I.
Pendahuluan
Kitab suci Al-Qur’an sebagai hudan, seharusnya bisa
diaplikasikan dalam realitas kehidupan ini. dan salah satu dari petunjuk Al-
Qur’an itu adalah musyawarah. Dalam kehidupan bersama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat ataupun bangsa, musyawarah sangat diperlukan. Musyawarah
memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Islam. Bukan hanya sekedar
sistem politik pemerintahan, tetapi juga bagi seluruh seluruh masyarakat.
Musyawarah senantiasa menjadi bagian yang tak terpisahkan ditengah perkembangan
kehidupan umat manusia. Bahkan, umat non-Muslim juga menggunakan jalur
musyawarah dalam mencari suatu mufakat. Musyawarah pula digunakan dalam
berbagai bidang. Baik itu dalam ilmu alam, sosial, maupun agama. Dan pula,
musyawarah juga berperan penting dalam perkembangan umat manusia dari suatu
zaman menuju ke zaman lain. Oleh karena itu, musyawarah dapat dikatakan
merupakan suatu hal yang senantiasa mengiringi perjalanan seluruh umat manusia
dalam kehidupannya.
II.
Pembahasan
1. Ayat Tentang Musyawarah
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ
عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا
عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ ( أل عمران 159)
2. Makna mufrodat: Musyawarah
Istilah “musyawarah” berasal dari kata musyawarah. Ia
adalah bentuk masdar dari katasyâwara – yusyâwiru yakni
dengan akar kata syin, waw,dan ra’ dalam pola
fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “ Menampakkan dan menawarkan
sesuatu” dan “mengambil sesuatu “ dari kata terakhir ini berasal ungkapan syâwartu
fulânan fi amrî: “ aku mengambil pendapat si Fulan
mengenai urusanku”.
Quraish syihab menyebutkan dalam tafsirnya, akar kata musyawarah terambil
dari kata (شور ) syawara yang pada
mulanya bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini
kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil / di
keluarkan dari yang lain ( termasuk pendapat). Orang yang bermusyawarah
bagaikan orang yang minum madu.
Dari makna dasarnya ini diketahui bahwa lingkaran musyawarah yang terdiri
dari peserta dan pendapat yang akan disampaikan adalah lingkaran yang bernuansa
kebaikan. Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sangat
disiplin, solid dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal- hal yang baik saja
( disimbolkan dengan kembang), serta tidak melakukan
gangguan apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengan catatan ia
tidak diganggu. Bahkan sengatannya pun bisa menjadi obat. Sedangkan isi atau
pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah. Madu bukan
hanya manis tapi juga menjadi obat dan karenanya menjadi sumber
kesehatan dan kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah.
Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal- hal yang baik- baik
saja.
Dalam Al- Qur’an terdapat empat kata yang berasal dari kata
kerja syâwara, yakni asyâra “ memberi
isyarat”, tasyâwur ( berembuk saling menukar pendapat), syâwir
” mintalah pendapat”, dan syara “ dirembukkan”.
Dua kata terakhir ini relevan dengan kehidupan politik atau
kepimimpinan.
3. Asbabun Nuzul
Perintah bermusyawarah pada ayat diatas turun setelah peristiwa menyedihkan
pada perang Uhud, ketika itu menjelang pertempuran, Nabi mengumpulkan sahabat-
sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap menghadapi musuh yang sedang
dalam perjalanan dari makkah ke madinah. Nabi cenderung untuk bertahan dikota
Madinah, dan tidak keluar menghadapi musuh yang datang dari makkah. Sahabat-
sahabat beliau terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum muslim
dibawah pimpinan Nabi Saw atau keluar menghadapi musuh. Pendapat
mereka itu mendapat dukungan mayoritas, sehingga Nabi menyetujuinya. Tetapi,
peperangan berakhir dengan gugurnya para sahabat yang jumlahnya tidak kurang
dari tujuh puluh orang.
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi dan
sahabat beliau amat perlu digaris bawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-
Qur’an tentang musyawarah.
Ayat ini seakan – akan berpesan kepada Nabi, bahwa musyawarah harus tetap
dipertahankan dan dilanjutkan. Walaupun terbukti pendapat yang
mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi dan menjadi
tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan kesalahan seseorang meskipun diakui
kejituan pendapatnya sekalipun.
Sebagaimana sebuah ungkapan:
ما خاب من استشار ولا
ندم من استخار, “ takkan kecewa orang yang
memohon petunjuk ( kepada Allah) tentang pilihan yang terbaik, dan tidak
juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah.”
4. Kandungan Ayat
Ayat yang menjadi pembahasan mengenai musyawarah yaitu QS Ali Imran (3):
159, turun setelah peristiwa perang uhud. Sebelum perang dilakukan, nabi
mengajak para sahabatnya untuk musyawarah tentang bagaimana menghadapi musuh.
Pada musyawarah tersebut, nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun
ternyata hasilnya sungguh sangat menyedihkan karena berakhir dengan kekalahan
kaum muslimin. Setelah kejadian itulah nabi memutuskan untuk menghapus musyawarah.
Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi
musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meski terbukti hasil
keputusannya ( kadang ) keliru.
Dari ayat tersebut, dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan
musyawarah:
1. Sikap lemah lembut. Seseorang yang
melakukan musyawarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar
serta sikap keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru.
Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik,
kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam.
3. Memiliki hubungan yang harmonis dengan
Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan kepada- Nya.
Itulah sebabnya yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan
maghfiroh dan ampunan Ilahi, sebagai mana ditegaskan oleh pesan وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
4. Setelah selesai semuanya harus
diserahkan kepada Allah, yaitu tawakkal
Beberapa sikap tersebut ideal namun sekaligus berat. Fakhrudin Ar-Razi
menangkap beberapa sikap positif dalam musyawarah
1. Musyawarah merupakan bentuk penghargaan
terhadap orang lain dan karenanya menghilangkan anggapan paternalistik bahwa
orang lain itu rendah
2.
Meskipun nabi adalah pribadi sempurna dan cerdas, namun sebagai
manusia ia memiliki kemampuan yang terbatas. Karenanya beliau
sendiri menganjurkan dalam sabdanya” tidak ada satu kaum yang
bermusyawarah yang tidak ditunjuki kearah penyelesaian terbaik perkara
mereka’’.
3. Menghilangkan buruk sangka. Dengan
musyawarah prasangka terhadap orang lain menjadi tereliminasi.
4.
Mengeliminasi beban psikologis kesalahan. Kesalahan
mayoritas dari sebuah hasil musyawarah menjadi tanggung jawab
bersama dan lebih bisa ditoleransi dari pada kesalahan keputusan
individu. Hal- hal positif muncul karena musyawarah menghasilkan masyurah:
pendapat, nasihat, dan pertimbangan.
III.
Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa musyawarah diperintahkan di dalam Al-Qur’an bagi umat Islam
dalam mencari mufakat untuk kepentingan bersama.
Namun, Al-Qur’an tidak menjelaskan
pola dan bentuk musyawarah tertentu. Al-Qur’an hanya mengharuskan adanya
keterlibatan masyarakat dalam musyawarah tersebut. Oleh karena itu, pola dan
bentuk musyawarah tersebut diserahkan kepada masyarakat itu sendiri sehingga
timbulnya perbedaan dalam pola atau bentik pelaksanaan musyawarah itu sendiri
antara masyarakat satu dengan lainnya.
Penulis: Aqsha Justirandi Padyani, Siswa Kelas XII IPA 1
MAN Insan Cendekia Gorontalo
0 Comments:
Posting Komentar