PENDAHULUAN
Hadits adalah sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Quran. Banyak dalil dan keterangan yang menunjukkan bahwa betapa hadits memiliki kekuatan hukum dalam pengamalan syari`at Islam. Akan tetapi sudah barang tentu nampak perbedaannya dengan Al-Quran itu sendiri, karena hadits adalah sabda Rasulullah saw yang tidak semuanya bisa diamalkan dikarenakan terdapat juga hadits-hadits yang sifatnya mardud atau tertolak. Sedangkan Al-Quran merupakan hukum qath`i yang bersumber langsung dari Allah swt. Untuk lebih jelas dan mengetahui tentang hadits, kita sama-sama pelajari pengantar ilmu hadits atau mushthalahul hadits. Semoga Allah swt membukakan pintu hati kita untuk mempelajari sumber-sumber hukum Islam.
- Pada awalnya Rasulullah saw melarang para sahabat menuliskan hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-Qur’an.
- Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alshari untuk membukukan hadits.
- Ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Ar-Rabi Bin Shabi dan Said bin Abi Arabah, akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang shahih dengan, dha’if, dan perkataan para sahabat.
- Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-Muwatha di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu Muhammad Abdul Malik Bin Ibnu Juraiz, di Syam oleh imam Al-Auza i, di Kuffah oleh Sufyan At-Tsauri, di Bashrah oleh Hammad Bin Salamah.
- Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad, seperti musnad Na’im ibnu hammad.
- Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shahih Bukhari dan Muslim.
PEMBAHASAN
Ilmu Hadits:
ilmu yang membahas kaidah-kaidah
untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak.
Hadits:
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah
saw, berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan
batiniyah).
Sanad:
Mata rantai perawi yang
menghubungkannya ke matan.
Matan:
Perkataan-perkataan yang dinukil
sampai ke akhir sanad.
PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi hukumnya:
- Hadits Maqbul (diterima): terdiri dari Hadits shahih dan Hadits Hasan
- Hadits Mardud (ditolak): yaitu Hadits dha’if
Penjelasan:
HADITS SHAHIH:
Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat
berikut ini:
- Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
- Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
- Tsiqah (yaitu hapalannya kuat).
- Tidak ada syadz. Syadz adalah seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya.
- Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits shahih: dapat diamalkan
dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN:
Yaitu Hadits yang apabila
perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan shaduq (tingkatannya berada
di bawah tsiqah).
Shaduq: tingkat kesalahannya 50: 50
atau di bawah 60% tingkat ke tsiqahannya. Shaduq bisa terjadi pada seorang
perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu meneliti tingkat
ketsiqahan seorang perawi adalah dengan memberikan ujian, yaitu disuruh
membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu
menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap
tsiqah.
Hukum Hadits Hasan: dapat diamalkan
dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN SHAHIH
Penyebutan istilah Hadits hasan
shahih sering disebutkan oleh imam Tirmidzi. Hadits hasan shahih dapat dimaknai
dengan 2 pengertian:
- Imam Tirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shahih, maka jadilah dia Hadits hasan shahih.
- Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shahih oleh ulama yang lainnya.
HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan
oleh imam Bukhari dan imam Muslim pada kitab shahih mereka masing-masing.
TINGKATAN HADITS SHAHIH
- Hadits muttafaqqun ‘alaihi
- Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Bukhari saja
- Hadits shahih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
- Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada kitab-kitab shahih mereka.
- Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhari
- Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
- Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
Syarat Bukhari dan Muslim:
perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhari dan Muslim dalam shahih
mereka.
HADITS DHA’IF
Hadits yang tidak memenuhi salah
satu/lebih syarat Hadits shahih dan Hasan.
Hukum Hadits dha’if: tidak dapat
diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dha’if kecuali dengan menyebutkan
kedudukan Hadits tersebut. Hadits dha’if berbeda dengan hadits palsu atau
hadits maudhu`. Hadits dha’if itu masih punya sanad kepada Rasulullah SAW,
namun di beberapa rawi ada dha`f atau kelemahan. Kelemahan ini tidak terkait
dengan pemalsuan hadits, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki seorang rawi
dalam masalah dhabit atau al-`adalah. Mungkin sudah sering lupa atau ada
akhlaqnya yang kurang etis di tengah masyarakatnya. Sama sekali tidak ada
kaitan dengan upaya memalsukan atau mengarang hadits.
Yang harus dibuang jauh-jauh adalah
hadits maudhu`, hadits mungkar atau matruk. Dimana hadits itu sama sekali
memang tidak punya sanad sama sekali kepada Rasulullah saw. Walau yang paling
lemah sekalipun. Inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Sedangkan kalau baru
dha`if, tentu masih ada jalur sanadnya meski tidak kuat. Maka istilah yang
digunakan adalah dha`if atau lemah. Meski lemah tapi masih ada jalur sanadnya.
Karena itulah para ulama berbeda
pendapat tentang penggunaan hadits dha`if, dimana sebagian membolehkan untuk
fadha`ilul a`mal. Dan sebagian lagi memang tidak menerimanya. Namun menurut
iman An-Nawawi dalam mukaddimahnya, bolehnya menggunakan hadits-hadits dha’if
dalam fadailul a’mal sudah merupakan kesepakatan para ulama.
Untuk tahap lanjut tentang ilmu
hadits, silakan merujuk pada kitab “Mushthalahul Hadits”
Buat kita orang-orang yang awam
dengan ulumul hadits, tentu untuk mengetahui derajat suatu hadits bisa dengan
bertanya kepada para ulama ahli hadits. Sebab merekalah yang punya kemampuan
dan kapasitas dalam melakukan penelusuran sanad dan perawi suatu hadits serta
menentukan derajatnya.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.
Setiap hadits itu harus ada alur sanadnya dari perawi terakhir hingga kepada Rasulullah SAW. Para perawi hadits itu menerima hadits secara berjenjang, dari perawi di atasnya yang pertama sampai kepada yang perawi yang ke sekian hingga kepada Rasulullah SAW.
Seorang ahli hadits akan melakukan
penelusuran jalur periwayatan setiap hadits ini satu per satu, termasuk riwayat
hidup para perawi itu pada semua level / tabaqathnya. Kalau ada cacat pada
dirinya, baik dari sisi dhabit (hafalan) maupun `adalah-nya (sifat
kepribadiannya), maka akan berpengaruh besar kepada nilai derajat hadits yang
diriwayatkannya.
Sebuah hadits yang selamat dari
semua cacat pada semua jalur perawinya hingga ke Rasulullah SAW, dimana semua
perawi itu lolos verifikasi dan dinyatakan sebagai perawi yang tisqah, maka
hadits itu dikatakan sehat, atau istilah populernya shahih. Sedikit derajat di
bawahnya disebut hadits hasan atau baik. Namun bila ada diantara perawinya yang
punya cacat atau kelemahan, maka hadits yang sampai kepada kita melalui
jalurnya akan dikatakan lemah atau dha`if.
Para ulama mengatakan bila sebuah
hadits lemah dari sisi periwayatannya namun masih tersambung kepada Rasulullah
SAW, masih bisa dijadikan dalil untuk bidang fadhailul a`mal, atau keutamaan
amal ibadah.
Sedangkan bila sebuah hadits
terputus periwayatannya dan tidak sampai jalurnya kepada Rasulullah SAW, maka
hadits ini dikatakan putus atau munqathi`. Dan bisa saja hadits yang semacam
ini memang sama sekali bukan dari Rasulullah SAW, sehingga bisa dikatakan
hadits palsu atau maudhu`. Jenis hadits yang seperti ini sama sekali tidak
boleh dijadikan dasar hukum dalam Islam.
Untuk mengetahui apakah sebuah
hadits itu termasuk shahih atau tidak, bisa dilihat dalam kitab susunan Imam
Al-Bukhari yaitu shahih Bukhari atau Imam Muslim yaitu shahih muslim. Untuk
hadits-hadits dha’if juga bisa dilihat pada kitab-kitab khusus yang disusun
untuk membuat daftar hadits dha’if.
Di masa sekarang ini, para ulama
yang berkonsentrasi di bidang hadits banyak yang menuliskannya, seperti
karya-karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Di antaranya kitab Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah yang berjumlah 11 jilid.
0 Comments:
Posting Komentar