Ilmu
thabaqah merupakan bagian dari ilmu rijalul hadits karena objek yang dijadikan
pembahasannya adalah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits. Hanya saja
masalahnya berbeda. Kalau dalam ilmu rijalul hadits para rawi dibicarakan
secara umum tentang hal ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan
al-hadits dan lain sebagainya, maka dalam ilmu thabaqah, menggolongkan para
rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongan sesuai dengan alat pengikatnya.
Misalnya rawi-rawi yang sebaya umurnya digolongkan dalam satu thabaqah, dan
para rawi yang seperguruan mengikatkan dalam satu thabaqah pula.
1. Ta`rif Thabaqah
Para Ulama memberikan pengertian ilmu thabaqah, yakni
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كُلِّ
جَمَاعَةٍ تَشْتَرِكُ فِ’ أَمْرٍ وَاحِدٍ
“Suatu ilmu
pengetahuan yang dalam pokok pembahasannya diarahkan kepada kelompok
orang-orang yang berserikat dalam satu pengikat yang sama.”
Thabaqat secara bahasa berarti
hal-hal, martabat-martabat, atau derajat-derajat. Seperti halnya tarikh,
thabaqat juga adalah bagian dari disiplin ilmu hadits yang berkenaan dengan
keadaan perawi hadit. Namun keadaan yang dimaksud dalam ilmu thabaqat adalah
keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan
yang dimaksud, antara lain:[3]
a. Bersamaan hidup dalam satu masa
b.
Bersamaan tentang umur
c.
Bersamaan tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya
d.
Bersamaan tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya
Dalam pemahaman thabaqat itu sendiri, thabaqat bisa dijelaskan dengan pandangan-pandangan berikut:[4]
a. Sahabat-sahabat, kalau kita pandang sahabat-sahabat dari urusan persahabatan mereka dengan Nabi SAW saja, dengan tidak memandang pada urusan lain, maka mereka itu semuanya teranggap satu thabaqah.
b. Sahabat-ini juga, jika
ditinjau dari urusan atau hal lain, maka mereka dibagi menjadi 12 thabaqat:
· Thabaqah I: Sahabat-sahabat yang masuk Islam paling awal di Mekah, seperti: Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
· Thabaqah I: Sahabat-sahabat yang masuk Islam paling awal di Mekah, seperti: Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
· Thabaqah II: Sahabat-sahabat yang masuk Islam sebelum orang-orang Quraisy bermusyawarah di Darun-Nadwah.
· Thabaqah III: Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Habasyah, seperti: Utsman, Abu Hurairah, Utbah, dan lainnya.
· Thabaqah IV: Sahabat-sahabat yang ikut berbai’at di Aqabah yang pertama, seperti: Ubadah bin Shamit dan lainnya.
· Thabaqah V: Sahabat-sahabat yang berbai’at di Aqabah yang kedua, seperti: Sa’ad bin Ubadah, Abdullah bin Rawahah, Rafi bin Malik dan lainya.
· Thabaqah VI: Sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama sampai di Quba’, sebelum masuk Madinah.
· Thabaqah VII: Sahabat-sahabat yang terlibat dalam perang Badar, seperti: Abu Zaid, Ubadah bin Shamit, Abu Bakar, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Bilal bin Rabah dan lainnya.
· Thabaqah VIII: Sahabat-sahabat yang hijrah ke Madinah.
· Thabqah IX: Sahabat-sahabat yang berbai’at di Baitur-Ridwan di Hudaibiah, seperti: Salamah bin Akwa dan Abu Sinan al-Asadi.
· Thabaqah X: Sahabat-sahabat yang berhijrah ke Madinah sesudah perjanjian Hudaibiah, seperti: Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.
· Thabaqah XI: Sahabat-sahabat yang masuk Islam di masa penaklukan Mekah, seperti: Harits bin Hisyam dan Utsman bin Amr.
· Thabaqah XII: Anak-anak yang melihat Nabi SAW pada hari penaklukan Mekah, pada hari Haji Wada’, dan lainnya.
c. Tabi’in, kalau dilihat dari urusan mereka sebagai pengikut sahabat-sahabat Nabi SAW dengan tidak memandang pada urusan atau hal lainnya, maka mereka adalah satu thabaqah.
Mengenai thabaqat sahabat, selain dari dua belas pembagian yang telah tersebut sebelumnya, thabaqat ini juga bisa dibagi kedalam tiga bagian apabila memandang dari segi sering berkumpulnya mereka dengan Nabi SAW dan banyaknya mereka meriwayatkan hadits dari beliau SAW, yaitu:[5]
a. Kibarush Shahabat artinya sahabat-sahabat yang besar, yaitu sahabat-sahabat yang banyak berkumpul dengan Nabi SAW dan banyak meriwayatkan hadits dari beliau SAW, seperti: Hanzalah bin Abi Amir al-Anshari, Abu Aiyub, Ubai bin Ka’ab, dan lainnya.
b. Ausatush Shahabat artinya sahabat-sahabat yang pertengahan, yaitu mereka yang tidak begitu sering berkumpul dengan Nabi SAW dan tidak banyak meriwayatkan hadits dari beliau SAW
c. Shigarush Shahabat artinya sahabat-sahabat yang kecil, yaitu mereka yang sedikit sekali berkumpul dengan Nabi SAW dan sedikit meriwayatkan hadits dari beliau SAW, seperti: Abdullah bin Hanzalah, Anas bin Malik, As-Saib bin Yazid, Shafiyah binti Syaibah, dan lainnya.
2. Faidah mempelajari thabaqah
Faidah mempelajari thabaqah sahabat dan tabi`in adalah untuk
mengetahui ke-muttashilan suatu hadits. Sebab suatu hadits tidak dapat
ditentukan sebagai hadits muttashil atau mursal apabila tidak diketahui apakah
thabi`iy yang meriwayatkan hadits dari shahaby itu hidup segenerasi atau tidak.
Kalau seorang tabi`iy itu tidak pernah hidup segenerasi dengan shahaby maka
sudah barang tentu hadits yang diriwayatkannya tidak muttashil atau apa yang
didakwakan sebagai sabda atau perbuatan Nabi itu adalah mursal.
Dengan memahami pembahasan diatas,
sudah sepatutnya bagi kita untuk benar-benar meneliti sebuah hadits yang
dikeluarkan oleh seseorang, terutama hal itu berhubungan dengan sanad dari
sebuah hadits. Karena telah kita ketahui bersama keshahihan sebuah hadits tidak
hanya bergantung pada matannya yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau
hadits lainnya yang mendukung, tetapi secara mutlak matan tersebut akan gugur
apabila sanad dari hadits tersebut banyak mengandung `illat. Semoga kita bisa
terus menggali ilmu pengetahuan terutama masalah ilmu hadits yang akan
memberikan penerangan bagi kita dan penuntun terhadap amaln-amalan kita agar
benar-benar sesuai dengan Sunah Rasulullah saw.
Referensi
· Al-Qaththan, Manna, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka
al-Kaitsar, 2006
· Hasan, A Qadir, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandinug: Diponegoro, 1987
[1] Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kaitsar, 2006, cet. II, hal. 75
· Hasan, A Qadir, Ilmu Mushthalah Hadits, Bandinug: Diponegoro, 1987
[1] Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kaitsar, 2006, cet. II, hal. 75
[2] A Qadir Hasan, Ilmu Mushthalah
Hadits, Bandung: Diponegoro, 1987, cet. III, hal. 394-395
[3] Fatchul Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Al-Ma`arif; Bandung, 1974, hal.301
[4] Ibid., hal. 391
[5] Ibid., hal. 391-393
[6] Ibid., hal. 397
0 Comments:
Posting Komentar