LATAR BELAKANG
Manusia adalah makhluk
spesial yang diciptaan oleh allah
swt dengan kekhususan sifat yang diberikan oleh allah swt yaitu nafsu
dan akal, nafsu dan akal ini bisa terpengaruhi oleh yang namanya marah, marah
adalah sifat yang dapat mempengaruhi nafsu manusia dan kadang2 dapat
mempengaruhi akal manusia untuk melakukan tindakan kriminal seperti(marah pada
presiden atau pemerintah sehingga melakukan
rencana penghancuran, dll)
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana marah menurut pandangan muslim?
2.
Bagaimana cara untuk terhindar dari marah?
PEMBAHASAN
Al
Jurjani berkata: Marah adalah perubahan yang terjadi saat darah yang ada di
dalam hati bergejolak sehingga menimbulkan kepuasan di dalam dada. Marah adalah
gejolak yang timbulkan oleh setan. dia mengakibatkan berbagai bencana dan
malapetaka yang tak seorangpun mengetahuinya melainkan Allah Subhanhu Wa
Taâala.
Imam
al ghazali pernah berkata: Manusia berbeda-beda dalam tingkat gejolak
kemarahannya, dan dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu: Kurang marah, marah
yang melewati batas, dan marah yang stabil.
- Kurang marah adalah hilangnya
kekuatan gejolak marah atau gejolak amarahnya tersebut lemah.
- Marah yang berlebih-lebihan
adalah mendominasinya sifat amarah hingga mengalahkan kendali akal, agama
dan ketaatan, sehingga tidak ada bagi orang seperti ini suatu kesadaran,
fikiran dan inisiatif.
- Marah yang stabil adalah marah
yang terpuji, terwujud setelah ada isyarat dari akal dan agama untuk
melampiaskan kemarahan.
Imam
ghazali berkata saat menjelaskan tentang sebab-sebab marah. Diantara
sebab-sebab timbulnya marah adalah: bangga
diri, bercanda, main-main, mengejek, mengolok-olok, berbantah-bantahan, saling
bermusuhan, berkhianat, mengejar kelebihan harta duniawi dan pangkat, dan sebab
yang paling banyak menimbulkan kemarahan adalah pengelabuan orang yang bodoh
dengan menyebut kemarahan itu sebagai keberanian, kejantanan, harga diri dan
semangat yang tinggi.
Marah itu ada yang terpuji dan ada yang tercela (yang
diharamkan) dan ada yang diperbolehkan:
Marah
yang terpuji adalah apabila marah itu bersumber dari Allah subhanahu wata’ala,
seperti marah karena Allah, terhadap musuh-musuhNya dari golongan Yahudi dan
orang-orang sepertinya, baik orang-orang kafir dan munafik. Marah yang terpuji
jika motivasinya karena Allah, tatkala aturan-aturan Allah dihinakan,
sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla (yang artinya):
وَاتَّخَذَ قَوْمُ مُوسَىٰ
مِنْ
بَعْدِهِ
مِنْ
حُلِيِّهِمْ
عِجْلًا
جَسَدًا
لَهُ
خُوَارٌ
ۚ أَلَمْ
يَرَوْا
أَنَّهُ
لَا
يُكَلِّمُهُمْ
وَلَا
يَهْدِيهِمْ
سَبِيلًا
ۘ اتَّخَذُوهُ
وَكَانُوا
ظَالِمِينَ
Dan
kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari
perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah
mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan
mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka
menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim.
وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ
ضَلُّوا قَالُوا لَئِنْ لَمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
Dan
setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah
sesat, merekapun berkata: "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat
kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang
merugi".
وَلَمَّا رَجَعَ مُوسَىٰ إِلَىٰ قَوْمِهِ غَضْبَانَ أَسِفًا قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِنْ بَعْدِي ۖ أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ ۖ وَأَلْقَى الْأَلْوَاحَ وَأَخَذَ بِرَأْسِ أَخِيهِ يَجُرُّهُ إِلَيْهِ ۚ قَالَ ابْنَ أُمَّ إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْأَعْدَاءَ وَلَا تَجْعَلْنِي مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan
tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati
berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku!
Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan luh-luh
(Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya
ke arahnya, Harun berkata: "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah
menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah
kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku
ke dalam golongan orang-orang yang zalim"
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِأَخِي وَأَدْخِلْنَا فِي رَحْمَتِكَ ۖ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِي
Musa
berdoa: "Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke
dalam rahmat Engkau, dan Engkau adalah Maha Penyayang di antara para penyayang
"إِنَّ الَّذِينَ اتَّخَذُوا الْعِجْلَ سَيَنَالُهُمْ غَضَبٌ
مِنْ رَبِّهِمْ وَذِلَّةٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۚ وَكَذَٰلِكَ نَجْزِي
الْمُفْتَرِينَ
Sesungguhnya
orang-orang yang menjadikan anak lembu (sebagai sembahannya), kelak akan
menimpa mereka kemurkaan dari Tuhan mereka dan kehinaan dalam kehidupan di
dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat
kebohongan.
وَالَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُوا مِنْ بَعْدِهَا وَآمَنُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Orang-orang yang
mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya
Tuhan kamu sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الْأَلْوَاحَ ۖ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ
Sesudah amarah Musa
menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat) itu; dan dalam
tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada
Tuhannya.
(Qur’an surah Al- A’raf
ayat: 148-154)
Jadi marah yang terpuji adalah marah yang bisa dikendalikan
oleh pelakunya secara santun.
- Di antara marah yang tercela
adalah marah karena fanatisme terhadap suku.
- Marah yang diperbolehkan adalah
marah yang bukan pada maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala sebagaimana
firman-Nya:
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan,
sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diutamakan”(qur’an surah as-syuura: 43).
Beberapa terapi syaraâ untuk mengobati marah:
Pertama, segera
memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan, dengan membaca ta’awudz:
أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ
A-‘UDZU BILLAHI MINAS SYAITHANIR RAJIIM
Karena
sumber marah adalah setan, sehingga godaannya bisa diredam dengan memohon
perlindungan kepada Allah.
Dari
sahabat Sulaiman bin Surd radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Suatu
hari saya duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu
ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat
lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِني لأعلمُ كَلِمَةً لَوْ قالَهَا لذهبَ عنهُ ما يجدُ، لَوْ
قالَ: أعوذُ بالله مِنَ
الشَّيْطانِ الرَّجيمِ، ذهب عَنْهُ ما يَجدُ
Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh
orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’-uudzu billahi
minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam
riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
seseorang marah, kemudian membaca: A-‘udzu billah (saya berlindung kepada
Allah) maka marahnya akan reda.” (Hadis shahih – silsilah As-Shahihah, no.
1376)
2. DIAM dan jaga lisan
Bawaan
orang marah adalah berbicara tanpa aturan. Sehingga bisa jadi dia bicara
sesuatu yang mengundang murka Allah. Karena itulah, diam merupakan cara mujarab
untuk menghindari timbulnya dosa yang lebih besar.
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib Al-Arnauth menilai Hasan lighairih).
Ucapan
kekafiran, celaan berlebihan, mengumpat takdir, dst., bisa saja dicatat oleh
Allah sebagai tabungan dosa bagi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengingatkan,
إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ
فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ
Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang
dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang
dalamnya sejauh timur dan barat.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Di
saat kesadaran kita berkurang, di saat nurani kita tertutup nafsu, jaga lisan
baik-baik, jangan sampai lidah tak bertulang ini, menjerumuskan anda ke dasar
neraka.
Ketiga, mengambil
posisi lebih rendah
Kecenderungan
orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi.. dan lebih tinggi. Semakin
dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa
melampiaskan amarahnya sepuasnya.
Karena
itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan saran sebaliknya.
Agar marah ini diredam dengan mengambil posisi yang lebih rendah dan lebih
rendah. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menasehatkan,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ
ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri,
hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga
hilang, hendak dia mengambil posisi tidur.
(HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib
Al-Arnauth).
Abu
Dzar radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadis ini, melindungi
dirinya ketika marah dengan mengubah posisi lebih rendah. Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari Abul Aswad Ad-Duali, beliau menceritakan
kejadian yang dialami Abu Dzar,
“Suatu
hari Abu Dzar mengisi ember beliau. Tiba-tiba datang beberapa orang yang ingin
mengerjai Abu Dzar. ‘Siapa diantara kalian yang berani mendatangi Abu Dzar dan
mengambil beberapa helai rambutnya?’ tanya salah seorang diantara mereka.
“Saya.” Jawab kawannya.
Majulah
orang ini, mendekati Abu Dzar yang ketika itu berada di dekat embernya, dan
menjitak kepala Abu Dzar untuk mendapatkan rambutnya. Ketika itu Abu Dzar
sedang berdiri. Beliaupun langsung duduk kemudian tidur.
Melihat
itu, orang banyak keheranan. ‘Wahai Abu Dzar, mengapa kamu duduk, kemudian
tidur?’ tanya mereka keheranan.
Abu
Dzar kemudian menyampaikan hadis di atas. Subhanallah.., demikianlah semangat
sahabat dalam mempraktekkan ajaran nabi mereka.
Mengapa
duduk dan tidur?
Al-Khithabi
menjelaskan,
القائم متهيئ للحركة والبطش، والقاعد دونه في هذا المعنى،
والمضطجع ممنوع منهما، فيشبه أن يكون النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما
أمره بالقعود لئلا تبدر منه في حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعدُ
Orang
yang berdiri, mudah untuk bergerak dan memukul, orang yang duduk, lebih sulit
untuk bergerak dan memukul, sementara orang yang tidur, tidak mungkin akan
memukul. Seperti ini apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perintah beliau untuk duduk, agar orang yang sedang dalam posisi berdiri atau
duduk tidak segera melakukan tindakan pelampiasan marahnya, yang bisa jadi menyebabkan
dia menyesali perbuatannya setelah itu. (Ma’alim As-Sunan, 4/108)
Keempat, Ingatlah
hadis ini ketika marah
Dari
Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قادرٌ على أنْ يُنفذهُ دعاهُ
اللَّهُ سبحانهُ وتعالى على رءوس الخَلائِقِ يَوْمَ القيامةِ حتَّى يُخيرهُ مِنَ
الحورِ العين ما شاءَ
“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu
meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari
kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)
Subhanallah..,
siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil oleh Allah di hadapan semua
makhluk pada hari kiamat, untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan
jin menyaksikan orang ini, maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang
besar dari Allah ta’ala. Tahukah anda, pahala ini Allah berikan kepada orang
yang hanya sebatas menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya. Bisa kita
bayangkan, betapa besar pahalanya, ketika yang dia lakukan tidak hanya menahan
emosi, tapi juga memaafkan kesalahan orang tersebut dan bahwa membalasnya
dengan kebaikan.
Mula
Ali Qori mengatakan,
وَهَذَا الثَّنَاءُ الْجَمِيلُ وَالْجَزَاءُ الْجَزِيلُ إِذَا
تَرَتَّبَ عَلَى مُجَرَّدِ كَظْمِ الْغَيْظِ فَكَيْفَ إِذَا انْضَمَّ الْعَفْوُ
إِلَيْهِ أَوْ زَادَ بِالْإِحْسَانِ عَلَيْهِ
Pujian
yang indah dan balasan yang besar ini diberikan karena sebatas menahan emosi.
Bagaimana lagi jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya
dengan kebaikan. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 6/140).
Satu
lagi, yang bisa anda ingat ketika marah, agar bisa meredakan emosi anda:
Hadis
dari Ibnu Umar,
من كف غضبه ستر الله عورته ومن كظم غيظه ولو شاء أن يمضيه
أمضاه ملأ الله قلبه يوم القيامة رضا
Siapa
yang menahan emosinya maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang menahan
marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan penuhi
hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam
Qadha Al-Hawaij, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Ya,
tapi yang sulit bukan hanya itu. Ada satu keadaan yang jauh lebih sulit untuk
disuasanakan sebelum itu, yaitu mengkondisikan diri kita ketika marah untuk
mengingat balasan besar dalam hadis di atas. Umumnya orang yang emosi lupa
segalanya. Sehingga kecil peluang untuk bisa mengingat balasan yang Allah
berikan bagi orang yang bisa menahan emosi.
Siapakah
kita dibandingkan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Sekalipun demikian,
beliau terkadang lupa dengan ayat dan anjuran syariat, ketika sudah terbawa
emosi.
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa ada seseorang
yang minta izin kepada Khalifah Umar untuk bicara. Umarpun mengizinkannya.
Ternyata orang ini membabi buta dan mengkritik habis sang Khalifah.
‘Wahai
Ibnul Khattab, demi Allah, kamu tidak memberikan pemberian yang banyak kepada
kami, dan tidak bersikap adil kepada kami.”
Mendengar
ini, Umarpun marah, dan hendak memukul orang ini. Sampai akhirnya Al-Hur bin
Qais (salah satu teman Umar) mengingatkan,
‘Wahai
Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Berikanlah maaf, perintahkan yang baik,
dan jangan hiraukan orang bodoh.’ dan orang ini termasuk orang bodoh.’
Demi
Allah, Umar tidak jadi melampiaskan emosinya ketika mendengar ayat ini
dibacakan. Dan dia adalah manusia yang paling tunduk terhadap kitab Allah. (HR.
Bukhari 4642).
Yang
penting, anda jangan berputus asa, karena semua bisa dilatih. Belajarlah untuk
mengingat peringatan Allah, dan ikuti serta laksanakan. Bisa juga anda minta
bantuan orang di sekitar anda, suami, istri, anak anda, pegawai, dan orang di
sekitar anda, agar mereka segera mengingatkan anda dengan janji-janji di atas,
ketika anda sedang marah.
Pada
kasus sebaliknya, ada orang yang marah di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliaupun meminta salah satu sahabat untuk
mengingatkannya, agar membaca ta’awudz, A-‘udzu billahi minas syaithanir
rajim..
وَقَالَ: له أحد الصحابة «تَعَوَّذْ
بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ» فَقَالَ:
أَتُرَى بِي بَأْسٌ، أَمَجْنُونٌ أَنَا، اذْهَب
“Salah
satu temannya mengingatkan orang yang sedang marah ini: ‘Mintalah perlindungan
kepada Allah dari godaan setan!’ Dia malah berkomentar: ‘Apakah kalian sangka
saya sedang sakit? Apa saya sudah gila? Pergi sana!’ (HR. Bukhari 6048).
Kelima, Segera
berwudhu atau mandi
Marah
dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin.
Terdapat
hadis dari Urwah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan,
إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ
خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ
أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari
api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia
berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)
Dalam
riwayat lain, dari Abu Muslim Al-Khoulani, beliau menceritakan,
Bahwa
Amirul Mukminin Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di
hadapan masyarakat. Dan ketika itu, gaji pegawai belum diserahkan selama dua
atau tiga bulan. Abu Muslim-pun berkata kepada beliau,
‘Hai
Muawiyah, sesungguhnya harta itu bukan milikmu, bukan milik bapakmu, bukan pula
milik ibumu.’
Mendengar
ini, Muawiyah meminta hadirin untuk diam di tempat. Beliau turun dari mimbar,
pulang dan mandi, kemudian kembali dan melanjutkan khutbahnya,
‘Wahai
manusia, sesungguhnya Abu Muslim menyebutkan bahwa harta ini bukanlah milikku,
bukan milik bapakku, bukan pula milik ibuku. Dan Abu Muslim benar. kemudian
beliau menyebutkan hadis,
الغضب من الشيطان ، والشيطان من النار ، والماء يطفئ النار ،
فإذا غضب أحدكم فليغتسل
Marah itu dari setan, setan dari api, dan air bisa
memadamkan api. Apabila kalian marah, mandilah.
Lalu
Muawiyah memerintahkan untuk menyerahkan gaji mereka.
(HR.
Abu Nuaim dalam Hilyah 2/130, dan Ibnu Asakir 16/365). Ibnul Mundzir. Beliau
mengatakan,
إن ثبت هذا الحديث فإنما الأمر به ندبا ليسكن الغضب ، ولا أعلم
أحدا من أهل العلم يوجب الوضوء منه
Berapa
pakar tetap menganjurkan untuk berwudhu,
tanpa diniatkan sebagai sunah. Terapi ini dilakukan hanya dalam rangka meredam
panasnya emosi dan marah. Dr. Muhammad Najati mengatakan,
يشير هذا الحديث إلى حقيقة طبية معروفة ، فالماء البارد يهدئ
من فورة الدم الناشئة عن الانفعال ، كما يساعد على تخفيف حالة التوتر العضلي
والعصبي ، ولذلك كان الاستحمام يستخدم في الماضي في العلاج النفسي
Hadis
ini mengisyaratkan rahasia dalam ilmu kedokteran. Air yang dingin, bisa
menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa
digunakan untuk menurunkan tensi darah tinggi. Karena itulah, di masa silam,
terapi mandi digunakan untuk terapi psikologi.
(Hadis
Nabawi wa Ilmu An-Nafs, hlm. 122. dinukil dari Fatwa islam, no. 133861)
اَللَّهُمَّ نَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِضَا
وَالغَضَبِ
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kalimat haq ketika ridha
(sedang) dan marah
7. Menjaga wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
,
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنِي، قَالَ : لاَ تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَاراً،
قَالَ: لاَ تَغْضَبْ
[رواه البخاري]
Terjemah
hadits / ترجمة
الحديث :
Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu sesungguhnya seseorang
bertanya kepada Rasulullah sholallohu ‘alaihi wa sallam : (Ya Rasulullah)
nasihatilah saya. Beliau bersabda : Jangan kamu marah. Beliau menanyakan hal
itu berkali-kali. Maka beliau bersabda : Jangan engkau marah. (Riwayat Bukhori
)
Pelajaran
yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :
- Anjuran bagi setiap muslim
untuk memberikan nasihat dan mengenal perbuatan-perbuatan kebajikan,
menambah wawasan ilmu yang bermanfaat serta memberikan nasihat yang baik.
- Larangan marah.
- Dianjurkan untuk mengulangi pembicaraan hingga
pendengar menyadari pentingnya dan kedudukannya.
PENUTUP
Jadi
sebagai manusia kita harus menjauhi yang namanya marah karena marah dapat
menyebabkan orang lain maupun diri kita sendiri
celaka akibat marah
Sumber:
Penulis: Assalam Umar Abdurahman, Siswa Kelas XII IPA 2,
MAN Insan Cendekia Gorontalo.
0 Comments:
Posting Komentar