“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36)
Islam
adalah agama rahmatan lil `alamin dan penuh kasih sayang bagi seluruh manusia. Islam
adalah agama yang mengatur mengatur seluruh kehidupan umat manusia, khususnya
kaum muslimin. Salah satu yang diatur dalam islam adalah bagaimana adab-adab
dalam bertetangga. Hidup rukun dalam bertetangga adalah moral yang sangat
ditekankan dalam Islam. Jika umat Islam memberikan perhatian dan menjalankan
poin penting ini, niscaya akan tercipta kehidupan masyarakat yang tentram, aman
dan nyaman.
Batasan Tetangga
Siapakah yang tergolong tetangga? Apa batasannya? Karena
besarnya hak tetangga bagi seorang muslim dan adanya hukum-hukum yang terkait
dengannya, para ulama pun membahas mengenai batasan tetangga. Para ulama khilaf dalam banyak pendapat mengenai hal ini.
Sebagian mereka mengatakan tetangga adalah ‘orang-orang yang shalat subuh
bersamamu’, sebagian lagi mengatakan ’40 rumah dari setiap sisi’, sebagian lagi
mengatakan ’40 rumah disekitarmu, 10 rumah dari tiap sisi’ dan beberapa
pendapat lainnya (lihat Fathul Baari, 10 /
367).
Namun pendapat-pendapat tersebut dibangun atas riwayat-riwayat
yang lemah. Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani berkata:
“Semua riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang
berbicara mengenai batasan tetangga adalah lemah tidak ada yang shahih. Maka
zhahirnya, pembatasan yang benar adalah sesuai ‘urf”
(Silsilah Ahadits Dha’ifah, 1/446). Sebagaimana
kaidah fiqhiyyah yang berbunyi al ‘urfu haddu maa lam yuhaddidu bihi asy syar’u (adat
kebiasaan adalah pembatas bagi hal-hal yang tidak dibatasi oleh syariat).
Sehingga, yang tergolong tetangga bagi kita adalah setiap orang yang menurut
adat kebiasaan setempat dianggap sebagai tetangga kita.
Kedudukan Tetangga Bagi Seorang
Muslim
Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar
dan mulia. Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi
keimanan. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim
70)
Bahkan besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang
muslim sangatlah ditekankan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ
يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa menasehatiku tentang
tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta
waris” (HR. Bukhari 6014, Muslim 2625)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Bukan
berarti dalam hadits ini Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga
karena Jibril tidak memiliki hak dalam hal ini. Namun maknanya adalah beliau
sampai mengira bahwa akan turun wahyu yang mensyariatkan tetangga mendapat
bagian waris. Ini menunjukkan betapa ditekankannya wasiat Jibril tersebut
kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/177)
Anjuran Berbuat Baik Kepada
Tetangga
Karena demikian penting dan besarnya kedudukan tetangga bagi
seorang muslim, Islam pun memerintahkan ummatnya untuk berbuat baik terhadap
tetangga. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya) :
وَاعْبُدُوا اللَّهَ
وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ
وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang
tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki
hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa: 36)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang
lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang
mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab
hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan
serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan” (Tafsir As Sa’di, 1/177)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga
bersabda:
خَيْرُ اْلأَصْحَابِ
عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ ، وَخَيْرُ الْـجِيْرَانِ عِنْدَ اللهِ
خَيْرُهُمْ لِـجَارِهِ
“Sahabat yang paling baik di sisi Allah adalah
yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di
sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap tetangganya”
(HR. At Tirmidzi 1944, Abu Daud 9/156, dinilai shahih oleh Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah 103)
Maka
jelas sekali bahwa berbuat baik terhadap tetangga adalah akhlak yang sangat
mulia dan sangat ditekankan penerapannya, karena diperintahkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Ancaman Atas Sikap Buruk Kepada
Tetangga
Disamping anjuran, syariat Islam juga mengabakarkan kepada kita
ancaman terhadap orang yang enggan dan lalai dalam berbuat baik terhadap
tetangga. Bahkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menafikan
keimanan dari orang yang lisannya kerap menyakiti tetangga. Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabdaL
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ،
وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ ، وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ . قِيْلَ: وَ مَنْ يَا رَسُوْلَ
اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman,
tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau
menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)‘”
(HR. Bukhari 6016, Muslim 46)
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: “Bawa’iq maksudnya culas,
khianat, zhalim dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat
itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan,
maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan menjahati tetangga, baik
dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga
mendengar hal-hal yang membuatnya terganggu dan resah”. Beliau juga berkata:
”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika
seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak
memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178)
Bahkan
mengganggu tetangga termasuk dosa besar karena pelakunya diancam dengan neraka.
Ada seorang sahabat berkata:
يا رسول الله! إن فلانة
تصلي الليل وتصوم النهار، وفي لسانها شيء تؤذي جيرانها. قال: لا خير فيها، هي في
النار
“Wahai Rasulullah, si Fulanah sering shalat
malam dan puasa. Namun lisannya pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah
bersabda: ‘Tidak ada kebaikan padanya, ia di neraka’” (HR. Al Hakim
dalam Al Mustadrak 7385, dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad 88)
Sebagaimana Imam Adz Dzahabi memasukan poin ‘mengganggu
tetangga’ dalam kitabnya Al Kaba’ir (dosa-dosa
besar). Al Mula Ali Al Qari menjelaskan mengapa wanita tersebut dikatakan masuk
neraka: “Disebabkan ia mengamalkan amalan sunnah yang boleh ditinggalkan, namun
ia malah memberikan gangguan yang hukumnya haram dalam Islam” (Mirqatul Mafatih, 8/3126).
Bentuk-Bentuk Perbuatan Baik
Kepada Tetangga
Semua bentuk akhlak yang baik adalah sikap yang selayaknya diberikan kepada
tetangga kita. Diantaranya adalah bersedekah kepada tetangga jika memang
membutuhkan. Bahkan anjuran bersedekah kepada tetangga ini sangat ditekankan
oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
لَيْسَ الْـمُؤْمِنُ
الَّذيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إلَى جَنْبِهِ
“Bukan mukmin, orang yang kenyang perutnya
sedang tetangga sebelahnya kelaparan” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al
Kubra 18108, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 149)
Beliau
juga bersabda:
إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا
فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ، ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيْرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ
مِنْهَا بِمَعْرُوْفٍ
“Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah
kuahnya. Lalu lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada
mereka dengan cara yang baik” (HR. Muslim 4766)
Dan
juga segala bentuk akhlak yang baik lainnya, seperti memberi salam,
menjenguknya ketika sakit, membantu kesulitannya, berkata lemah-lembut, bermuka
cerah di depannya, menasehatinya dalam kebenaran, dan sebagainya.
Jika Bertetangga Dengan
Non-Muslim
Dalam firman Allah Ta’ala pada surat An Nisa ayat 36 di atas,
tentang anjuran berbuat baik pada tetangga, disebutkan dua jenis tetangga.
Yaitu al jaar dzul qurbaa (tetangga dekat) dan al jaar al junub (tetangga jauh). Ibnu Katsir
menjelaskan tafsir dua jenis tetangga ini: “Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa al jaar dzul qurbaa adalah
tetangga yang masih ada hubungan kekerabatan dan al jaar al junub adalah tetangga yang tidak
memiliki hubungan kekerabatan”. Beliau juga menjelaskan: “Dan Abu Ishaq
meriwayatkan dari Nauf Al Bikali bahwa al jaar dzul qurbaa adalah
muslim dan al jaar al junub adalah Yahudi
dan Nasrani” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/298).
Anjuran
berbuat baik kepada tetangga berlaku secara umum kepada setiap orang yang
disebut tetangga, bagaimana pun keadaannya. Ketika menjelaskan hadits
مَا زَالَ جِبْرِيْلُ
يُوْصِيْنِيْ بِالْـجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril senantiasa menasehatiku tentang
tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris”
Al ‘Aini menuturkan: “Kata al jaar (tetangga)
di sini mencakup muslim, kafir, ahli ibadah, orang fasiq, orang jujur, orang
jahat, orang pendatang, orang asli pribumi, orang yang memberi manfaaat, orang
yang suka mengganggu, karib kerabat, ajnabi, baik yang dekat rumahnya atau agak
jauh” (Umdatul Qaari, 22/108)
Demikianlah
yang dilakukan para salafus shalih. Dikisahkan dari Abdullah bin ‘Amr Al Ash:
أَنَّهُ ذُبِحَتْ لَهُ
شَاةٌ، فَجَعَلَ يقول لغلامه: أهديت لجارنا اليهوي؟ أَهْدَيْتَ لِجَارِنَا
الْيَهُودِيِّ؟ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: ” مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بالجارحتى ظننت أنه سيورثه
“Beliau menyembelih seekor kambing. Beliau lalu berkata kepada
seorang pemuda: ‘akan aku hadiahkan sebagian untuk tetangga kita yang orang
Yahudi’. Pemuda tadi berkata: ‘Hah? Engkau hadiahkan kepada tetangga kita orang
Yahudi?’. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda ‘Jibril senantiasa menasehatiku
tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian
harta waris‘” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul
Mufrad 78/105, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad)
Oleh
karena itu para ulama menjelaskan bahwa tetangga itu ada tiga macam:
·
Tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat. Maka ia memiliki
3 hak, yaitu: hak tetangga, hak kekerabatan, dan hak sesama muslim.
·
Tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Maka
ia memiliki 2 hak, yaitu: hak tetangga, dan hak sesama muslim.
Dengan
demikian berbuat baik kepada tetangga ada tingkatannya. Semakin besar haknya,
semakin besar tuntutan agama terhadap kita untuk berbuat baik kepadanya. Di
sisi lain, walaupun tetangga kita non-muslim, ia tetap memiliki satu hak yaitu
hak tetangga. Jika hak tersebut dilanggar, maka terjatuh pada perbuatan zhalim
dan dosa. Sehingga sebagai muslim kita dituntut juga untuk berbuat baik pada
tetangga non-muslim sebatas memenuhi haknya sebagai tetangga tanpa menunjukkan
loyalitas kepadanya, agamanya dan kekufuran yang ia anut. Semoga dengan akhlak
mulia yang kita tunjukkan tersebut menjadi jalan hidayah baginya untuk memeluk
Islam.
Wallahul
Muwafiq Ilaa Aqwamiththariq..
0 Comments:
Posting Komentar