إِنَّ
الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا
فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ (٢٠١)
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa
bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka
ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS. al-A’raaf: 201)
Orang yang bertakwa bukanlah orang ma’shum yang
terjaga dari segala kesalahan. Ada kalanya ia lengah, hingga terpancing oleh
bujuk rayu setan. Kadang pula terbersit keinginan untuk bermaksiat, dan bahkan
sesekali terjerumus ke dalamnya.
Tapi, alangkah beda karakter orang yang bertakwa
dengan orang-orang fajir yang gemar berbuat dosa. Para pendosa tidak memiliki
sensor dan lepas kontrol, tidak peka terhadap dosa, tidak berusaha mendeteksi
status halal atau haram, tidak pula berpikir akan risiko perbuatan dosa yang
dilakukannya.
Waspadai Dosa Sebelum Kedatangannya
Meski sesekali pernah berbuat dosa, dari awal orang
yang bertakwa telah optimal melakukan penjagaan dari dosa. Dia berusaha
‘membangun’ pagar antara dia dengan dosa di wilayah yang aman dari dosa, bukan
di wilayah ‘abu-abu’, atau persis di batas wilayah antara halal dan haram yang
rawan dengan tindakan dosa. Karakter mereka seperti yng dijelaskan oleh Nabi
SAW,
لاَ يَبْلُغُ
الْعَبدُ أنْ يَكُونَ منَ المـــُــتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لاَ بَأسَ بِهِ ،
حَذَراً مِمَّا بِهِ بَأسٌ
“Seorang hamba belum mencapai derajat muttaqin
sehingga dia meninggalkan apa-apa yang tidak berdosa karena takut terjerumus ke
dalam dosa.” (HR
Tirmidzi, beliau mengatakan, “hadits hasan”)
Dia tidak hanya meninggalkan yang haram, tapi juga
yang syubhat agar lebih jauh dari dosa.
Orang yang bertakwa memiliki kepekaan yang tajam
terhadap dosa. Terkadang sensor ketakwaannya mampu mendeteksi godaan setan
sejak awalnya, juga dari pintu mana setan hendak masuk mencuri hatinya.
Seketika itu iapun bersegera menepisnya. Dia mematuhi sabda Nabi SAW,
يَأْتِي
الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى
يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ
وَلْيَنْتَهِ
“Setan mendatangi salah seorang dari kalian, lalu
bertanya, “Siapakah yang menciptakan ini? Siapakah yang menciptakan itu?”
Hingga dia bertanya,’Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?’ Oleh karena itu, jika
telah sampai kepadanya hal tersebut, maka hendaklah dia berlindung kepada Allah
dan hendaklah dia menghentikan (waswas tersebut)”. (HR Bukhari)
Terkadang pula kepekaan itu muncul saat orang yang
bertakwa itu benar-benar dekat sekali dengan kemaksiatan, lalu dia tersadar dan
menjauh darinya. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Ibnu
Asakir, bahwa ada seorang pemuda di zaman sahabat yang rajin beribadah ke
masjid. Lalu, seorang wanita terus merayu dan menggodanya. Hingga suatu kali,
hampir saja dia masuk ke dalam rumah bersama wanita itu, lalu dia teringat dan
membaca firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka
ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (QS al-A’raaf 201)
Tiba-tiba saja ia jatuh pingsan. Pemuda itu sempat
sadar dan kembali mengulang bacaannya sebelum akhirnya wafat. Begitu besar rasa
takutnya kepada Allah, hingga mencegahnya dari tindakan keji, meski jarak
antara dia dengan dosa tinggal sedikit lagi.
Orang yang bertakwa juga mudah menerima peringatan,
seketika tersadar saat dibacakan ayat-ayat Allah, sehingga mencegahnya untuk
berbuat melampaui batas. Seperti ulama tabi’in, Ali bin Husain bin Ali yang
dikenal dengan Zainul Abidin. Tatkala beliau hendak berwudhu, seorang budak
beliau menuangkan air dengan kendinya, tiba-tiba kendi itu terjatuh dan pecah,
hingga pecahannya melukai wajah beliau. Hampir saja beliau marah, tapi sang
budak membacakan firman Allah dalam Surat Ali Imran 134, “wal kazhimiinal
ghaizha..(yang menahan amarah)..” Beliau tersadar dan berkata, “Aku tahan
amarahku!” Si budak melanjutkan, “wal ‘aafiina ‘anin naas (yang
memaafkan manusia)..” Beliau menyahut, “Aku maafkan kamu!” Si budak
melanjutkan, “wallahu yhibbul muhsiniin (dan Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik).” Lalu beliau berkata,
“Aku merdekakan dirimu!”
“Aku merdekakan dirimu!”
Peka Terhadap Dosa yang Telah Terjadi
Memang ada kemungkinan paling parah yang dialami orang
yang bertakwa. Di mana ia benar-benar terjerumus ke dalam dosa. Tapi,
kebeningan hatinya segera menyadarkan ia akan kesalahannya. Seketika itu ia
akan menyesali perbuatannya, takut akan akibat, dan lantas bersegera kembali
mengingat Allah. Berbeda dengan orang fajir yang tak merasa bersalah usai
bermaksiat, tak ada penyesalan dan tetap merasa aman dan nyaman. Beda antara
keduanya dijelaskan dalam sebuah hadits,
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ
عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya orang mukmin memandang dosanya seperti
orang yang duduk di kaki gunung, ia takut tertimpa olehnya. Sedangkan orang
fajir, memandang dosa-dosanya layaknya lalat yang melewati hidungnya (yang
mudah dihalau).” (HR
Bukhari)
Bukan sekedar menyadari kesalahan, orang yang bertakwa
teringat akan dosanya, saat musibah menimpa mereka. Sufyan ats-Tsauri pernah
mengatakan, “Aku terhalang shalat malam selama lima bulan karena dosa yang saya
lakukan.”
Muhammad bin Sirin, seorang ulama tabiin juga pernah
terlilit hutang. Lalu beliau mengevaluasi diri dengan caranya orang shalih,
bukan dengan gaya pedagang. Lalu beliau mendapatkan kesimpulan, “Sungguh,
musibah ini tidak menimpaku melainkan karena dosa yang pernah aku perbuat sejak
40 tahun yang silam. Di mana aku mengatakan kepada seseorang, “Hai, orang
bangkrut!” Tatkala kisah ini disampaikan kepada Abu Sulaiman ad-Darani,
beliau memberikan komentar, “Dosanya sedikit, sehingga dia bisa mendeteksi dosa
mana yang menyebabkan musibah terjadi, tapi dosa kita banyak, sehingga tak tahu
lagi, dosa mana yang menyebabkan datangnya tiap musibah.”
Allahumma aati anfusana taqwaaha, ya Allah,
anugerahkan taqwa di hati kami. Amin.
Sumber: Majalah Islam Ar-risalah
0 Comments:
Posting Komentar