Pengertian
Musyrik adalah
orang yang melakukan dosa syirik (berasal dari kata syarikah :
persekutuan) yaitu mempersekutukan atau membuat tandingan hukum atau ajaran
lain selain dari ajaran/hukumAllah.
Syirik adalah akhlak yang melampaui batas aturan dan bertentangan dengan
prinsip tauhid yaitu dengan mengabdi , tunduk , taat
secara sadar dan sukarela pada sesuatu ajaran / perintah selain dari ajaran
Allah. Musyrik secara literer merupakan antitesa dari “Tauhid” yang memiliki
arti: Mengesakan Allah Swt. Dan “Orang-Orang Musyrik” adalah mereka yang
menyekutukan Allah Swt.
Dalam
Islam, syirik adalah dosa yang
tak bisa diampuni kecuali
dengan pertobatan dan meninggalkan kemusyrikan sejauh-jauhnya.
Kemusyrikan
secara personal dilaksanakan dengan mengikuti ajaran-ajaran selain ajaran Allah
swt secara sadar dan sukarela (membenarkan ajaran syirik dalam qalbu,
menjalankannya dalam tindakan dan berusaha menegakkan atau menjaga ajaran
syirik tersebut).
Kemusyrikan
secara sosial/komunal (jama'ah atau bangsa) dijelaskan pada surat Ar-Rum ayat
31-32:
مُنِيبِينَ
إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
(٣١)مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا
لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (٣٢)
31. Dengan
kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya[49] serta
laksanakanlah shalat[50] dan
janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah[51],
32. [52]yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka[53] dan
mereka menjadi beberapa golongan[54].
Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka[55].
[49] Ini
merupakan tafsiran dari menghadapakan wajah dengan lurus kepada agama Islam,
karena maksud kembali adalah kembalinya hati dan pengarahannya kepada hal yang
diridhai Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Konsekwensinya adalah membawa badan untuk
mengerjakan perbuatan yang diridhai Allah dengan melakukan ibadah yang tampak
maupun tersembunyi, dan hal itu tidaklah sempurna kecuali dengan meninggalkan
maksiat yang tampak maupun tersembunyi. Oleh karena itu, dalam ayat tersebut
disebutkan pula bertakwa kepada-Nya yang kandungannya adalah melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan.
[50] Disebutkan
shalat secara khusus, karena shalat mengajak pelakunya untuk kembali dan
bertakwa, ia mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, sehingga membantu
tercapainya ketakwaan.
[51] Disebutkan
syirk secara khusus, karena ia merupakan larangan utama, di mana amal apa pun
yang baik tidak akan diterima. Di samping itu, syirk bertentangan dengan sikap
kembali, di mana ruhnya adalah ikhlas.
[52] Selanjutnya,
Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan keadaan kaum musyrik sambil menerangkan
buruknya keadaan mereka.
[53] Dalam
sebuah qira’aat, dibaca “Faaraquu” (meninggalkan). Maksudnya, meninggalkan
agama tauhid (Islam) dan menganut berbagai kepercayaan menurut hawa nafsu
mereka. Di antara mereka ada yang menyembah patung dan berhala, ada pula yang
menyembah api, ada pula yang menyembah matahari, ada yang menyembah wali dan
orang-orang saleh, dsb.
[54] Para
pengikut golongan tersebut bersikap fanatik kepada golongannya dan membela
kebatilan yang ada pada golongan tersebut, serta menentang orang yang berada di
luar golongannya dan memeranginya.
[55] Berupa
ilmu yang menyelisihi ilmu para rasul. Mereka bangga dengannya, sehingga mereka
memutuskan bahwa yang ada pada mereka adalah yang hak, sedangkan selain mereka
adalah batil. Dalam ayat ini terdapat peringatan kepada kaum muslimin agar
tidak terpecah-pecah ke dalam beberapa kelompok, di mana masing-masing bersikap
fanatik kepada apa yang ada bersama mereka, hak atau batil, sehingga mereka
mirip dengan kaum musyrik dalam perpecahan, padahal agamanya satu, rasul mereka
satu, dan Tuhan yang disembah hanya satu.
Kebanyakan
masalah-masalah agama (seperti masalah ushuluddin) telah terjadi kesepakatan di
kalangan para ulama dan para imam, dan persaudaraan seiman pun telah Allah ikat
dengan kuat, maka mengapa semua itu tidak dianggap dan perpecahan di antara
kaum muslimin malah dibangun di atas masalah-masalah yang samar, masalah furu’
yang di sana terjadi khilaf, sampai-sampai yang satu menyesatkan yang lain, dan
sebagian mereka memisahkan diri dari yang lain. Ini tidak lain karena godaan
setan yang ditimpakan kepada kaum muslimin. Oleh karena itu, usaha untuk
menyatukan kesatuan mereka, menghilangkan pertengkaran yang terjadi yang
didasari atas asas yang batil termasuk jihad fii sabilillah dan amal utama yang
mendekatkan diri kepada Allah?
Jadi
fanatisme golongan/sektarian dengan berpecah belah dari ajaran Allah swt merupakan
kemusyrikan yang besar karena melibatkan manusia secara sosial, antara lain
dengan bermazhab-mazhab, berpartai-partai dengan tujuan kepentingan kelompok
mereka sendiri dan menciptakan aturan-aturan sendiri(yang berlandaskan
kepentingan kelompok tersebut). Keadaan ini menyebabkan disintegrasi antar
manusia, kalaupun terjadi perdamaian yang ada adalah perdamaian semu, sehingga
kehendak Allah pada manusia tidak bisa terlaksana karena kekacauan.
Orang
Musyrik Tak Diampuni
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa’: 48).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata, “Allah Ta’ala tidak
akan mengampuni dosa syirik yaitu ketika seorang hamba bertemu Allah dalam
keadaan berbuat syirik.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, terbitan Dar Ibnul Jauzi,
3: 129).
Maksud ayat ini kata Ibnul Jauzi yaitu Allah tidak akan mengampuni
pelaku syirik (musyrik) yang ia mati dalam kesyirikan (Lihat Zaadul Masiir, 2:
103). Ini berarti jika sebelum meninggal dunia, ia sudah bertaubat dan
menyesali kesyirikan yang ia perbuat, maka ia selamat.
Yang
dimaksud dengan “mengampuni” dalam ayat di atas bermakna, Allah akan
menutupi dan memaafkan. Jika dikatakan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik berarti Allah tidak akan memaafkan dan menutupi orang yang berbuat
syirik pada-Nya. Syirik yang dimaksudkan di sini adalah syirik dalam rububiyah,
uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Karena mentauhidkan Allah adalah
seutama-utamanya kewajiban. Sehingga jika ada yang berbuat syirik (sebagai
lawan dari tauhid), maka Allah tidak akan mengampuninya berbeda dengan
perbuatan maksiat lainnya yang berada di bawah syirik atau selain syirik.
Contoh
bentuk-bentuk kemusyrikan
Berikut ini adalah
sedikit contoh saja dari sekian banyak kemusyrikan yang merajalela:
1. Ngalap Berkah Pada Petilasan/Kuburan Kyai atau Wali
Adalah menjadi hal yang
membudaya bahkan dianggap peribadatan yang sangat afdhal bahwa pada bulan-bulan
atau hari-hari tertentu, misalnya bulan Mulud, menjelang Ramadhan atau
bulan-bulan/hari-hari lain. Banyak orang Islam berbondong-bondong dari berbagai
tempat ke petilasan-petilasan/ kuburan-kuburan kyai, orang-orang shaleh atau
yang dianggap wali.
Mereka datang dari tempat yang cukup jauh dengan mencurahkan tenaga, fikiran dan harta. Tidak peduli berapa banyak harta yang akan terbuang untuknya. Padahal orang yang paling suci dan paling terhormat, yaitu Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam telah bersabda: "Janganlah kamu mengharuskan berpergian (untuk ibadah / berziarah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (musjid Nabawi) dan Masjidil Aqsha." (Muttafaq 'Alaih)
Jadi, kecuali ketiga masjid yang disebutkan dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallamtelah melarang umatnya untuk sengaja mengharuskan melakukan perjalanan dalam rangka peribadatan.
Maka hanya dengan melakukan ziarah-ziarah ke kuburan-kuburan orang yang dianggap wali dari tempat-tempat yang jauh itu sudah merupakan pelanggaran terhadap larangan RasulullahShallallahu'alaihi wa sallam , di samping juga merupakan tindakan bid'ah karena Rasulullah dan para shahabatnya tidak pernah menjalankannya. Jika memang itu baik, apa lagi merupakan peribadatan tentu sudah dijalankan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Sebab mereka adalah orang yang paling bersemangat mengejar kebaikan. Tidak ada satupun celah kebaikan yang ditinggalkan oleh Nabi dan para shahabatnya. Apalagi, ternyata bahwa ziarah-ziarah ke kuburan-kuburan / petilasan-petilasan para wali itu dimaksudkan untuk ngalap berkah, meminta-minta kepada orang yang telah mati dan mencari syafa'at. Jika demikian halnya, maka jelas bahwa itu adalah syirik akbar.
Apabila orang tidak bertaubat dari kegiatan ini dan mati dalam keadaan demikian, maka Allah tidak akan mengampuninya, kekal di dalam neraka,Wal 'iyadzu billah. Allah Subhanahu wa ta'ala berfrrman: "Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan dosa syirik kepada-Nya, dan Allah mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya." (an-Nisa': 48)
Mereka mestinya menyadari bahwa apa yang dilakukannya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan kaum Musyrikin jahiliyah pada masa Nabi, yaitu tentang apa yang dikisahkan oleh Allah dalam firrman-Nya, "Tidakkah kamu memperhatikan Lata, Uzza dan yang ketiga adalah Manat?" (an-Najm: 19-20).
Tiga berhala yang disembah oleh orang-orang jahiliyah dengan cara ngalap berkah, meminta-minta dan mencari syafa'at. Salah satu berhala itu yakni Lata, oleh sebagian ulama diantaranya Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid, dan Humaid dibaca Latta dengan tasydid, artinya orang yang pada saat hidupnya terkenal sebagai tukang membikin makanan dari adonan gandum yang kemudian disajikan bagi para pendatang yang berthawaf dan beribadah di Baitullah. Maka ia dianggap sebagai orang berjasa yang ketika mati lain diabadikan menjadi berhala yang bernama Lata. (Lihat Fathul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, bab Man Tabarraka bi Syajarah an HajarWa Nahwihima).
Nah, mudah-mudahan orang dapat mengerti persamaan kasus di atas, kemudian menyadari dan meninggalkannya. Karena hal itu termasuk penyembahan kepada selain Allah.
2. Mencari Kesaktian Lewat Amalan-Amalan Dzikir Atau Yang Lainnya.
Yang juga membudaya dan menjadi
trend disemua lapisan masyarakat; baik tua maupun muda, laki-laki maupun
perempuan, bodoh maupun pintar, awam maupun alim, rakyat maupun aparat,
"orang yang dianggap ulama" maupun Umara, adalah membekali diri
dengan "ngelmu", kesaktian dan kekebalan.
Ada yang dengan cara-cara
klasik kebatinan, baik dengan istilah black magic (ilmu hitam) maupun white
magic (ilmu putih). Ada pula yang dengan cara-cara dzikir dan amalan-amalan
yang mengandung bacaan-bacaan wirid. Cara yang terakhir ini banyak mengelabuhi
umat Islam. Karena seakan-akan Islami dan tidak syirik. Padahal
hakikatnya sama: Syirik.
Amalan-amalan dzikir dan wirid itu pada hakikatnya hanya sebagai rumus atau kode untuk membuka hubungan dengan alam Jin. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu'alaihi wa salam maupun para Shahabatnya.
Dengan demikian, penggunaan dzikir dan wirid semacam itu, di samping tidak berdasarkan tuntunan atsar, juga menyimpang dari tujuan beribadah kepada Allah. Akhirnya menjadi syirik karena dzikir tersebut digunakan untuk meminta sesuatu kepada selain Allah, hal yang hanya menjadi kewenangan Allah saja. Allah Ta'ala berfi rman: "Sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin itu menambahkan rasa takut / dosa kepada manusia." (al-Jin: 6)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir berkata:
"Maksudnya (Jin-jin
itu mengatakan) kami melihat bahwa kami mempunyai kelebihan atas manusia, sebab
mereka telah meminta perlindungan diri kepada kami. Maksudnya, ketika manusia
melewati suatu lembah atau padang Sahara yang dianggap angker (mereka meminta
perlindungan diri kepada Jin jin). Seperti halnya kebiasaan orang Arab pada
jaman jahiliyah, mereka meminta perlindungan diri kepada penggede jin yang mbau
reksa tempat angker (yang mereka singgahi) itu supaya jin-jin di tempat
tersebut tidak menimpakan kesulitan kepada mereka?" (Lihat Fathul
Majid Syarh Kitab At-Tauhid, bab Min asy-Syirki al-Isti'adzatu bi Ghairillah.)
Mula Ali Qari al-Hana juga mengatakan:
"Tidak boleh meminta
perlindungan kepada jin. Sesungguhnya Allah telah mencela orang-orang karna
disebabkan hal yang demikian." Kemudian beliau membawakan ayat al-Qur'an
serta keterangannya sebagai berikut:
"Dan (ingatlah) hari diwaktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Allah ber firman): "Hai golongan jin, sesangguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia", lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: "Ya Rabb kami, sesangguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian yang lain, dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfi rman: "Neraka itulah tempat tinggal kamu, sedangkan kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki lain. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui." (al-An'am: 128)
Maksud kesenangan yang didapat manusia dari jin adalah terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan manusia (yang dimintakan lewat jin), dan patuhnya jin mengikuti perintah-perintah manusia serta patuhnya jin menyampaikan berita-berita ghaib. Sedangkan kesenangan yang didapat jin dari manusia adalah pengagungan manusia terhadap jin, serta permintaan perlindungan dan ketundukan manusia kepada jin".
Imam Ibnu Qayyim
mengatakan,
"Siapa yang
menyembelih binatang diperuntukkan bagi setan, meminta- minta kepada setan,
meminta perlindungan (isti'adzah) kepada setan dan mendekatkan din (taqarub)
kepada setan dengan melakukan apa yang disukai setan, berarti ini telah
menyembah setan, sekalipun ia tidak membahasakan hal itu sebagai penyembahan
dan hanya membahasakan bahwa setan dijadikan khadam. Tetapi sebenarnya, justeru
setanlah yang menjadikannya sebagai khadam bagi setan. Akhirnya ia menjadi
khadam setan dan menjadi penyembahnya. Dengan begitu, setanpun menjadi khadam
yang melayani manusia. Tetapi pelayanan setan sebagai khadam bagi manusia bukan
pelayanan yang bersifat penyembahan. Sebab setan tidak pernah akan tunduk
kepada manusia dan tidak pernah pula akan menyembah manusia. Tidak sebagaimana
halnya manusia kepada setan." (Lihat Fathul Majid Syarh Kitab At-Tauhid,
bab Min asy-Syirki al-Isti'adzatu bi Ghairillah)
Jadi jelas mencari
kesaktian, kedigdayaan dan kekebalan tubuh dengan menggunakan jin dan
perewangan adalah syirk akbar. Pelakunya tidak akan diampuni oleh Allah kecuali
dengan taubat. Sekalipun menurut pengakuan orang, jin yang dijadikan perewangan
adalah jin Muslim dan sekalipun cara-cara yang ditempuh menggunakan wirid-wirid
tertentu. Allah al-Musta'an.
3. Meminta Bantuan Kepada Arwah Rasul, Wali Atau Tokoh
Meminta bantuan kepada
arwah Rasul, wali atau tokoh-tokoh, ini bukan hanya menjadi kebiasaan dan
keyakinan yang membudaya, tetapi bahkan dihidup-hidupkan sebagai kesenian
budaya. Sehingga kegiatan itu betul-betul menyatu dan mendarah daging dalam
jiwa dan keyakinan sebagian besar masyarakat. Dapat disaksikan dibanyak tempat
adanya upacara-upacara serta kesenian-kesenian ritual yang berisi kegiatan
syaithani ini. Bahkan dalam nyanyian-nyanyian dan senandungnya sering terdengar
ungkapan-ungkapan seperti: "Al-madad, al-madad ya Rasul". Artinya:
"Bantuan, bantuan wahai Rasul." Maksudnya meminta bantuan kepada
Rasul yang telah wafat. Tentu ini adalah syirik akbar.
Dan peringatan-peringatan maulid Nabi merupakan media yang subur untuk kegiatan-kegiatan semacam ini. Pujian-pujian kepada nabi yang disenandungkan sarat dengan isi kemusyrikan, misalnya:
Wahai lmam para Rasul, wahai sandaranku
Engkau adalah pintu Allah
dan gantunganku
(Lihat Minhaj al-Foraqah
an-Najiyah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, di bawah sub judul, Min Madhahir
asy-Syirik.)
Begitu pula bait-bait sesudahnya yang berisi pujian berlebihan hingga mendudukan Rasulullah seperti Tuhan. Subhanallah `amma Yusyrikun.
Kadang ada pula masyarakat yang datang ke kuburan tokoh, lalu katanya dapat berdialog dengan arwah tokoh tersebut untuk meminta bantuan. Padahal yang bersuara adalah jin (setan) dengan memyerupai suara tokoh dimaksud agar manusia terperosok dalam kekafi ran.
4. Akik, Sabuk, dan Qur’an Stambul Sebagai Jimat
Ketika akik diyakini
memiliki daya magis, atau telah diisi dengan amalan-amatan mantera oleh dukun
(atau oleh dukun yang bernama kyai bersorban) hingga akik tersebut diyakini
berkekuatan magis. Maka orang masih berkelit dengan argumen-argumen;
"Bahkan number kekuatan sebenarnya adalah Allah, sedangkan akik tersebut
hanya wasilah raja." Karenanya orang beranggapan tidak syirik.
Terlebih lagi yang menjadi pialang akik-akik tersebut adalah orang-orang yang dianggap ulama' atau ahli agama. Sehingga sempurnalah selubung syubhat yang menutupi kemusyrikan tersebut.
Begitu pula sabuk yang
telah diisi dengan rajah-rajah, hijib-hijib atau mantera-mantera. Pelaku atau
pemiliknya adalah pelaku kemusyrikan. Dan pengisi sabuk tersebut adalah dukun
yang harus dijauhi, sekalipun berkedok orang yang bersorban.
Tidak berbeda pula dengan
Qur'an stambul, sebuah Qur'an (yang biasanya) berukuran kecil mungil dan
huruf-hurufnya tidak terbaca kecuali (barangkali) dengan kaca pembesar. Buku
yang dibikin menyerupai al-Qur'an dalam ukuran terlalu kecit ini diyakini bisa
menolong pemiliknya dari marabahaya. Mungkin benda yang meyerupai al-Qur'an itu
sengaja dibuat oleh WALI-WALI SETAN untuk mengelabuhi manusia supaya mudah
terjerumus dalam kemusyrikan.
Orang akan berdalih: "Bukankah ini Qur'an? dan bukankah alQur'an merupakan obat?" Nah al-Qur'an sebagai obat disalah artikan maknanya untuk kepentingan jimat. Dan itu adalah syirik.
Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah Shallallahu'alaihi wa salam bersabda: "Barang siapa yang mengalungkan Tamimah, maka sesungguhnya ia telah Masyrik." (Hadits Shahih)
Tamimah, menurut
al-Mundziri artinya untaian kalung yang dipakai guna mengusir penyakit
(Keyakinan terhadap tamimah) ini adalah kejahilan dan kesesatan. Sebab tidak
ada sesuatupun yang dapat menghalangi atau menolak apapun kecuali Allah.
(ibid.)
Menurut Abu as-Sa'adaat:
Tamimah adalah untaian
kalung yang dahulu oleh orang Arab dipakaikan kepada anak-anaknya agar
terlindungi dari ganguan setan. Tetapi hal ini kemudian diberantas oleh Islam.
(ibid.)
Berdasarkan hadits ini, memakai Tamimah atau kalung apa saja untuk tujuan perlindungan diri dari ganguan setan, ganguan roh jahat, penyembuhan penyakit atau tolak bala', adalah termasuk syirik yang harus diberantas. Demikianlah beberapa contah kemusyrikan yang sangat membudaya di tengah masyarakat. Di sana masih banyak contoh-contoh lain yang sangat membelenggu dan mencengkaram keyakinan masyarakat.
Secara garis besar contoh-contoh itu antara lain: menyakini kesialan angka 13, keyakinan jika menabrak kucing maka akan celaka, keyakinan para sopir jika melewati jalan angker harus berpamitan terlebih dahulu kepada yang Mbau rekso tempat angker tersebut dengan membunyikan klakson, keyakinan bahwa tiap malam jum'at kliwon harus memberikan sesajian diperempatan-perempatan jalan, adat istiadat menginjak telor dan segala kegiatan yang mengiringi bagi pengantin, memasang dekorasi dengan tandanan pisang pada pintu masuk halaman dalam pesta pengantin, brobosan (melewati bawah) jenazah yang akan diberangkatkan untuk di kubur, menyakini kebenaran para dukun dan tiara normal, menyakini bahwa seekor kerbau dapat memberikan berkah, menyakini bahwa pusaka atau kereta keraton dapat memberikan berkah sehingga perlu dimandikan dan airnya dijadikan rebutan, dan berbagai contoh kemusyrikan lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Apabila hal-hal di atas masih membelenggu keyakinan masyarakat, menjadi budaya dan tidak ada upaya untuk memberantasnya, maka umat ini tidak dapat diharapkan akan keluar dari kesulitan-kesulitan dan bencana-bencana. Di dunia akan sengsara dan di akhirat akan binasa. Nas'alullah at-Tau fiq.
Penutup
Sebagai penutup, di bawah ini adalah kisah yang harus dijadikan ibrah: Dart Abu Waqit al-Laitsi, ia mengatakan: Kami keluar bersama Nabi Shallallahu'alaihi wa salam untuk berperang ke Hunain, kami waktu itu baru saja meninggalkan kekafiran (baru masuk Islam), sedangkan kaum Musyrikin mempunyai sebuah pohon Sidrah yang dijadikan tempat i'tihaf (bersemedi) mereka, dan mereka senang menggantungkan senjata-senjata mereka (supaya menjadi senjata sakti) pada pohon itu. Pohon itu disebut sebagai pohon yang memiliki keramat.
Kemudian kami melewati pohon itu. Maka kami berkata kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa salam : "Ya Rasalullah, buatkanlah untuk kami sesuatu yang dikeramatkan sebagaimana mereka (kaum Musyrikin) mempunyai sesuatu yang dikeramatkan". Maka Rasulullah Shallallahu'alaihi wa salam menjawab: Allahu Akbar, ini merupakan jalan / kebiasaan (yang sadah terjadi sejak dahulu-pen). Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian telah berkata seperti apa yang telah dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, yaitu (yang tersebut dalam surat al-A'raf: 138 artinya):
'Buatkanlah untuk kami berhala sebagaimana mereka mempunyai berhala-berhala. Musa menjawab: Sesungguhnya kalian benar-benar orang yang bodoh". Sunggah kalian benar-benar mengikuti jalan /kebiasaan orang-orang sebelum kalian." (HR Tirmidzi dan beliau menshahihkanya.)
Kisah di atas merupakan kisah yang dapat memberikan pelajaran bagi orang-orang yang ber fikir. Orang harus merasa takut terjerumus dalam kemusyrikan. Sebab orang terkadang menganggap baik terhadap sesuatu dan menyangka sebagai taqarrub kepada Allah, padahal sesuatu itu justru merupakan hal yang paling menjauhkan seseorang dari rahmat Allah, dan paling potensial mendatangkan murka Allah.
Berdasarkan kisah di
atas, juga dapat diambil kesimpulan bahwa istilah atau sebutan tidak membatasi
hakikat suatu masalah. Sekalipun sekarang sebutan Dzatu anwath (sesuatu yang
memiliki keramat) tidak dipakai misalnya, tetapi ternyata hakikat
permasalahanya sama, maka tetap saja merupakan kemusyrikan.
Orang yang musyrik tetap musyrik walaupun ia menamakan kemusyrikannya sebagai amalan wirid. Meminta-minta kepada orang mati, menyembelih untuk orang mati, bernadzar untuk orang mati dan sebagainya tetap syirik sekalipun kegiatan-kegiatan itu di-istilahkan sebagai penghormatan atau sebagai ungkapan rasa cinta kepada nabi yang telah mati.
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa salam murka dan menganggap permintaan shahabat akan Dzatu anwath, sama dengan permintaan Bani Israil kepada Musa akan berhala. Jadi jelas yang menjadikan ukuran bukan istilahnya, tetapi hakikatnya.
Begitulah, hendaknya
contoh-contoh tentang kemusyrikan di alas menjadi bahan kajian, bahwa bukan
hanya itu saja bentuk kemusyrikan, tetapi bisa berkembang dalam berbagai bentuk
lain. Yang jelas umat Islam harus berhati-hati dan berupaya keras untuk kembali
mempelajari agamanya secara benar kemudian mengamalkannya secara benar supaya
selamat dunia dan akhiratnya.
Alangkah indahnya jika umat manusia hanya beribadah kepada Allah saja, tidak melakukan kemusyrikan sedikitpun, tidak melakukan penyelewengan-penyelewengan peribadatan dan bersedia meninggalkan kemaksiatan sekecil apapun. Nas'alullaha at-Tau fiq wa as Sadad.
Sumber:
0 Comments:
Posting Komentar