Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

Keutamaan Birrul Walidain

Keutamaan Birrul Walidain
(Berbakti Kepada Kedua Orang Tua)

“Birrul walidain” adalah ihsan atau berbakti dan berbuat baik kepada orang tua dengan memenuhi hak-hak kedua orang tua serta menaati perintah keduanya selama tidak melanggar syariat.

Lawan katanya yaitu “Aqqul walidaini”, yaitu durhaka kepada orang tua dengan melakukan apa yang menyakiti keduanya dengan berbuat jahat baik melalui perkataan ataupun perbuatan serta meninggalkan kebaikan kepada keduanya.


Kasih kedua orang tua tak terkira. Berkat perantara jasa merekalah kehidupan di muka bumi ini bisa berjalan sebagaimana mestinya. Ada segudang alasan mengapa keduanya pantas dimuliakan.

Birrul walidain, berbakti kepada kedua orang tua, menurut dosen Fakultas Studi Islam Universitas Juanda Bogor Dr Amin Mahruddin, adalah perintah Allah SWT. Ini ditegaskan dalam deretan ayat dan hadis. Selama ketaatan itu dalam hal kebajikan dan bukan maksiat, wajib menghormatinya. 

“Sekalipun keduanya non-Muslim, bahkan musyrik,” tuturnya. Ingat, wasiat seorang bijak, Luqman. Dalam Surah Lukman ayat 14, ia berpesan agar menaati keduanya. “Dosa besar jika mendurhakai mereka,” Lukman menyebut. 
Budi orang tua untuk anak tak berpamrih. Karenanya, jasa-saja mereka sangat luar biasa. Ia menyebutkan kisah sahabat Rasulullah SAW yang menggendong ibunya ke manapun, di luar waktu shalat atau ke kamar mandi. Tulang punggung sahabat itu sampai terluka. Ketika hidup, itu adalah bentuk pengabdian. Namun, Rasul menegaskan, pengorbanan itu tak seberapa dibandingkan jasa mereka.   
 
Ia mengungkapkan, ada beberapa bentuk birrul walidain selama keduanya masih hidup. Pertama, dalam bentuk akal pikiran. Maksudnya, kata Ustaz Amin,  jika orang tua meminta anaknya menyelesaikan suatu masalah, anak harus membantunya. Kedua, berbakti dalam bentuk tenaga, yaitu membantu, melayani, merawat orang tua. Sedangkan, bentuk finansial dengan mencukupi segala kebutuhannya.
Ada banyak faktor yang membuat air susu orang tua dibalas anaknya dengan tuba. Menurut Amin, di antaranya ialah pengaruh budaya Barat. Mereka menganggap orang tua sebagai beban, karena itu dititipkan di panti jompo. Islam tidak memperkenankan hal itu sehingga sanksi bagi pelakunya sangat berat. Ancamannya, Neraka Jahanam. “Bilang 'uf' saja dilarang, apalagi menelantarkan,” ujarnya berkilah.  
Sejumlah tayangan di televisi, seperti sinetron yang kurang edukatif, disebut Amin, ikut andil mengikis empati anak kepada kedua orang tua. Perhatikan saja tayangan di sinteron, ada anak memaki ibunya, melawan, berbicara tidak ada tata karma. Contoh buruk itu mengundang anak-anak untuk mempraktikkannya.
Bedakan, lanjutnya, dengan kondisi dan suasana pendidikan di pesantren. Suasana pesantren mengajarkan pentingnya bertata karma. Untuk itulah, ia berpandangan salah satu upaya untuk mentradisikan berbakti ialah dengan mengarahkan anak ke pondok pesantren. Jika enggan memasukkan anaknya belajar di pesantren, ia meminta orang tua mendidik dan melakukan pengawasan ketat. Perhatikan tontonan, teman bergaul, dan segalanya. “Paling utama perkuat institusi keluarga,” paparnya.  
Menurut Ustaz Mohay Attaly SAg, perintah berbakti terhadap kedua orang tua berada di posisi yang krusial. Ada di urutan ketiga menyusul amar menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika orang tua jahat, tetap hormati selama tidak menyuruh maksiat. “Tolaklah dengan halus,” katanya.  
Berbakti kepada orang tua merupakan amalan yang tidak ada bandingnya. Anak yang rajin shalat, puasa, pulang-pergi umrah dan berhaji, tapi satu jengkal saja orang tuanya tidak ridha, surga itu tertutup. ''Ridha Allah terletak pada ridha orang tua,” ujarnya. Maka, mintalah ridha keduanya agar hidup tenang dan jangan membuat mereka murka.  
Ia menyebutkan kisah, pada zaman Rasul, ada seorang ayah mencuri harta anaknya. Kasus ini dilaporkan kepada Rasul. Nabi menegaskan bahwa sekalipun harta itu milik anak, hakikatnya ada hak orang tua di sana. Karenanya, anak tak boleh sombong dan lupa diri.
Ia mengungkapkan, cara berbakti kepada orang tua bisa dilakukan secara lahir. Seperti dengan mengikuti segala nasihat baik, membuat hati mereka senang, dan berkata sopan. Dengan cara batin, lanjut Ustaz Mohay, setiap saat selalu mendoakan mereka. Karena bakti anak kepada orang tua tidak sebatas ketika mereka masih hidup, tapi selamanya.  
Ia menambahkan, upaya pembiasaan berbakti itu bisa dilakukan dengan penerapan pendidikan Islam dalam keluarga. Ajarkan agama sejak dini. Berikan contoh yang baik. Tunjukkan bakti Anda kepada kedua orang tua. Niscaya, buah hati Anda akan berbakti dan melakukan kebaikan yang sama. “Sebelum terlambat, tanamkan agama sekarang di keluarga,” katanya.
Sebagai bahan renungan, ada tiga pertanyaan yang tidak butuh jawaban, kecuali hanya butuh pengertian dan pemahaman kita dalam menyikapinya, dengan penuh harapan semoga hal tersebut menjadi pemicu dan pendorong bagi kita untuk senantiasa tak henti-henti berbuat baik dan memuliakan orang tua.
1- Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang lebih mendahulukan berbakti kepada orang tuanya dibandingkan berjihad ( sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari)

عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ أَحَيٌّ وَالِدَاكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ ).

Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata; “Pernah seseorang mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu ia minta izin untuk berjihad, Lalu Beliau bertanya: “Apakah kedua orang tua masih hidup?” Orang itu menjawab:”Iya”. Beliau bersabda: “Berjihadlah dalam mengurus keduanya.” HR. Bukahri.

2- Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang untuk tetap diam bersama ibunya, karena pada kedua kaki ibunya terdapat surga.

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ، أَنَّ جَاهِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ فَجِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ. قَالَ: «أَلَكَ وَالِدَةٌ؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «اذْهَبْ فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ عِنْدَ رِجْلَيْهَا» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ.

Artinya: “Mu’awiyah bin Jahimah meriwayatkan bahwa Jhimah radhiyallahu ‘anhu pernah mendatangi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Sungguh aku ingin berperang, dan aku datang meminta petunjuk kepada engkau?”, beliau bersabda: “Apakah kamu memiliki ibu?”, ia menjawab: “Iya”, beliau bersabda: “Pergilah dan tinggallah bersamanya, karena sesungguhnya surga pada kedua kakinya.” HR. Al Hakim, beliau berkata: “Hadits ini adalah yang shahih sanadnya dan belum disebutkan oleh kedua imam (Yaitu Imam Bukhari dan Muslim).

3- Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang pemuda yang telah membuat ibunya menangis untuk kembali membuatnya tertawa.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ( أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي جِئْتُ أُرِيدُ الْجِهَادَ مَعَكَ أَبْتَغِي وَجْهَ اللَّهِ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَقَدْ أَتَيْتُ وَإِنَّ وَالِدَيَّ لَيَبْكِيَانِ قَالَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمَا فَأَضْحِكْهُمَا كَمَا أَبْكَيْتَهُمَا.(

Artinya: “Abdullah bin ‘Amr berkata: “Seseorang pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: Wahai Rasulullah, sungguh aku datang ingin berjihad bersama, aku berharap wajah Allah dan kehidupan ahirat, dan aku telah datang dalam keadaan kedua orang tuaku benar-benar menangis?”, beliau menjawab: “Kalau begitu, kembalilah kepada keduanya, buatlah mereka berdua tertawa sebagaimana kamu telah membuat mereka berdua menangis.” HR. Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasai.



Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini

Blog Archive


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer

Sepakbola GP

Blog Archive