orang paling berjasa pun terasa berat. Akhirnya, ia pun
menyadari bahwa dirinya telah bersalah.[7]
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ketiga: Hajinya dipenuhi dengan banyak amalan baik, seperti dzikir, shalat di Masjidil Haram, shalat pada waktunya, dan membantu teman seperjalanan.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
"Maka haji mabrûr adalah yang terkumpul di dalamnya amalan-amalan baik,
plus menghindari perbuatan-perbuatan dosa.[8]
Di antara amalan khusus yang
disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah bersedekah dan berkata-kata baik
selama haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallampernah ditanya tentang maksud
haji mabrûr, maka beliau menjawab:
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
Memberi makan dan berkata-kata
baik.[9]
Keempat: Tidak berbuat maksiat
selama ihram.
Maksiat dilarang dalam agama kita
dalam semua kondisi. Dalam kondisi ihram, larangan tersebut menjadi lebih
tegas, dan jika dilanggar, maka haji mabrûr yang diimpikan akan lepas.
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Di antara yang dilarang selama haji adalah rafats, fusûq dan jidâl. Allah Azza wa Jalla berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui. Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan-bulan itu untuk mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, fusûq dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji.[10]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:
مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ
كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barang siapa yang haji dan ia
tidak rafats dan tidak fusûq, ia akan kembali pada keadaannya saat dilahirkan
ibunya."[11]
Rafats adalah semua bentuk
kekejian dan perkara yang tidak berguna. Termasuk di dalamnya bersenggama,
bercumbu atau membicarakannya, meskipun dengan pasangan sendiri selama ihrâm.
Fusûq adalah keluar dari ketaatan
kepada Allah Azza wa Jalla , apapun bentuknya. Dengan kata lain, segala bentuk
maksiat adalah fusûq yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Jidâl adalah berbantah-bantahan
secara berlebihan.
Ketiga hal ini dilarang selama
ihrâm. Adapun di luar waktu ihrâm, bersenggama dengan pasangan kembali
diperbolehkan, sedangkan larangan yang lain tetap tidak boleh.
Demikian juga, haji yang mabrûr
juga harus meninggalkan semua bentuk dosa selama perjalanan ibadah haji, baik
berupa syirik, bid'ah maupun maksiyat.
Kelima: Pulang dari haji dengan
keadaan lebih baik.
Salah satu tanda diterimanya amal
seseorang di sisi Allah Azza wa Jalla adalah diberikan taufik untuk melakukan
kebaikan lagi setelah amalan tersebut. Sebaliknya, jika setelah beramal shaleh
melakukan perbuatan buruk, maka itu adalah tanda bahwa Allah Azza wa Jalla
tidak menerima amalannya.[12]
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jama`ah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla . Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para Ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya. Karena itu, bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqâmah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrûr.
Orang yang hajinya mabrûr menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah Azza wa Jalla ; ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan: "Haji mabrûr adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat."[13] Ia juga mengatakan: "Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji."[14]
Ibadah haji adalah madrasah. Selama kurang lebih satu bulan para jama`ah haji disibukkan oleh berbagai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla . Untuk sementara, mereka terjauhkan dari hiruk pikuk urusan duniawi yang melalaikan. Di samping itu, mereka juga berkesempatan untuk mengambil ilmu agama yang murni dari para Ulama tanah suci dan melihat praktik menjalankan agama yang benar.
Logikanya, setiap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dari tanah suci dalam keadaan yang lebih baik. Namun yang terjadi tidak demikian, apalagi setelah tenggang waktu yang lama dari waktu berhaji. Banyak yang tidak terlihat lagi pengaruh baik haji pada dirinya. Karena itu, bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan benar, kemudian istiqâmah di atas kebaikan itu adalah salah satu tanda haji mabrûr.
Orang yang hajinya mabrûr menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridha Allah Azza wa Jalla ; ia akan semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan: "Haji mabrûr adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat."[13] Ia juga mengatakan: "Tandanya adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji."[14]
Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah
mengatakan: "Dikatakan bahwa tanda diterimanya haji adalah meninggalkan
maksiat yang dahulu dilakukan, mengganti teman-teman yang buruk menjadi
teman-teman yang baik, dan mengganti majlis kelalaian menjadi majlis dzikir dan
kesadaran."
IKHTITAM
Sekali lagi, yang menilai mabrûr tidaknya haji seseorang hanya Allah Azza wa Jalla. Para Ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah Azza wa Jalla . Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah Azza wa Jalla , dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfâr dan memperbaiki amalan anda. Wallâhu a'lam.
Sekali lagi, yang menilai mabrûr tidaknya haji seseorang hanya Allah Azza wa Jalla. Para Ulama hanya menjelaskan tanda-tandanya sesuai dengan ilmu yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka. Jika tanda-tanda ini ada dalam ibadah haji anda, maka hendaknya anda bersyukur atas taufik dari Allah Azza wa Jalla . Anda boleh berharap ibadah anda diterima oleh Allah Azza wa Jalla , dan teruslah berdoa agar ibadah anda benar-benar diterima. Adapun jika tanda-tanda itu tidak ada, maka anda harus mawas diri, istighfâr dan memperbaiki amalan anda. Wallâhu a'lam.
Referensi:
1. Al-Qur`ân al-Karîm.
2. Shahîh al-Bukhâri, Tahqîq Musthafa al-Bugha, Dâr Ibn Katsîr.
3. Shahîh Muslim, Tahqîq Muhammad Fuâd `Abdul Bâqi, Dâr Ihyâ' Turâts.
4. Musnad Imam Ahmad, Tahqîq Syu'aib al-Arnauth, Muassasah Qurthûbah.
5. Sunan al-Baihâqi al-Kubra, Cetakan Hyderabad, India.
6. Silsilah al-Ahadîts ash-Shahîhah, Muhammad Nâshiruddin al-Albâni, Maktabah al-Ma'ârif.
7. At-Târîkh al-Kabîr, al-Bukhâri, Tahqîq Sayyid Hâsyim an-Nadawi, Dârul Fikr.
8. Lathaiful Ma'ârif fîma li Mawâsil 'Am minal Wazhâif, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Maktabah asy-Syâmilah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/Dzulqa'adah 1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri 3073) dan Muslim 2824.
[2]. HR. al-Bukhâri 1683) dan Muslim 1349.
[3]. Lathâiful Ma'ârif Fîma Li Mawâsimil 'Am Minal Wazhâif 1/68.
[4]. HR. Muslim 1015.
[5]. Lathâiful Ma'ârif 2/49.
[6]. Lathâiful Ma'ârif 1/257
[7]. Ibid.
[8]. Lathâiful Ma'ârif 1/67.
[9]. HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)
[10]. al-Baqarah 197.
[11]. HR. Muslim (1350) dan yang lain, dan ini adalah lafazh Ahmad di Musnad (7136)
[12]. Lathâiful Ma'ârif 1/68.
[13]. At-Târîkh al-Kabîr 3/238.
[14]. Lathâiful Ma'ârif 1/67.
Sumber: http://almanhaj.or.id/
0 Comments:
Posting Komentar