Segala
puji bagi Allah Rabb semesta alam, Yang membolak balikkan hati manusia, Raja
yang menguasai segalanya. Siapa yang Allah beri petunjuk maka tidak ada yang
bisa menyesatkannya dan siapa yang disesatkan maka tidak ada yang bisa memberi
petunjuk kepadanya.
Tawassul
dalam tinjauan bahasa dan Al Qur’an
At
tawassul secara bahasa artinya mendekatkan
diri dengan sesuatu amal (Al Misbahul Munir, 2/660). Bisa juga dimaknai
dengan berharap (ar raghbah) dan butuh (Lihat Al Mufradat fi ghoribil
Qur’an, 523). Terkadang juga dimaknai dengan “tempat yang tinggi”.
Sebagaimana terdapat dalam lafadz do’a setelah adzan: “Aati Muhammadanil
wasilata…”. Disebutkan dalam Shahih Muslim bahwa makna “Al Wasilah”
pada do’a di atas adalah satu kedudukan di surga yang hanya akan diberikan
kepada satu orang saja.
Ringkasnya,
tawassul secara bahasa memiliki empat makna: mendekatkan diri, berharap,
butuh, dan kedudukan yang tinggi.
Dalam
Al Qur’an, kata “Al Wasilah” terdapat di dua tempat:
[Pertama] di surat Al Maidah ayat 35, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “Al Wasilah” kepada Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)….”
[Pertama] di surat Al Maidah ayat 35, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan carilah “Al Wasilah” kepadaNya dan berjuanglah di jalanNya agar kalian beruntung.”
[Kedua] di surat Al Isra’ ayat 57, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari “Al Wasilah” kepada Rabb mereka, siapakah diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)….”
Dua
ayat di atas, terutama surat Al Maidah ayat 35, sering digunakan oleh sebagian
masyarakat sebagai dalil untuk melakukan tawassul yang terlarang.
Penyebabnya adalah kesalahpahaman dalam menafsirkan kalimat: “Carilah Al
Wasilah kepada-Nya..” Untuk itu, sebelum membahas masalah ini lebih lanjut,
akan dibahas tafsir kalimat tersebut dengan merujuk beberapa pendapat para ahli
tafsir dalam rangka meluruskan pemahaman tentang kalimat di atas.
Tafsir
para ulama tentang makna Al wasilah pada surat Al Maidah ayat 35:
1.
Al
Jalalain, “carilah “Al Wasilah” kepadaNya”, maknanya: “carilah amal
ketaatan yang bisa mendekatkan diri kalian kepada Allah.” (Tafsir Jalalain
surat Al Maidah: 35)
2.
Ibnu
Katsir menukil tafsir dari Qatadah, “Carilah “Al Wasilah” kepadaNya”,
tafsirnya: “mendekatkan diri kepadanya dengan melakukan ketaatan dan amal yang
Dia ridhai.”
3.
Ibnu
Katsir juga menukil tafsir dari Ibnu Abbas, Mujahid, Atha’, Abu Wail, Al Hasan
Al Bashri, Qotadah, dan As-Sudi, bahwa yang dimaksud “Carilah Al Wasilah…”
adalah mendekatkan diri. (Tafsir Ibn Katsir surat Al Maidah ayat 35)
4.
Ibnul
Jauzi menyebutkan di antara tafsir yang lain untuk kalimat, “Carilah al
Wasilah kepadaNya..” adalah carilah kecintaan dariNya. (Zaadul Masir,
surat Al Maidah ayat 35).
5.
Sementara
Al Baidhawi mengatakan bahwa yang dimaksud: “carilah al wasilah kepadaNya…”
adalah mencari sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendekatkan diri
pada pahala yang Allah berikan dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan
maksiat.” (Tafsir Al Baidhawi “Anwarut Tanzil” untuk ayat di atas).
Mengingat
keterbatasan tempat, hanya bisa dinukilkan beberapa pendapat dari kitab tafsir.
Di samping itu, hampir semua ahli tafsir menyampaikan pendapat yang sama dengan
empat kitab tafsir di atas ketika menafsirkan ayat tersebut. Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tafsir yang benar untuk firman
Allah: “Carilah al wasilah kepadaNya…” adalah melakukan segala bentuk
ketaatan yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah dan menjauhi segala
perbuatan maksiat yang bisa menjauhkan diri kita kepada Allah.
Oleh
karena itu, sangat tidak benar jika ayat ini dijadikan dalil untuk melakukan tawassul
yang tidak disyari’atkan atau tawassul bid’ah. Lebih-lebih jika tawassul
tersebut mengandung kesyirikan. Karena kita menyadari bahwa dua perbuatan
di atas, nilainya adalah kemaksiatan kepada Allah. Maka siapa yang melakukan tawassul
dengan tawassul bid’ah atau tawassul yang mengandung
kesyirikan justru dia akan semakin jauh dari Allah. Bukannya dia semakin
dicintai Allah tetapi malah justru mendatangkan murka Allah.
Tawassul
yang disyari’atkan
Berdasarkan
penjelasan tentang pengertian tawassul di atas, dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya setiap ketaatan dan sikap merendahkan diri di hadapan Allah dapat
dijadikan sebagai bentuk tawassul. Namun di sana ada beberapa amal
khusus yang disebutkan dalam dalil untuk dijadikan sebagai bentak bertawassul
kepada Allah, di antaranya:
1)
Melalui asmaul husna
Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya …”
(QS. Al A’raf: 180)
Berdasarkan
ayat tersebut, dianjurkan bagi setiap yang hendak berdo’a untuk memuji Allah
terlebih dahulu dengan menyebut nama-namaNya yang mulia dan disesuaikan dengan
isi do’a. Misalnya do’a minta ampunan dan rahmat, maka dianjurkan untuk
menyebut nama Allah: Al Ghafur Ar Rahiim.
2)
Membaca shalawat
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua do’a tertutupi (tidak
bisa naik ke langit) sampai dibacakan shalawat untuk Nabi Muhammad shallahu
‘alaihi wa sallam.” (HR. At Thabrani dalam Al Ausath dan dihasankan Al
Albani)
3)
Memilih waktu dan tempat mustajab
Ada
beberapa waktu yang mustajab untuk berdo’a, di antaranya:
• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.
• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.
• Waktu antara adzan dan iqamah, berdasarkan hadits, “Do’a di antara adzan dan iqamah tidak ditolak, maka berdo’alah.” (HR. At Tirmidzi dan dishahihkan Al Albani)
• Di akhir shalat fardhu sebelum salam, berdasarkan riwayat ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Kapankah do’a seseorang itu paling didengar?” Beliau menjawab, “Tengah malam dan akhir shalat fardhu.” (HR. At Tirmidzi dan dihasankan Al Albani). Yang dimaksud “akhir shalat fardlu” adalah setelah tasyahud sebelum salam.
• Satu waktu di hari jum’at setelah ‘Ashar, berdasarkan hadits, “Hari jum’at itu ada 12 jam. Di antaranya ada satu waktu yang jika seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah pada waktu tersebut pasti Allah beri. Cari waktu itu di akhir hari setelah ashar.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Hakim dengan disetujui Ad Dzahabi)
Demikian sekelumit penjelasan tentang kesempatan yang baik untuk berdo’a. Masih terlalu banyak keterangan tentang waktu dan tempat yang mustajab untuk berdo’a yang tidak bisa dipaparkan pada kesempatan ini.
4)
Meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
Karena
keshalehan dan kedudukan manusia itu bertingkat-tingkat. Sehingga peluang
terkabulkannya do’a seseorang juga bertingkat-tingkat sebanding dengan
kedekatannya kepada Allah. Oleh karena itu, ada beberapa sahabat yang meminta
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akannya. Namun ada
beberapa hal yang perlu untuk diingat terkait dengan meminta orang lain agar mendo’akannya:
• Hendaknya tidak dijadikan kebiasaan. Atau bahkan dijadikan sebagai ucapan latah ketika ketemu setiap orang. Sering dijumpai ada orang yang setiap ketemu orang lain pasti minta agar dido’akan. Bahkan yang lebih baik dalam hal ini adalah berusaha untuk berdo’a sendiri dan tidak menggantungkan diri dengan meminta orang lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr As Siddiq radhiallahu ‘anhu yang tidak meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendo’akan dirinya.
•
Do’a yang diminta bukan murni masalah dunia dan untuk kepentingan pribadinya.
Semacam lulus tes, banyak rizqi, dan semacamnya. Jika do’a itu untuk
kepentingan pribadinya maka selayaknya yang diminta adalah akhirat. Sebagaimana
yang dilakukan oleh para sahabat dengan meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar dirinya dimasukkan ke dalam surga. Atau, jika do’a itu isinya
kepentingan dunia, maka selayaknya bukan untuk kepentingan pribadinya namun
untuk kepentingan umum, semacam meminta hujan atau keamanan kampung.
5)
Amal shaleh
Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami
mendengar seorang da’i yang mengajak untuk beriman kepada Engkau lalu kami
beriman…” (QS. Ali Imran: 193).
Pada
ayat di atas Allah mengajarkan salah satu cara bertawassul ketika
berdo’a, dengan menyebutkan amal shalih yang paling besar nilainya, yaitu
memenuhi panggilan dakwah seorang nabi untuk beriman kepada Allah.
Masih
banyak bentuk-bentuk tawasul lainnya yang disyari’atkan, namun mengingat
keterbatasan tempat tidak bisa disebutkan. Secara ringkas, tawassul yang
disyariatkan dapat dikelompokkan menjadi tiga:
• Tawassul dengan memuji Allah sambil menyebut asma’ul
husna
• Tawassul dengan meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh. Membaca shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal shaleh.
• Tawassul dengan meminta orang shaleh yang masih hidup untuk mendo’akannya
• Tawassul dengan amal shaleh. Membaca shalawat, memilih waktu yang mustajab, dan semacamnya tercakup dalam amal shaleh.
Tawassul
yang terlarang
Tawassul
yang terlarang adalah menggunakan
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sesuatu yang tidak dijelaskan
oleh syari’at. Tawassul yang terlarang dapat dikelompokkan menjadi dua
macam:
a)
Bertawassul dengan sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syariat.
Tawassul
jenis ini adalah tawassul yang
terlarang, bahkan terkadang menyebabkan timbulnya perbuatan syirik. Misalnya
seseorang bertawassul dengan kedudukan (jaah) Nabi ‘alaihis
shalatu was salam atau kedudukan orang-orang shaleh di sisi Allah. Karena tawassul
semacam ini berarti telah menetapkan sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Karena kedudukan siapa pun di sisi
Allah itu tidak mempengaruhi terkabulnya doa orang lain yang menggunakannya
sebagai sarana tawassul. Kedudukan hanya bermanfaat bagi pemiliknya
bukan orang lain. Kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam di sisi
Allah hanya bermanfaat bagi do’a beliau saja dan bukan do’a orang lain. Maka
do’a kita tidaklah menjadi cepat terkabul hanya gara-gara kita menyebut
kedudukan Nabi ‘alaihis shalatu was salam atau orang shaleh.
Di
antara bentuk tawassul semacam ini adalah tawassul yang dilakukan
sebagian kaum muslimin pada saat membaca shalawat Badr. Dalam shalawat ini
terdapat kalimat, yang artinya: “Kami bertawasul dengan sang pemberi
petunjuk, Rasulullah dan setiap orang yang berjihad di jalan Allah, yaitu
pasukan perang badar.”
Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:
[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassul dengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.
Para ulama menjelaskan bahwa tawassul model semacam ini memiliki dua hukum:
[Pertama] Hukumnya bid’ah, karena tawassul termasuk salah satu bentuk ibadah. Sementara bentuk tawassul dengan cara ini belum pernah dipraktekkan di zaman Nabi ‘alaihis shalatu wa sallam dan para sahabat.
[Kedua]
Jika diyakini dengan menggunakan tawassul jenis ini menyebabkan do’anya
menjadi cepat terkabul maka hukumnya syirik kecil. Karena orang yang
menggunakan kedudukan orang lain di sisi Allah berarti menjadikan sebab
tercapainya sesuatu yang pada hakekatnya itu bukan sebab. Pendek kata, tawassul
ini termasuk kedustaan atas nama syari’at.
Namun,
jika bertawassul dengan menyebut nama Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam akan tetapi maksudnya adalah untuk menunjukkan
keimanannya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti ini
dibolehkan. Karena ini termasuk bertawasul dengan amal shaleh yaitu beriman
kepada nabi.
b)
Tawassul dengan ruh orang shaleh, jin, dan malaikat
Tawassul
jenis kedua ini adalah model tawassul
yang dilakukan oleh orang-orang musyrik jahiliyah. Mereka meng-agung-kan
berhala, kuburan, petilasan orang-orang shaleh karena mereka yakin bahwa ruh
orang shaleh tersebut akan menyampaikan do’anya kepada Allah ta’ala.
Bahkan bentuk tawassul semacam ini merupakan bentuk kesyirikan yang
pertama kali muncul di muka bumi. Kesyirikan yang terjadi pada kaumnya Nabi Nuh
‘alaihi salam. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma
ketika menjelaskan awal terjadinya kesyirikan di saat beliau menafsirkan surat
Al Baqarah ayat 213. Ibnu Abbas mengatakan, “Jarak antara Adam dan Nuh ada 10
abad. Semua manusia berada di atas syariat yang benar (syariat tauhid).
Kemudian mereka berselisih (dalam aqidah). Akhirnya Allah mengutus para Nabi
sebagai pemberi peringatan.”
Ibnu
Abbas juga memberi keterangan tentang nama-nama sesembahan kaum Nuh, Wad,
Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nashr, Ibnu Abbas mengatakan, “Mereka adalah
orang-orang shaleh di zaman Nuh. Ketika mereka mati, setan membisikkan kaum Nuh
untuk memasang batu prasasti di tempat ibadahnya orang-orang shaleh tersebut
dan diberi nama dengan nama mereka masing-masing. Kemudian mereka
melaksanakannya namun batu itu belum disembah. Sampai ketika generasi ini
(kelompok yang memasang batu) telah meninggal dan generasi berikutnya tidak
tahu asal mula batu itu, akhirnya batu itu disembah.”
Demikian
pula, kesyirikan yang dilakukan kaum musyrikin jahiliyah. Mereka meyakini bahwa
Lata, Uzza, Manat, Hubal, malaikat, jin dan beberapa sesembahan lainnya adalah
orang-orang shaleh yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah. Allah
menceritakan jawaban mereka ketika didakwahi untuk meninggalkan perbuatan
tersebut:
1.
Orang-orang
musyrikin mengatakan (yang artinya), “Mereka semua (ruh orang shaleh itu)
adalah para pemberi syafaat bagi kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
2.
Orang-orang
musyrikin mengatakan (yang artinya), “Tidaklah kami beribadah kepada mereka
kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah lebih dekat lagi.”
(QS. Az Zumar:3)
Artinya
orang musyrik tersebut masih meyakini bahwa yang berkuasa mengabulkan do’a
adalah Allah. Sedangkan orang-orang shaleh tersebut hanyalah sarana mereka
untuk berdo’a.
Berdasarkan
keterangan dari dua ayat di atas, ada satu hal penting yang perlu dicatat
bahwasanya menjadikan ruh orang shaleh sebagai wasilah untuk mendekatkan diri
kepada Allah termasuk di antara bentuk beribadah kepada selain Allah yang
nilainya syirik besar dan menyebabkan pelakunya menjadi kafir.
Tanya
Jawab
•
Kita adalah orang kecil yang kedudukannya jauh dari Allah. Maka kita tidak
layak meminta langsung kepada Allah. Sebagaimana rakyat ketika mau meminta raja
maka selayaknya tidak langsung meminta namun melalui menterinya atau orang yang
dekat dengan raja.
Jawab: Orang yang memiliki keyakinan semacam ini berarti
menyamakan antara Allah yang Maha Pemurah dan Maha Mengetahui dengan seorang
raja yang pelit dan buta dengan keadaan rakyatnya. Maha suci Allah terhadap
sikap mereka yang melecehkan ke-Tinggi-an dan ke-Agung-an Allah.
•
Manusia semacam kita banyak berlumuran dosa, maka tidak pantas meminta langsung
kepada Allah. Namun selayaknya melalui perantara wali Allah baik dari kalangan
Malaikat, jin, dan manusia.
Jawab: Pemahaman semacam inilah yang menyebabkan orang-orang
jahiliyah tidak mau berdo’a langsung kepada Allah, tetapi melalui perantara
ruh-ruh orang shaleh yang mereka wujudkan dalam bentuk prasasti. Bahkan mereka
sama sekali tidak mau beribadah kepada Allah dengan menggunakan sarana dari
hasil yang haram. Di antara bukti hal ini adalah:
Pertama, sikap mereka ketika mau membangun ka’bah yang roboh akibat
banjir. Kita kenal bahwa umumnya orang kafir Quraisy adalah para saudagar kaya.
Namun hasil kekayaan mereka bercampur antara yang halal dan yang haram. Ketika
mereka hendak merenovasi ka’bah mereka iuran dengan harta yang diyakini murni
100% halal. Karena harta yang halal itu terbatas maka dana yang terkumpul
kurang. Sehingga mereka tidak bisa merampungkan bangunan ka’bah sebagaimana
sedia kala. Masih ada bagian yang belum dibangun dan kemudian mereka tandai
dengan Hijr (orang mengenalnya dengan hijr Ismail).
Kedua, orang jazirah arab yang bukan penduduk Mekah tidak mau
thawaf di ka’bah dengan pakaian mereka yang sudah digunakan ketika melakukan
maksiat. Mereka hanya bisa thawaf dengan pakaian asli dari penduduk mekah atau
kalau tidak mereka harus thawaf sambil telanjang.
Meskipun
demikian, Allah menilai sikap mereka ketika berdo’a dengan ber-tawassul melalui
ruh orang shaleh sebagai bentuk kesyirikan. Mungkinkah kita namakan perbuatan
ini bukan syirik? Ketentuan siapakah yang lebih baik, Allah ataukah kita?
Semoga
Allah membimbing kita untuk tetap berada dalam ketauhidan dan menjauhkan kita dari
bentuk-bentuk kesyirikan..Amin
Wallahu
A`lam
(Sumber:
http://buletin.muslim.or.id)
0 Comments:
Posting Komentar