Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

Peranan Al-Qur’an dan Hadis dalam Kehidupan Manusia



Peranan Al-Qur’an dan Hadis dalam Kehidupan Manusia
Al-Qur’an dan hadis adalah pedoman hidup manusia yang dapat mengantarkan kita menuju kesalamatan dunia maupun akhirat. Di zaman modern seperti saat ini, kerap kali manusia melupakan kedua pedoman ini dalam menjalankan kehidupannya.
Tak sedikit pihak yang berpikir bahwa kehidupan sosial mereka bersilangan dengan paham-paham agama. Sehingga kerap kali permasalahan agama sering dipisahkan dari permasalahan umum yang dialami oleh masyarakat. Padahal jika kita mengkaji lebih lanjut tentang Al-Qur’an dan Hadis, banyak sekali ayat-ayat dan hadis yang membahas tentang kehidupan sosial manusia baik masalah pemerintahan, rumah tangga, sampai masalah pendidikan.

Hadits tentang pola Hidup Sederhana
 “Dari Umar bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya ia berkata, rasulullah SAW bersabda : Makanlah dan minumlah, berpakaian, dan bersedekahlah, tanpa berlebihan dan tidak sombong.” (HR. Ahmad)

 “Dari Karimah al-Miqdad bin Ma’di kariba r.a, dia berkata, saya mendengar rasulullah SAW bersabda : Tidaklah anak cucu Adam mengisi wadah/bejana yang lebih buruk dari perutnya, sebenarnya beberapa suap saja sudah cukup meneguhkan tulang rusuknya. Kalaupun dia harus mengisinya, maka 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman, dan 1/3 untuk bernafas.” (HR. Al Tirmidzi, Ibn Majah, dan Muslim)

Dalam Hadits ini Rasulullah menerangkan tentang sesuatu yang lebih buruk daripada mengisi perut dari sebuah bejana, yaitu mengisi perutnya dengan makanan sampai penuh. Dalam suatu riwayat mengatakan dari Aisyah r.a dari nabi Muhammad SAW beliau bersabda kepada orang yang minum dari bejana perak “seolah-olah api bergejolak di perutnya.” (HR. ahmad dan Ibnu Majah). Kemudian Allah berfirman dalam QS Al A’raf:31

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya : (Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah) yaitu buat menutupi auratmu (di setiap memasuki mesjid) yaitu di kala hendak melakukan salat dan tawaf (makan dan minumlah) sesukamu (dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).
Asbabun Nuzul ayat ini yaitu :
Pada masa Jahiliyah, manusia yang mengerjakan Haji hanya memakan makanan yang mengenyangkan saja, tidak mengutamakan makanan yang dapat menambah gizi dan vitamin yang diperlukan oleh badan. Dengan turunnya ayat ini, makanan dan minuman manusia itu harus disempurnakan dan diatur untuk dipelihara kesehatannya. Dengan begitu manusia lebih kiat mengerjakan ibadat.

Pemerintahan dalam Islam
Karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan ayat-ayat yang menegaskan tentang model pemerintahan yang harus diikuti. Maka model pemerintahan yang dianjurkan oleh al-Qur’an adalah sistem yang ditegakkan oleh Nabi Saw ketika beliau memimpin masyarakat di Madinah.
Masyarakat yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw, adalah masyarakat Madinah yang bebas dan merdeka serta berdaulat. Beliau mewujudkan ketertiban atau menetralisir kekuasaan kelompok-kelompok sosial yang sering terlibat dalam konflik. Buktinya adalah, dengan lahirnya piagam madinah
Dalam uraian di atas, tampak bahwa heterogenis penduduk Madinah adalah dalam hal etnis dan bangsa, ekonomi, agama dan keyakinan serta kebiasaan. Keberagaman tersebut, mengakibatkan mudahnya timbul konflik-konflik di antara mereka. Sebab, masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan dan mempunyai perbedaan kepentingan yang tajam dalam berbagai bidang cenderung ingin saling menjatuhkan.
Nabi Muhammad Saw  tampaknya memahami benar bahwa masyarakat yang beliau hadapi adalah masyarakat majemuk yang masing-masing golongan bersikap bermusuhan terhadap golongan lain. Untuk itu, beliau melihat perlu adanya penataan dan pengendalian sosial untuk mengatur hubungan-hubungan antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama.
Dari berbagai program yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw. maka dapat dipahami bahwa pemerintahannya ber-asaskan pada kepentingan berasama. Karenanya, model pemerintahan yang diterapkan adalah “demokrasi”.
Demokrasi sebagai mana yang telah di uraikan terdahulu, adalah mengutamakan kepentingan bersama. Dalam hal ini, Nabi Muhammad saw ketika di Madinah, membangun Mesjid, lembaga keagamaan dan sosial. Lembaga ini berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan umat.
Persatuan tersebut bukan diikat oleh hubungan kabilah, melainkan ikatan atas dasar akidah dan agama. Pada sisi lain, Nabi Muhammad Saw juga mepersatukan seluruh penduduk Madinah, tanpa membedakan agama dan keyakinan. Sehingga kaum Yahudi merasa terlindungi.
Kaitannya dengan uraian di atas, dalam QS. al-Nisa’ (4):105 dinyatakan ;

إنا أنزانا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله
ولا تكن للخائنين خصيبا

Terjemahnya:
‘Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang diajarkan oleh Allah kepadamu. Dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang berkhianat.
Ungkapan “dengan apa yang diajarkan oleh Allah kepadamu”, ditafsirkan oleh Ibn Jarir al-Tabariy “hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah”.  Sedangkan Ibn Katsir berpendapat bahwa ayat tersebut menjadi dasar bagi Muhammad Saw dalam menetapkan hukum berdasarkan ketetapannya. Menurut pendapat lain, yang menggabungkan dua pendapat tersebut, menyatakan bahwa yang dimaksud adalah dasar “wahyu dan pemikiran”.
Dari berbagai interpretasi yang dikemukakan oleh ulama di atas, dipahami bahwa Nabi dalam menetapkan sesuatu tetap berdasarkan wahyu dan boleh juga berdasarkan ketetapannya sendiri. Legitimasi yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw dalam hal penetapan sesuatu berdasarkan pemikirannya itu, jika tidak ada wahyu yang datang kepadanya.  Karena tentang model pemerintahan tidak diwahyukan oleh Allah maka Nabi Muhammad saw dalam memimpin masyarakat Madinah, diberi hak penuh untuk menentukannya.
Usaha Nabi Muhammad Saw mempersatukan orang-orang muslim dan membentuk mereka satu umat, kemudian mempersatukan orang-orang Yahudi dan sekutunya adalah satu umat bersama orang-orang muslim, merupakan tindakan yang demokrasi. Karena demikian, dapat dipahami bahwa model pemerintahan yang digariskan oleh al-Qur’an adalah pemerintahan yang demokratis. Yakni, sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan bersama.

Konsep Memilih Pasangan Hidup dalam Perspektif Hadis
Dalam pandangan Islam, masalah pernikahan mendapatkan perhatian khusus, lebih-lebih dalam memilih pasangan hidup, sehingga rumah tangga yang dibangun benar-benar kokoh dan bahagia. Sebab pembinaan rumah tangga berarti juga berdampak keselamatan, kebahagiaan individu, masyarakat, serta kemaslahatan dan kemuliaan umat manusia secara keseluruhan. Dalam masalah yang multikompleks seperti inilah Islam tidak pernah menganggap norma-norma material dan fenomena-fenomena yang menarik lainnya sebagai sesuatu yang penting. Tapi, Islam memberikan landasan yang sangat mendasar bagi tercapainya sebuah bangunan rumah tangga yang bahagia, sejahtera, penuh kedamaian dan ketentraman.
Allah memberikan pengarahan agar tujuan dari pernikahan tidak hanya untuk mencapai kebahagiaan yang semu, melainkan agar mencapai ketentraman atau sakinah, yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki di akhirat kelak. Terdapat dua faktor yang menjadikan tatanan rumah tangga mencapai sakiinah, yakni mawaddah dan rahmah. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Dengan kata lain, dengan mawaddah tanpa rahmah, atau rah}mah tanpa mawaddah tidak dapat mencapai kehidupan yang sakiinah.
Namun, untuk mencapai pernikahan, Islam mensyariatkan terlebih dahulu untuk meminang (khitbah). Dalam hal ini diletakkan dasar-dasar untuk menetapkan memilih pasangan hidup, sebagaimana yang menjadi kecenderungan manusia pada umumnya. Akhirnya, rumah tangga yang terbentuk merupakan tujuan ideal suami-istri. Kesalahan awal dalam memilih pasangan akan membawa risiko pada masa-masa berikutnya bagi kehidupan rumah tangga yang bersangkutan.
Pedoman untuk memilih pasangan hidup cukup banyak dan beragam. Hal yang paling penting adalah membuat urutan langkah dan skala prioritas dalam menyikapi dasar-dasar ini. Selanjutnya, perlu menganalisis lagi apakah semua langkah tersebut sudah jelas bagi orang yang akan melangkahkan kakinya untuk menikah atau belum.
Dalam hadis Nabi terdapat empat fakor yang menjadi kiteria dalam pemilihan pasangan hidup, yang sekali lagi sudah menjadi kecenderungan manusia pada umumnya. Idealnya keempat kriteria itu dapat dicapai dalam sebuah keluarga. Sebab, kunci kesuksesan bagi tatanan sebuah rumah tangga (suami-istri) adalah memilih pasangan hidup.
Salah satu hadis tentang kriteria memilih pasangan hidup adalah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya: Wanita dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka, menangkanlah wanita yang mempunyai agama, engkau akan beruntung.
Beberapa faktor ini disampaikan dalam sabda Rasul saw. riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah sebagaimana tersebut di atas. Hanya saja, dalam sabda Rasul saw. tersebut dijelaskan tidak secara pasti dan rinci maksud kata al-diin, yang kemudian ditegaskan dengan perkataan “Jatuhkan pilihanmu pada yang beragama”. Dari ungkapan ini, bisa saja seseorang yang beragama (baca: Islam) “biasa”atau sederhananya “yang penting beragama Islam” termasuk ke dalam kategori ini (al-diin). Padahal, keberagamaan seseorang yang hanya berupa identitas tidak cukup dijadikan sebagai hasil akhir dari penggambaran kepribadian seseorang yang baik. Sebab, bisa saja orang yang rajin melaksanakan salat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya, perilakunya dalam masyarakat masih jauh dari maksud dan tujuan yang diharapkan oleh agama itu sendiri.
Oleh karena itu, sudah barang tentu sabda Rasul saw. tersebut jangan dipahami secara parsial. Sebab, Islam dengan aturan-aturannya yang jelas mengajarkan kesempurnaan dalam beragama (kaaffah). Maksud beragama dalam hadis itu bukan sekadar seseorang yang melaksanakan ibadah dalam segi ritual-formal belaka. Akan tetapi, keberagamaan orang tersebut diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika seorang suami, ia betul-betul suami yang bertakwa. Adapun jika seorang istri, ia juga bertakwa, bisa memberi nasihat, bisa dipercaya, pandai menjaga diri, berakhlak mulia, taat menjalankan perintah agama, mengetahui hak Allah swt. dan hak suami, pandai menjaga nama baik keluarga, tidak bermaksiat, serta berusaha menciptakan ketenangan dan kedamaian jiwa bagi suami.
Dengan ungkapan lain, maksud agama dalam hadis tersebut adalah keberagamaan secara hakiki dan menyeluruh (kaaffah) yang meliputi keseimbangan antara iman dan amal sesuai dengan yang diharapkan dan dicita-citakan oleh Islam. Dalam rangka menjalani kehidupan kelurga, terlebih kehidupan masyarakat secara lebih luas, didasarkan pada ketentuan dan ketetapan Ilahi.

Konsep Pendidikan dalam Islam
Dalam konteks individu, pendidikan termasuk salah satu kebutuhan asasi manusia. Sebab, ia menjadi jalan yang lazim untuk memperoleh pengetahuan atau ilmu. Sedangkan ilmu akan menjadi unsur utama penopang kehidupannya. Oleh karena itu, Islam tidak saja mewajibkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan memberi dorongan serta arahan agar dengan ilmu itu manusia dapat menemukan kebenaran hakiki dan mendayungkan ilmunya diatas jalan kebenaran. Rosulullah SAW bersabda, “Tuntutlah oleh kalian akan ilmu pengetahuan, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah SWT, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah shodaqoh. Sesungguhnya ilmu itu akan menempatkan pemiliknya pada kedududkan tinggi lagi mulia. Ilmu adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan akhirat. (HR. ar-Rabi’)
Makna hadits tersebut sejalan dengan firman Allah SWT : “Allah niscaya mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan mereka yang berilmu pengetahuan bertingkat derajat. Demi Allah maha mengetahui terhadap apa yang kamu lakukan. (Qs. Al-Mujadalah 11)
Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata ajaran dan metode ajaran) yang berlaku dalam pendidikan Islam. Aqidah Islam berkonsekuensi ketaatan pada syari’at Islam. Ini berarti tujuan, pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at. Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterikatan pada syari’at Islam peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu pendidikan.
Aqidah Islam menjadi asas dari ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan harus bersumber pada aqidah Islam, karena memang tidak semua ilmu pengetahuan lahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud adalah aqidah Islam harus dijadikan standar penilaian. Ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan aqidah Islam tidak boleh dikembangkan dan diajarkan kecuali untuk dijelaskan kesalahannya.
Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dan cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Jika makna pendidikan Islam telah terdistorsi oleh konsep-konsep dari Barat, maka konsepnya sudah tentu bergeser dari konsep dasar pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam mestinya tidak menghasilkan SDM yang memiliki sifat zulm, jahl dan junun. Artinya produk pendidikan Islam tidak akan mengambil sesuatu yang bukan haknya, atau meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (zalim), tidak menempuh cara yang salah dalam mencapai tujuan (jahil) dan tidak salah dalam menentukan tujuan hidup.
Oleh sebab itu pendidikan Islam harus di-reorientasikan pada konsep dasarnya, yaitu merujuk kepada pandangan hidup Islam, yang dimulai dengan konsep manusia. Karena konsep manusia adalah sentral maka harus dikembalikan kepada konsep dasar manusia yang disebut fitrah. Artinya pendidikan harus diartikan sebagai upaya mengembangkan individu sesuai dengan fitrahnya. Seperti yang tertuang dalam al-A’raf, 172 manusia di alam ruh telah bersyahadah bahwa Allah adalah Tuhannya. Inilah sebenarnya yang dimaksud hadith Nabi bahwa “manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah..”
Fitrah tidak hanya terdapat pada diri manusia, tapi juga pada alam semesta. Pada keduanya Allah meletakkan ayat-ayat. Namun karena fitrah manusia tidak cukup untuk memahami ayat-ayat kauniyyah, Allah menurunkan al-Qur’an sebagai bekal memahami ayat-ayat pada keduanya. Pada ketiga realitas tersebut (diri, alam dan kalam Allah yakni al-Qur’an) terdapat ayat-ayat yang saling berkaitan dan tidak bertentangan. Oleh sebab itu jika manusia dengan fitrahnya melihat ayat-ayat kauniyyah melalui ayat-ayat qauliyyah, maka ia akan memperoleh hikmah.
Agar konsep dan praktek pendidikan Islam tidak salah arah, perlu disusun sesuai dengan fitrah manusia, fitrah alam semesta dan fitrah munazzalah, yaitu al-Qur’an. Jika proses pendidikan itu berjalan sesuai dengan fitrah, maka ia akan menghasilkan rasa berkeadilan dan sikap adil. Adil dalam Islam berarti meletakkan segala sesuatu pada tempat dan maqamnya. Artinya, pendidikan Islam harus mengandug unsur iman, ilmu dan amal agar anak didik dapat memilih yang baik dari yang jahat, jalan yang lurus dari yang sesat, yang benar (haqq) dari yang salah (batil).
Pendidikan Islam tidak hanya menekankan pada aspek kognitif (ta’lim) dan meninggalkan aspek afektif (amal dan akhlaq). Pendidikan yang terlalu intelektualistis juga bertentangan dengan fitrah. Al-Qur’an mensyaratkan agar fikir didahului oleh zikir (Ali Imran 191). Fikir yang tidak berdasarkan pada zikir hanya akan menghasilkan cendekiawan yang luas ilmunya tapi tidak saleh amalnya. Ilmu saja tanpa amal, menurut Imam al-Ghazzali adalah gila dan amal tanpa ilmu itu sombong. Dalam pendidikan Islam keimanan harus ditanamkan dengan ilmu, ilmu harus berdimensi iman, dan amal mesti berdasarkan ilmu. Begitulah, pendidikan Islam yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu pendidikan yang beradab.
Pada dasarnya islam memberikan kebebasan kepada individu (peserta didik) untuk mengembangkan nilai-nilai fitrah yang ada dalam dirinya untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman. Sebagai acuan pemahaman demokrasi pendidikan dalam islam, nampaknya tercermin dalam beberapa hal sebagai berikut.
1.    Islam mewajibkan manusia untuk menuntut Ilmu “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim ”
Hadits tersebut mencerminkan bahwa di dalam islam terdapat demokrasi pendidikan, di mana islam tidak membeda-bedakan antara muslim laki-laki dan perempuan dalam kewajiban menuntut ilmu. Oleh karena itu, pendidikan harus disebarluaskan kepada segenap lapisan masyarakat secara adil dan merata sesuai dengan disparitas yang ada atau sesuai dengan kondisi jumlah penduduk.
Untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin, untuk kepentingan hidup dunia akhirat, umat islam harus memperhatikan pendidikan, sebab semua ini sangat menentukan khususnya manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
2.    Adanya keharusan untuk bertanya kepada ahli ilmu
Di dalam QS.An Nahl 43:
“ Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui,
Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan kitab-kitab.
Umat islam diharuskan memiliki ahli-ahli dalm bidang-bidang pengetahuan tertentu. Karena itu, umat islam harus terus memacu dirinya agar tidak ketinggalan dalam hal pendidikan. Pedoman demokrasi pendidikan islam:
a.  Saling menghargai, yang merupakan wujud dari perasaan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah SWT. Terdapat dalam QS. Al Isra 70:
“ Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
b.  Penyampaian pengajaran harus dengan bahasa dan praktek yang berdasar atas kebaikan dan kebijaksanaan. QS.An Nahl 125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
c.   Perlakuan adil terhadap anak didik QS. Al Maidah 8:
“ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
d.  Terjalinnya rasa kasih sayang antara pendidik dan anak didik. Hal ini tercermin dalam hadits Rasulullah SAW yang artinya:
“Belum dikatakan beriman diantara kamu sehingga kamu menyayangi saudaranya sehingga kamu menyayangi dirimu sendiri.”
e.  Tertanamnya jiwa pendidik dan anak didik akan kebutuhan taufik dan hidayah Allah SWT. Dengan beberapa uraian tersebut, jelas sekali bahwa islam memberikan dasar demokrasi dalam pendidikan, karena dengan demokrasi pendidikan, akan melahirkan kemajuan-kemajuan yang berarti bagi umat manusia.




Penulis: Dewi Nur Mawaddah Umar, Siswi Kelas XII IPA 3 MAN Insan Cendekia Gorontalo.
Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer

Sepakbola GP