Sudah
menjadi fitrah hidup manusia adanya kesedihan dan kesenangan. Karena dua hal
tersebut sungguh tak dapat dipisahkan dari kehidupan seluruh umat manusia.
Namun yang menjadi persoalan terpenting adalah bagaimana cara kita menyikapi
keadaan yang demikian, apakah dengan penuh keikhlasan dan serah diri kepada
Allah swt apapun yang terjadi atau disikapi dengan kesombongan ketika senang
dan keputusasaan ketika sedih. Sebagai muslim seyogyanya kita dapat mengatasi
masalah keduanya dan tentunya membutuhkan kecerdasan mental dan spiritual agar
menghasilkan pola sikap dan pola tindak yang berkualitas di sisi Allah swt
untuk kebaikan di masa yang akan datang, baik di dunia maupun di akhirat.
Kesedihan dan kesenangan itu hakikatnya adalah
ujian dari Allah Swt, sebagaimana dalam al-Qur’an Allah swt berfirman, “Aku
menciptakan manusia supaya Aku menguji di antara mereka siapa yang paling baik
amalnya” yang dimaksud dengan ujian dan cobaan yang diberikan Allah swt tentu
berbeda dengan berbagai ujian yang diselenggarakan manusia.
Ujian-ujian yang diselenggarakan manusia adalah
untuk mengenal lebih baik dan menghilangkan keburaman dan ketidaktahuan. Namun
ujian Ilahi sejatinya adalah untuk penempaan dan tarbiyah manusia. Artinya
ujian dan cobaan Ilahi adalah ruang-ruang untuk mentarbiyah, menempa dan
menyempurnakan manusia.
Allah Swt menggunakan beberapa jalan dan cara
untuk menguji manusia sesuai dengan kemampuannya. Terkadang melalui kesulitan
hidup, terkadang dengan kebaikan dan keburukan, melalui banyaknya harta dan
kekayaan, modal, anak, musibah dan lain sebagainya.
Pentingnya Ujian Dalam Kehidupan Manusia
Seperti yang kita ketahui bahwa hidup dan mati
sengaja diciptakan Allah swt sebagai ujian bagi setiap manusia, agar Dia tahu
siapa yang terbaik di antara mereka. Begitulah yang difirmankan Allah swt dalam surat al-Mulk [67]: 2.
Dengan demikian, kehidupan di dunia ini adalah
ujian yang tidak akan pernah berakhir, sampai datangnya kematian sebagai akhir
“drama” kehidupan manusia di pentas dunia. Dalam surat al-Balad [90]: 4 Allah
swt berfirman
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
Artinya: “Sungguh Kami telah menciptakan manusia berada dalam kesusahan.”
Pernyataan tersebut Allah ungkapkan setelah terlebih dahulu Dia bersumpah dengan al-Balad/negeri Makah (tempat kediaman manusia), dan dengan Adam serta keturunannya (manusia). Dengan demikian, Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa manusia memang sengaja diciptakan Allah swt untuk menghadapi kesusahan dan kesulitan.
Kesusahan dan kepayahan manusia selama di dunia,
tidak akan pernah berhenti mulai dalam kandungan sampai kematiannya datang.
Bahkan, kematian itu sendiri adalah puncak dari kesusahan dan kepayahan hidup.
Dalam kehidupan di dunia ini, setiap manusia selalu berhadapan dengan berbagai
bentuk kesulitan dan kesusahan. Kalaupun dia bisa melepaskan diri dari satu
kesulitan, maka dia akan menghadapi kesulitan yang lain. Misalnya, seorang yang
masih dalam bangku pendidikan merasa kesusahan dengan materi pelajaran. Setelah
lulus dan selesai dari bangku pendidikan, dia kembali menghadapi kesusahan
untuk mendapatkan pekerjaan. Begitu memperoleh pekerjaan, muncul lagi kesusahan
baru menghadapi rekan seprofesi di kantor begitulah seterusnya. Sehingga Hidup
ini tidak akan terlepas dari yang namanya masalah, kesulitan dan lain
sebagainya dan solusi terbaik adalah dengan memohon kepada yang Maha kuasa atas
segala sesuatu yakni Allah swt.
Manusia yang berhenti pada satu tahap kesusahan,
akan menjadi orang yang putus asa dan pesimis. Dia akan memandang hidup ini dengan
pandangan hampa. Namun, orang yang beriman justru akan menjadi semakin optimis
dan berjuang keras untuk menyelesaikan semua kesulitan itu. Sebab, seorang yang
beriman meyakini bahwa setiap kesulitan itu pasti mempunyai jalan keluar, dan
yang pasti kesulitan itu tidak akan deberikan Allah swt, melainkan sesuai batas
kemampuan manusia itu sendiri memikulnya.
Manusia memang harus menanggung resiko kehidupan
dunia ini. Ia harus siap menghadapi kesulitan dan kepayahan, karena hidup
memang diciptakan untuk itu. Akan tetapi, semua itu bertujuan baik, karena
dengan kesulitan-kesulitan itulah, Allah swt meningkatkan derajat manusia itu
sendiri. Allah swt berfirman dalam surat Ali-Imran [3]: 142
أَمْ
حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ
جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk syurga padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjuang di antara
kamu dan belum nyata siapa yang sabar.”
Dalam surat al-Ankabut [29]:2, Allah swt juga berfirman
Dalam surat al-Ankabut [29]:2, Allah swt juga berfirman
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Artinya: "Apakah manusia mengira akan
dibiarkan saja mengatakan kami telah beriman, sementara mereka belum
mendapatkan ujian?.”
Hal itu berarti, bahwa ujian bagi manusia
sebenarnya bertujuan baik; yaitu meningkatkan kualitas manusia itu sendiri.
Bukankah dengan ujian seorang siswa bisa naik kelas?. Dan bukankah dengan ujian
juga, manusia biasa bisa menjadi orang besar dan disegani manusia lain?.
Oleh karena itu, ujian atau kesulitan bukanlah sesuatu yang jelek dan buruk, bahkan justru harus didambakan, diharapkan atau bahkan dicari. Ujian tidak boleh dihindari atau ditakuti, karena ujian itu sendiri merupakan sebuah lading kebaikan untuk kita. Akan tetapi, yang salah dan buruk adalah gagal dalam menghadapi ujian dan kesulitan itu. Semakin banyak ujian dan kesulitan yang dihadapi, akan semakin tinggilah mutu seseorang kalau dia berhasil menyelesaikannya. Bukankah ikan yang enak dagingnya, adalah ikan yang sering berenang di air deras?. Dan bukankah emas yang sering dibakar akan semakin mengkilat?. Dan bukankah cangkir yang indah dan menawan itu hasil dari proses yang sangat berat dan “sakit”?
Oleh karena itu, ujian atau kesulitan bukanlah sesuatu yang jelek dan buruk, bahkan justru harus didambakan, diharapkan atau bahkan dicari. Ujian tidak boleh dihindari atau ditakuti, karena ujian itu sendiri merupakan sebuah lading kebaikan untuk kita. Akan tetapi, yang salah dan buruk adalah gagal dalam menghadapi ujian dan kesulitan itu. Semakin banyak ujian dan kesulitan yang dihadapi, akan semakin tinggilah mutu seseorang kalau dia berhasil menyelesaikannya. Bukankah ikan yang enak dagingnya, adalah ikan yang sering berenang di air deras?. Dan bukankah emas yang sering dibakar akan semakin mengkilat?. Dan bukankah cangkir yang indah dan menawan itu hasil dari proses yang sangat berat dan “sakit”?
Namun demikian, satu hal yang mesti diyakini,
bahwa seberapa banyakpun ujian dan kesulitan yang dihadapi, jumlahnya tetap
masih sedikit bila dibandingkan dengan ni'mat yang telah diterima. Bukankah
Allah swt telah mengatakan dalam surat al-baqarah [2]: 155, "Kami pasti
akan menguji kamu dengan sedikit daripada rasa takut, rasa lapar, kekurangan
harta dan jiwa serta buah-buahan…”. Karena sedikitnya kesusahan itu, sering
tanpa kita sadari muncul ungkapan "untung". Misalnya, ketika datang
gempa di suatu daerah yang menghancurkan semua rumah, namun penghuninya selamat,
kita berkata “Untunglah rumah saja yang hancur, penghuninya masih selamat”.
Ketika rumah hancur dan semua penghuninya luka parah, kita berkata lagi
“Untunglah rumah saja yang hancur dan penghuninya hanya luka-luka”, begitulah
seterusnya. Secara tidak disadari manusia mengakui bahwa betapa besar dan
banyaknya kesulitan itu, ia masih dianggap sedikit. Agaknya itulah yang membuat
nabi Ayyub as. malu meminta kesembuhan penyakitnya kepada Allah swt, karena
menilai kesusahannya sangatlah sedikit sekali bila dibandingkan dengan
kenikmatan yang telah diperolehnya selama ini. Dan hal yang pasti adalah, bahwa
di balik kesulitan pasti ada kemudahan, karena kemudahan diciptakan Allah swt
jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan kesulitan. Begitulah yang dimaksud
Allah swt dalam surat Alam Nasyrah [94]: 5-6, dengan melakukan pengulangan dua
ayat dengan redaksi yang sama.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا(5)إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)
Artinya: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (5), sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (6).”
Menurut gramatika bahasa Arab, jika kata yang
berbentuk ma’rifah (difinit/ tertentu) diulang sebutannya dua kali, maka yang
dimaksud adalah satu. Namun, jika kata yang berbentuk nakirah (indifinit/ tidak
tentu) diulang sebutannya dua kali, maka yang dimaksud adalah dua hal yang
berbeda. Dengan demikian, ayat di atas menegaskan bahwa al-‘usr yang berarti
kesulitan, bentuknya satu karena diungkapkan dalam bentuk ma’rifah. Sementara yusr
yang berarti kemudahan bentuknya dua, karena diungkapkan dalam pola nakirah.
Kesimpulannya adalah bahwa dalam satu kesulitan, Allah swt telah menciptakan
dua kemudahan atau lebih. Sehingga di dunia ini pada hakikatnya kemudahan jauh
lebih banyak dari kesulitan.
Berdasarkan hal itu, maka tidak ada peluang bagi
manusia untuk putus asa ketika menghadapi suatu kesulitan. Tinggal lagi, usaha
mereka untuk menemukan jalan kemudahan guna keluar dari kesulitan yang sedang
dihadapinya.
Semoga
setiap ujian yang kita hadapi mampu kita atasi dengan penuh keyakinan kepada
Allah swt. Termasuk bagi seluruh siswa yang hendak melaksanakan ujian nasional,
agar lebih siap baik fisik maupun mental spiritual karena Victory Loves
Praparation atau Annajaah yuhibbul isti`dad (Keberhasilan dan
kesuksesan sangat mencintai kesiapan). Junjung tinggi kejujuran dalam
menghadapinya dan berusaha menjauhkan diri dari sifat buruk dan
kecurangan-kecurangan yang pastinya akan mengakibatkan hidup tidak berkah dan
akan mencelakakan kita dunia akhirat, wal`iyaadzu billah..
Wallahu
A`lam
0 Comments:
Posting Komentar