Pengertian
Shalat gaib adalah shalat jenazah yang dilakukan umat Islam
terhadap saudaranya sesama Muslim yang wafat, tetapi jenazahnya tidak berada di
depan orang yang melakukan shalat jenazah itu, melainkan di tempat lain.
Dan, memang asal pensyariatan shalat gaib ini adalah shalat jenazah yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya atas Raja Najasyi yang wafat jauh di negerinya Habasyah.
Dan, memang asal pensyariatan shalat gaib ini adalah shalat jenazah yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya atas Raja Najasyi yang wafat jauh di negerinya Habasyah.
Hadits Tentang Shalat Ghaib
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال ( نعى
النبي صلى الله عليه وسلم النجاشي في اليوم الذي مات فيه ، خرج بهم إلى
المصلى ، فصف بهم ، وكبر أربعا) .
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
mengumumkan kematian Al-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian, beliau keluar
menuju tempat shalat. Lalu, beliau membariskan shaf, kemudian bertakbir empat
kali. (HR Bukhari dan Muslim).
Perbedaan Pendapat Ulama
Perbedaan Pendapat Ulama
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat gaib ini.
Para ulama Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat shalat gaib itu tidak
disyariatkan dan seseorang tidak dishalatkan shalat jenazah, kecuali mayitnya
ada di depan orang yang menshalatinya.
Mereka mengatakan, shalat gaib yang dilakukan Nabi SAW terhadap Raja Najasyi merupakan kekhususan Nabi SAW. Dan, karena kemudian tidak ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW melakukan shalat gaib terhadap Muslim lain selain Najasyi.
Ulama Mazhab Syafi’i dan yang masyhur dalam Mazhab Hanbali berpendapat, shalat gaib itu disyariatkan secara mutlak, baik terhadap mayit yang belum dishalatkan ataupun sudah dishalatkan di tempat ia wafat.
Dalil mereka adalah shalat jenazah gaib yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya terhadap Raja Najasyi. Dan, tidak ada dalil sahih yang menunjukkan bahwa itu khusus untuk Nabi SAW, sedangkan umat Islam diperintahkan untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah SAW.
Dalam kitab Zad al-Ma’ad karangan Ibnu al- Qayyim disebutkan, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa yang benar adalah seorang Muslim yang wafat di daerah lain dan ia belum dishalatkan, harus dishalatkan secara gaib sebagaimana Nabi SAW shalat gaib terhadap Najasyi.
Sedangkan, jika jenazah Muslim itu sudah dishalatkan, tidak perlu lagi dishalatkan secara gaib karena kewajiban umat Islam telah jatuh karena ia sudah dishalatkan.
Dan, pendapat yang terakhir, yaitu shalat gaib itu tidak disyariatkan untuk setiap orang, tapi hanya untuk orang yang saleh yang mempunyai banyak jasa dan keutamaan kepada umat Islam, seperti seorang ulama yang memberi banyak manfaat kepada umat dengan ilmunya, sebagaimana seorang Raja Najasyi yang telah memberikan tempat dan keamanan kepada umat Islam.
Jadi, masalah shalat gaib ini termasuk masalah khilafiyah yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Mereka mengatakan, shalat gaib yang dilakukan Nabi SAW terhadap Raja Najasyi merupakan kekhususan Nabi SAW. Dan, karena kemudian tidak ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW melakukan shalat gaib terhadap Muslim lain selain Najasyi.
Ulama Mazhab Syafi’i dan yang masyhur dalam Mazhab Hanbali berpendapat, shalat gaib itu disyariatkan secara mutlak, baik terhadap mayit yang belum dishalatkan ataupun sudah dishalatkan di tempat ia wafat.
Dalil mereka adalah shalat jenazah gaib yang dilakukan Nabi SAW dan para sahabatnya terhadap Raja Najasyi. Dan, tidak ada dalil sahih yang menunjukkan bahwa itu khusus untuk Nabi SAW, sedangkan umat Islam diperintahkan untuk mengikuti dan mencontoh Rasulullah SAW.
Dalam kitab Zad al-Ma’ad karangan Ibnu al- Qayyim disebutkan, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa yang benar adalah seorang Muslim yang wafat di daerah lain dan ia belum dishalatkan, harus dishalatkan secara gaib sebagaimana Nabi SAW shalat gaib terhadap Najasyi.
Sedangkan, jika jenazah Muslim itu sudah dishalatkan, tidak perlu lagi dishalatkan secara gaib karena kewajiban umat Islam telah jatuh karena ia sudah dishalatkan.
Dan, pendapat yang terakhir, yaitu shalat gaib itu tidak disyariatkan untuk setiap orang, tapi hanya untuk orang yang saleh yang mempunyai banyak jasa dan keutamaan kepada umat Islam, seperti seorang ulama yang memberi banyak manfaat kepada umat dengan ilmunya, sebagaimana seorang Raja Najasyi yang telah memberikan tempat dan keamanan kepada umat Islam.
Jadi, masalah shalat gaib ini termasuk masalah khilafiyah yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Dan, semua pendapat ada dasarnya berdasarkan pemahaman
terhadap riwayat shalat gaib yang dilakukan Nabi SAW terhadap Raja Najasyi.
Sehingga, seharusnya tidak menjadi sebab perselisihan dan saling membid’ahkan.
Tetapi, pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat gaib itu disyariatkan bagi seorang Muslim yang wafat di daerah yang tidak ada yang menshalatinya, sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW terhadap Raja Najasyi.
Tetapi, pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat gaib itu disyariatkan bagi seorang Muslim yang wafat di daerah yang tidak ada yang menshalatinya, sebagaimana yang dilakukan Nabi SAW terhadap Raja Najasyi.
Selanjutnya, tidak ada lagi riwayat yang menyebutkan bahwa
Nabi SAW shalat terhadap mayit lain selain Najasyi, padahal banyak sekali
sahabat beliau yang wafat di tempat yang jauh dari Nabi SAW. Wallahu
a’lam bish shawwab.
memangnya siapa to yang saling membid'ahkan,,,?
BalasHapusAth-thalib rahimakallah..terlepas dari siapa siapa yang membid`ahkan shalat ghaib, yang terpenting adalah sejauhmana kita mampu menghargai dan menghormati sebuah ikhtilaf (perbedaan). Dan yang pasti kita jangan asal taqlid saja yakni mengikuti suatu ritual ibadah tanpa mengetahui dasar ilmunya. Apalagi berani sampai menambah-nambahkan sebuah keterangan atas nama Rasulullah saw..Silahkan kita sharing di sini..Wallahu A`lam
Hapus