Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

Al-Quran Bukanlah Sya`ir Buatan Manusia

Kata Pengantar

       Pertama-tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kepada Allah swt yang telah memberikan kita begitu banyak nikmat. Nikmar sehat, nikmat iman dan islam. Atas izin-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah qur’an dan hadits dengan tema Al-Qur’an bukan Syair Buatan Manusia.
            Tak lupa shalawat serta salam kepada junjungan kita, nabi akhir zaman, nabi yang diutus untuk semua umat manusia, nabi Mihammad saw. yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan dan kebodohan menuju zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.


            Selanjutnya ucapan terima kasih selayaknya tersampaikan untuk kedua orang tua saya yang telah banyak menolong saya, yang telah memenuhi kebutuhan saya, yang telah memberikan fasilitas serta kasih sayang yang tentunya itu adalah yang utama. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah karena liburan ramadhan selama 3 minggu ini sudah cukup menghapuskan rasa rindu saya kepada keluarga khususnya orang tua saya.
            Alhamdulillah wasyukurillah, akhirnya tugas makalah mata pelajaran qur’an dan hadits ini bisa selesai. Butuh perjuangan juga untuk mengerjakannya. Dari pagi sampai siang, melawan rasa malas dan lelah. Melawan rasa malas itu yang paling utama karena dihadapkan antara dua pilihan, ingin menikmati waktu liburan yang singkat ini sebelum kembali ke medan jihad di MAN Insan Cendekia yang pastisnya akan super duper sibuk karena saya sudah kelas XII sekarang ini atau menyicil mengerjakan THR (Tugas Hari Raya) yang mau tidak mau harus selesai. Akhirul kalam kembali saya ucap syukur Alhamdulillah dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para membaca serta dapat menguatkan iman kita dalam meyakini Al-Qur’an.

Depok, Agustus 2013

Citra Atrina Sari


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Al-Qur’an adalah firman Allah swt yang diturunkan melalui malaikat Jibril, kepada Nabi Muhammad saw, yang mengandung nilai mukjizat sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad saw. Al-Qur’an adalah pembeda antara yang haq dan batil. Al-Qur’an adalah pedoman hidup umat manusia khususnya umat islam. Al-Qur’an adalah kitab yang terjaga keasliannya sampai kapan pun, dan membacanya dinilai sebagai ibadah.
Dalam membaca Al-Qur’an kita bisa merasakan begitu indahnya bahasa Al-Qur’an. Bahkan jika mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an, bunyinya seperti syair yang bagian akhir setiap kalimatnya berakhiran sama atau pelafalannya sama. Seperti surah An-Naas, surah Al-Lail, surah Asy-Syams, surah Al-Buruuj, surah At-Takwir, surah Al-Mudatstsir, dsb. Pelafalannya begitu indah saat didengarkan. Menenangkan hati dan sarat akan makna. Lalu bagaimana susunan bahasa Al-Qur’an yang begitu indah ini? Orang-orang kafir terdahulu menyebutknan Al-Qur’an itu seperti syair buatan manusia. Apakah benar begitu adanya? Untuk itu masalah ini pun menjadi menarik untuk dikaji. Apakah benar kitab yang umat islam yakini adalah buatan manusia atau bukan.Semua itu akan dibahas dalam makalah ini.

B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah dalam makalah ini seperti:
1.      Apa pengertian Al-Qur’an?
2.      Apa dan bagaimana susunan bahasa Al-Qur’an?
3.      Apa yang membuktikan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair buatan manusia?
C.  Tujuan
1.      Mengetahui pengertian Al-Qur’an secara istilah dan bahasa.
2.      Mengetahui bagaimana tata bahasa Al-Qur’an.
3.      Mengethaui apa bukti-bukti bahwa Al-Qur’an bukan syair buatan manusia.

D.  Manfaat Pengkajian
1.      Menguatkan iman sebagai umat islam yang meyakini Al-Qur’an.
2.      Memperjelas dan menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah murni firman Allah bujan syair buatan manusia.
3.      Mengetahui susunan dan tata bahasa Al-Qur’an yang begitu indah.













BAB II
KAJIAN PUSTAKA

  1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” yaitu bentuk mashdar dari kata qara’a yang mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun menjadi satu. Kata Qur’an n dan Qira’ah keduanya merupakan masdar (infinitif) diambil dari kata kerja lampau (Fi’il Madhi) yaitu. Qara’a – Qiraatan – Quranan. Kata Qur’an disebutkan dalam ayat:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَه فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَه
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah: 17-18)
Adapun pengertian Al-Qur’an secara istilah yaitu menurut Abdul Wahhab Khalaf:
Firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw dengan peerntara Jibril dalam bahasa Arab. Dan, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al- Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan, serta terjaga dari perubahan dan pergantian.
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan الــم ialah satu huruf, akan tetapi ا satu huruf, ل satu huruf dan م satu huruf. [HR. Bukhari]
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” [HR.       Bukhari]

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir dengan al-Qur’an bersama malaikat yang mulia, sedang orang yang membaca al-Qur’an dengan tertatih-tatih dan ia bersemangat (bersungguh-sungguh maka baginya dua pahala” [HR. Bukhari-Muslim]

Nama Lain Al-Qur’an
Di dalam al-Qur'an terdapat banyak nama-nama al-Qur'an, diantaranya:
·  Al-Qur'an
Nama yang paling populer adalah al-Qur'an itu sendiri, Allah menyebutkannya 58 kali. Penyebutan berulang-ulang itu menjadi peringatan bagi kita agar Al-Qur'an selain bacaan juga merupakan petunjuk dalam hidup (QS. Al-Baqarah: 185).
·  Al-Kitab
Artinya, wahyu yang tertulis. Menurut Syaikh Abdullah Ad-Diros, penamaan dengan al-Kitab menunjukkan bahwa al-Qur'an tertulis dalam mushaf dan hendaknya melekat di dalam hati. Rasulullah bersabda: “Orang yang di dalam hatinya tidak ada sedikitpun al-Qur'an, bagaikan rumah yang rusak” (Al-Hadits).
·  Al-Huda
Artinya, petunjuk (QS. Al-Baqarah: 2). Sebagai petunjuk (al-Huda) merupakan fungsi utama dari diturunkannya al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 185). Kita tidak dapat menjadikan al-Qur'an sebagai petunjuk jika kita tidak membaca dan memahaminya, serta mengamalkannya dengan baik.
·  Rahmah
Berarti rahmat, terutama bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-Isra’: 82).
·  Nur
Berarti cahaya penerang. Konsekuensi dari pemahaman ini adalah dengan menjadikan al-Qur'an sebagai cahaya yang menerangi jalan hidup kita (QS. Al-Ma-idah: 15-16). Kita melihat tuntunan al-Qur'an, kemudian melangkah dengan tuntunan itu.
·  Ruh
Berarti ruh sebagai penggerak (QS. An-Nahl: 2). Ruh menggerakkan jasad manusia. Dengan nama ini Allah SWT ingin agar al-Qur'an dapat menggerakkan langkah dan kiprah manusia. Terutama perannya untuk memberikan peringatan kepada seluruh manusia bahwa tidak ada Ilah selain Allah.
·  Syifa’
Berarti obat (QS. Yunus: 57). Al-Qur'an merupakan obat penyakit hati dari kebodohan, musyrik, kekafiran dan munafik.
·  Al-Haq
Berarti kebenaran (QS Al-Baqarah: 147).
·  Bayan
Berarti penjelasan atau penerangan (QS. Ali-Imran: 138; Al-Baqarah: 185).
·  Mauizhoh
Berarti pelajaran dan nasehat (QS. Ali-Imran: 138).

·  Dzikr
Berarti yang mengingatkan (QS. Al-Hijr: 9).
·  Naba’
Berarti berita (QS. An-Nahl: 89). Di dalam al-Qur'an memuat berita-berita umat terdahulu dan umat yang akan datang.
Definisi-definisi di atas mengisyaratkan bahwa:
1.      Apa yang diwahyukan Allah dalam maknanya kemudian dipahami dalam bahasa Rasulullah, tidaklah dinamai Al-Qur’an.
2.      Alih bahasa Al-Qur’an ke dalam bahasa lain selain Arab dengan maksud memudahkan pemahaman atau maksud lainnya tidaklah disebut Al-Qur’an.
3.      Wahyu Allah yang diturunkan kepada selain Muhammad saw. bukanlah Al-Qur’an.

  1. Susunan dan Tata Bahasa Al-Qur’an
Al Quran diturunkan di tanah Arab yang pada saat itu sangat menghargai sastra. Al Quran turun dengan gaya bahasa yang tinggi yang tidak mampu ditandingi siapapun. Dan hal ini  pun diakui oleh musuh-musuh Islam saat itu, seperti ucapan Al Walid bin Mughirah salah seorang tokoh pembesar Quraisy: “Demi Allah, ini bukanlah syair dan bukan sihir serta bukan pula igauan orang gila, dan sesungguhnya ia adalah Kalamullah yang memiliki kemanisan dan keindahan. Dan sesungguhya ia (al-Qur’an) sangat tinggi (agung) dan tidak yang melebihinya”. [Ibnu Katsir juz 4 hal 443].
Atau dalam redaksi lain sebagaimana ditulis Syaikh Syafiurrahman Al Mubarakfuri dalam kitab Sirohnya “Demi Allah! Sesungguhnya ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan indah. Akarnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah kalian menuduhnya dengan salah satu dari hal tersebut melainkan akan diketahui kebatilannya.
Menurut Atlas Budaya Islam karya syahid dan syahidah Ismail Faruqi dan Lois Lamya Faruqi, ada 8 keindahan bahasa Al-Qur’an, berikut adalah uraian singkatnya.
1. Pertama
Al-Qur’an bukan syair, bukan sajak. Syair adalah bait-bait mantra (jumlah, panjang, posisi suku kata) dan sajaknya (konsonan dan vokalisasi suku terakhir) identik. Sajak adalah prosa yang kalimat dan frasenya ditandai dengan sajak diseluruh komposisinya. Al-Qur’an tidak menyerupai keduanya, tetapi memanfaatkan keduanya dengan leluasa untuk mengembangkan tujuannya. Karena itu kategori baru harus ditentukan untuk menggolongkan Al-Qur’an di luar syair dan prosa yaitu “ Al natsr al muthlaq” (mutlak bebas dari prosa).
2. Kedua
Al-Qur’an tersusun dari kata dan frase yang sangat sesuai maknanya. Artikulasinya benar dan sempurna. Perubahan, bagaimanapun kecilnya , berarti perubahan yang lebih buruk. Tidak satu katapun boleh hilang, yang akan menghancurkan aliran dan makna ayat.
3. Ketiga
Kata-kata dan frase dalam Al-Qur’an untuk satu ayat, atau satu bagian ayat, sebanding atau kontras sama sekali dengan kata dan frase ayat sebelumnya atau sesudahnya, baik dalam susunan maupun maknanya. Aliran kata-katanya dengan demikian melahirkan tekanan dan harapan besar, serta ketenangan dan kedamaian. Kualitas komposisi Al-Qur’an ini disebut “tawazun” atau keseimbangan, dan komposisi ini berlaku dalam bentuk maupun dalam kadungan teks, untuk point ini bisa direnungkan mengapa ayat puasa 183-185, lalu sesudahnya ada 1 ayat – 186 tentang doa yang sangat berbeda dimana ayat 187 juga masih tentang puasa? Kalau mengkaji pendapat Faruqi, rasanya beliau benar. Ayat 186 tentang doa dan betapa dekatnya Allah SWT melahirkan “tekanan dan harapan besar”.
4. Keempat
Kata dan frase Al- Qura’n mengungkapkan makna terkaya dan terkuat dalam bentuk tersingkat. Bisa dibaca arti tentang ayat sedekah misalnya, mulai dari QS 2 :261 – 274. Sedekah termasuk dibahas secara panjang dan istimewa di Al-Baqarah, mencakup 14 ayat. Mulai balasan sedekah seperti satu biji yang berlipat menjadi tujuh tangkai, tiap tangkai ada seratus biji (2:261) atau seperti kebun di dataran tinggi yang bahkan hanya disirami embun saja berbuah lebat, apalagi hujan (2 : 265). Sedekah ini harus yang terbaik (2 : 267) tetapi dilarang menyakitkan hati si penerima, misalnya denga berkata “lha, elo lagi, elo lagi! Mintaaa melulu, apa gak ada usaha sama sekali?”
Sedekah bisa berupa perkataan yang baik dan pemberian maaf (2 : 263), tidak mesti materi. Al-Qur’an menunjukkan sifat manusiawi insan, suatu saat ingin memperlihatkan/mengumumkan sedekah tidak apa-apa (2:271). Infaq, sedekah siang malam, sembunyi atau terang, semuanya dapat pahala (2 :274).
Dengan 14 ayat, sedekah bisa memiliki makna yang sedemikian luas dan dalam! Bahkan sedekah selain mencari ridha Allah, juga untuk meneguhkan hati seseorang seperti QS. Al-Baqarah: 275. Insya Allah sedekah dapat memperteguh jiwa seseorang saat mengambil keputusan pelik.
5. Kelima
Tamsil dan kiasan Al-Qur’an, konjungsi dan disjungsi konsep dan petunjuknya, mengandung daya tarik. Tamsil dan kiasan ini menimbulkan imajinasi yang begitu besar kekuatannya sehingga membuatnya terengah-engah karena terguncang dan terpesona.
Untuk kualitas Quran yang unik ini, ahli estetika sastra Arab menciptakan istilah “badi’”- kreatif secara sublime. Pernah membayangkan “jannah/firdaus” seperti apa? Pernah membayangkan “malapetaka langit” seperti apa? Seperti tertulis dalam Al-Qur’an pada QS 2 : 59? Rasanya kita menjadi terengah-engah dan terpesona oleh keindahan surgawi sekaligus tak berani membayangkan murkaNya.


6. Keenam
Komposisi Al-Qur’an selalu tepat, terjalin baik, disampaikan benar, seperti karya seni yang sempurna mutlak. Aliran dan susunannya sama sekali bebas kendala atau kelemahan-kelemahan.
7. Ketujuh
Gaya Al-Qur’an kuat, empatik, tegas; juga lancar dan halus. Orang yang membaca Al-Qur’an merasakan jatuh menimpa dirinya seperti batu karang atau dengan kelembutan yang luarbiasa. Inilah yang disebut “husn al-iqa” (keindahan yang menimpa kesadaran).
Apakah ia berbisaik seperti aliran yang tenang, menghantam seperti aliran deras, atau melompat dan menerjang dengan cepat seperti serbuan pasukan berkuda yang pasti iqa’- nya selalu sempurna.
Saat kita sedang malas membaca Al-Qur’an., tetapi kalau sudah dilawan keinginan itu, lalu timbul minat membaca Al-Qur’an, rasanya pasti tidak mau berhenti. Bahkan, saat malam larut bisa tahan lama bercengkrama dengan Al-Qur’an. Tentang aliran yang menghantam seperti aliran deras, merasa tertimpa batu karang atau kelembutan yang luarbiasa. Coba kita bayangkan kepedihan Nabi Musa as: membawa bani Israil melawan Firaun, menyebrang laut Merah, memintakan Allah SWT agar menampakkan diri-Nya, memasuki negeri Palestina, memintakan hidangan-hidangan yang diminta, memukulkan batu agar keluar 12 mata air. Semua dilakukan Nabi Musa as demi kecintaannya pada Bani Israil tetapi balasan yang didapatkan dari ummatnya adalah penentangan, bahkan untuk seekor sapi betina.
8. Kedelapan
Komposisi Quran tidak mempunyai struktur pengertian umum. Komposisi Quran menggabungkan bentuk sekarang, lampau, akan datang, dan kalimat perintah dalam halaman yang sama. Komposisi Quran bergerak dari pembicaraan orang ketiga yang bersifat melaporkan kepada orang kedua yang menerima. Dari deskriptif ke normatif, dari pertanyaan ke seruan dan perintah. Komposisi Quran berulang, meski dalam setiap pengulangannya terkandung pesan yang berbeda. Aliran Quran melahirkan momentum yang mengalahkan sikap keras kepala pendengarnya, kepicikan pendengarnya dengan serangan yang beraneka ragam dan pada akhirnya membawa pendengarnya ke tujuan Al Quran.
Setelah menelaah ada 8 keindahan bahasa Al-Qur’an, berikut rincian tentang bahasa AL-Qur’an yang Insya Allah menggugah hati kita bahwa betapa indahnya Al-Qur’an. Tidak ada yang menandinginya karena Al-Qur’an itu adalah murni firman-firman Allah. (Lihat Cultural Atlas of Islam, bab 19)
Persajakan
Hampir seluruh ayat-ayat makkiyah menyerupai untaian bait-bait syair, yang salah satu cirinya ialah adanya kesamaan qafiyah (rima). Sekedar sebagai contoh, kita bisa melihat surat Al-Naas, Al-Ikhlash, Al-Qadr, Al-Syams, dan Al-Qadr. Hal lain yang cukup menarik ialah  bahwa dalam kebanyakan ayat pergantian sajak senantiasa dibarengi pergantian tema (kalau dalam prosa, mirip dengan pergantian paragraf).  
Keseimbangan Panjang Ayat
Sekedar sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Alam Nasyrah atau Al-Syams. Panjang ayat yang satu dan yang lainnya bisa dikatakan seimbang atau sama. Apabila untaian ayat-ayat tersebut dilantunkan, keseimbangan panjang ayat tersebut akan menghasilkan irama yang sangat nikmat.
Paralelisme dan Keseimbangan Irama Antar Ayat
Contoh : QS Al-Zalzalah ayat 7-8
فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ×
 ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره ×
Repetisi (perulangan)
Repetisi yang dimaksudkan disini mempunyai beberapa bentuk. Yang pertama ialah repetisi kata, seperti yang terdapat pada awal surat Al-Nazi’at, Al-Mursalat, dan Al-Waqi’ah.
Awal surat Al-Nazi’at :
و النشطات نشطا ×
 و السبحت سبحا ×
 فالسبقت سبقا × 
Awal surat Al-Mursalat :
فالعصفت عصقا ×
 و النشرت نشرا ×
 فالفرقت فرقا ×
Awal surat Al-Waqi’ah :
 اذا وقعت الواقعة ×…….×
 اذا رجت الأرض رجا × و بست الجبال بسا ×
Bentuk  yang lain ialah repetisi kalimat, seperti contoh berikut ini.
كلا سوف تعلمون × ثم كلا سوف تعلمون×  (QS. At-Takatsur: 3-4)
فان مع العسر يسرا × ان مع العسر يسرا ×  (QS. Asy-Syarh: 5-6)
Bentuk-bentuk repetisi tersebut tidak hanya menyatakan penegasan dari sisi makna, namun juga menghasilkan keindahan dari sisi irama.


Kecermatan Makna Pada Diksi (Pilihan Kata)
Sebagai contoh, kata Rabb, Ilah, dan lafzhul jalalah Allah, tidaklah bisa dipertukarkan begitu saja satu sama lain. Kata Rabb, misalnya, digunakan dalam konteks bahwa Allah ingin menunjukkan fungsi tarbiyahnya. Demikian seterusnya.
Contoh lain ialah penggunaan kata bani Adam, al-insaan, al-basyar, dan al-naas. Masing-masing dari kata tersebut tidak dapat dipertukarkan begitu saja karena masing-masing memiliki makna khasnya sendiri-sendiri.
Demikian juga antara kata bashara dan nazhara, antara al-‘afw, al-ghufraan, al-mushaafahah, dan al-kaffaarah, antara hamma dan araada, antara al-wudd (al-mawaddah), al-hubb, dan al-rahmah, antara Al-Bashiir, Al-‘Aliim dan Al-Khabiir, dan sebagainya.
Pemakaian Huruf-huruf Dalam Kata yang Sangat Representatif Terhadap Makna atau Suasana Makna
Sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Al-Naas. Rima dan dominasi huruf siin disana menggambarkan suasana hati yang diliputi rasa was-was. Demikian pula kalau kita perhatikan QS. Al-Qiyamah ayat 26-30 berikut ini.
كلا اذا بلغت التراقى × 
( Sekali-kali tidak. Apabila nafas telah [mendesak] sampai ke kerongkongan) 
و قيل من _ راق ×
(Dan dikatakan kepadanya: “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”)
و ظن أنه الفراق ×
(Dan dia yakin bahwa itulah saat perpisahan)
و التفت الساق بالساق ×
(Saat bertaut betis [kiri] dengan betis [kanan])
الى ربك يومئذ المساق ×
(Kepada Rabb-mu pada hari itu kamu dihalau)
Rima dan dominasi huruf qaaf disitu menggambarkan suasana sesak di saat-saat sakaratul maut ! Bayangkan sebuah belati bergerigi tajam yang ditusukkan kedalam daging lalu ditarik kembali !!
Dari sini pula, kita menjadi paham betapa pentingnya menjaga makhraj dan sifat huruf saat membaca Al-Qur’an. Kesalahan dalam makhraj dan sifat huruf bukan hanya bisa menimbulkan perubahan makna namun juga bisa menghilangkan suasana maknanya sebagaimana yang kita lihat dalam beberapa contoh diatas.
Kontradiksi
Gaya bahasa kontradiksi banyak dipakai dalam Al-Qur’an, misalnya antara orang beruntung dan orang yang malang, antara mukmin dan kafir, antara surga dan neraka, dan sebagainya. Sebagai contoh, perhatikan kontradiksi yang disuguhkan mengenai orang yang menerima kitab dengan tangan kanan versus orang yang menerima kitab dengan tangan kiri atau dari belakang dalam QS. Al-Haaqqah ayat 19-37 dan QS. Al-Insyiqaq ayat 7 - 15.
Sebagai contoh lain, mari kita perhatikan QS. Al-Ghaasyiyah ayat 2 sampai 16 yang menyuguhkan kontradiksi antara wajah berseri orang-orang beriman dan wajah muram orang-orang kafir. Contoh-contoh yang lain bisa kita cari sendiri tersebar dalam lembaran-lembaran mushaf.
Gaya bahasa kontradiksi mempunyai efek yang kuat dan mendalam pada jiwa. Jiwa kita mengalami cita rasa yang berubah secara drastis, dari senang lalu tiba-tiba gembira, dari takut lalu tiba-tiba berharap, dan seterusnya. Bentuk lain kontradiksi ialah seperti yang terlihat pada ayat-ayat sumpah yang dialektik. Perhatikan QS Al-Syams ayat 1-6 berikut ini.

والشمس وضحها × والقمر اذا تلها ×
 والنهار اذا جلها × واليل اذا يغشها ×
والسماء وما بنها × والأرض وما طحها ×
Pada ayat-ayat diatas, kita melihat kontradiksi antara matahari dan bulan (ayat 1-2), antara siang dan malam (ayat 3-4), lalu antara langit dan bumi (ayat 3 sampai 4).
Keselarasan Antara Tempo dan Makna atau Suasana Makna
Salah satu cara Al-Qur’an dalam menunjang makna yang ingin disampaikan ialah dengan menggunakan tempo yang sesuai. Mari kita perhatikan bagaimana Allah menyebut Hari Kiamat dalam Al-Qur’an. Disana kita menjumpai bahwa Hari Kiamat disebut dengan kata الطامة, الصاخة  atau الحاقة . Irama kata-kata tersebut panjang melenakan sekaligus membuat penasaran ada apa sesudahnya, diikuti dengan sentakan atau hentakan yang berat (ditandai dengan tasydid). Irama tersebut menggambarkan peristiwa Hari Kiamat yang kapan datangnya tidak ada yang tahu disamping manusia memang seringkali terlena dan lupa akan datangnya hari yang pasti tersebut. Namun begitu ia datang, kehadirannya begitu mengagetkan, dahsyat, dan serentak. Sebagai contoh lain, mari kita perhatikan awal-awal surat At-Takwir dan Al-Infithar. QS. Al-Infithar ayat 2-3:
اذا السماء انفطرت× واذا الكواكب انتثرت
Kata (انفطرت) dan (انتثرت) pada kedua ayat tersusun atas banyak huruf namun tidak mengandung bacaan madd sama sekali. Yang demikian itu menggambarkan bahwa peristiwa Hari Kehancuran berlangsung sangat cepat, sehingga mengagetkan setiap orang. Begitu ia datang, maka ia tidak bisa dibendung lagi.
Agar adil, mari kita lihat juga tempo lambat pada QS. Al-Fajr ayat 27 –30.
يأيتها النفس المطمئنة ×
 ارجعى الى ربك راضية مرضية ×
 فا دخلى فى عبادى ×
و ادخلى جنتى ×
Ghunnah ( pada nun dan mim) dan madd (dengan alif atau ya) membuat tempo jadi lambat, yang menimbulkan nuansa tenang, kalem, dan lembut, seperti ucapan seseorang terhadap kekasihnya.
Dari pemahaman kita tentang tempo, kita pun akan sadar betapa pentingnya menjaga madd, tasydid, dan ghunnah saat membaca Al-Qur’an. Pengabaian terhadap hal-hal tersebut bukan hanya bisa menimbulkan perubahan makna namun juga bisa mengurangi suasana makna sebagaimana terlihat pada beberapa contoh diatas.
Penggambaran yang Sangat Hidup dan Berkesan
Sayyid Quthb menyebut gaya bahasa ini sebagai  التصوير الفنى (penggambaran artistik). Penggambaran merupakan instrumen utama dalam gaya bahasa Al-Qur’an. Ia berusaha menampilkan makna-makna abstrak dalam bentuk gambaran yang dapat diindera, nyata, hidup, aktual, berwarna-warni, dan bergerak. Diantara bentuk penggambaran yang banyak ditemui dalam Al-Qur’an ialah permisalan dan cerita dialog. Dengan adanya penggambaran, seseorang yang membaca atau mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an akan terlena dengan segenap imajinasinya, sehingga ia merasa benar-benar menyaksikan secara nyata atau bahkan merasa berada di tengah-tengah peristiwa yang ada, lupa bahwa yang dibaca atau didengar ternyata hanyalah susunan huruf atau lafazh saja. Tentang hal ini, Sayyid Quthb mengatakan,”Disini (dalam Al-Qur’an) ada kehidupan dan bukan kisah tentang kehidupan”.
Keselarasan Antara Obyek Sumpah dan Tema yang Mengikutinya
Sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Al-Dhuha. Disana Allah bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam. Waktu dhuha yang terang dan indah, waktu malam yang gelap dan menimbulkan kesempitan jiwa. Ayat-ayat berikutnya mengetengahkan permulaan, kedukaan, keyatiman, kebingungan, dan kekurangan yang identik dengan waktu malam. Sebaliknya, akhiran, keridhaan, asuhan, petunjuk, dan kecukupan identik dengan waktu dhuha.
Beberapa Contoh dari Aspek-aspek Balaghah yang Lain
Dalam hal ini, kita hanya akan mencoba melihat gaya bahasa hiperbolik dan pengalihan kata ganti secara mendadak. (al-iltifaat), yang sudah sering dibahas dalam buku-buku balaghah.
Sebagai contoh bagi gaya bahasa hiperbolik, mari kita perhatikan QS Maryam ayat 4, yang melukiskan keadaan Nabi Zakaria yang sudah lanjut usia: واشتعل الرأس شيبا
اشتعل  artinya telah menyala karena terbakar rata, berfungsi sebagai fi’il. الرأس  artinya kepala, berfungsi sebagai fa’il. شيبا artinya uban, berfungsi sebagai tamyiz dimana yang menjadi mumayyaz  ialah  الرأس . (اشتعل الرأس شيبا) artinya ‘Kepalanya menyala karena putih ubannya’. Tatkala sampai pada اشتعل الرأس)), orang akan bertanya,”Kepalanya menyala?” Maka diucapkanlah (شيبا), “Ya, karena  putih  ubannya”.  Susunan seperti ini menimbulkan   efek hiperbolik.  Berbeda  halnya    jika kita  mengubahnya   menjadi  اشتعل شيب الرأس)) (Uban di kepalanya menyala). Yang terakhir ini tidak mesti berarti bahwa seluruh rambutnya beruban. Lain halnya dengan          (اشتعل الرأس شيبا), yang mengesankan bahwa seluruh rambut di kepalanya telah memutih tanpa ada sehelai pun yang masih hitam.
Mengenai iltifaat, orang-orang yang tidak memahami keindahan dan keunikan sastra Arab telah meniupkan syubhat bahwa hal tersebut menunjukkan inkonsistensi Al-Qur’an dalam hal kata ganti atau sudut pandang Sang Penutur. Namun bagi mereka yang paham, iltifaat sebagai gaya bahasa Al-Qur’an justru telah mampu menimbulkan efek yang luar biasa. Diantara efek itu ialah menarik perhatian dan memberikan efek imajinasi yang hidup dan dinamis.




  1. Al-Qur’an Bukanlah Syair Buatan Manusia

Terpelihara Keasliannya
Al Quran adalah satu-satunya kitab di dunia yang sempurna dan terpelihara keasliannya, karena  sendirilah yang memeliharnya, sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (al-Hijr : 9)
Al Quran adalah satu-satunya kitab yang menantang manusia kafir untuk membuat yang semisalnya. Di dalam al Quran ada empat kali dan tahapan penantangan kepada manusia.
1.      Allah menantang untuk membuat yang seperti al quran, sebagaimana tertera dalam surat Ath Thur 33-34
2.      Allah merendahkan tantanganNya, yaitu hanya beberapa surat saja, tertera dalam Surat Hud 13
3.      Allah menantang yang ketiga kalinya,yang lebih ringan dari sebelumnya.Dengan hanya membuat satu surat saja. Hal ini tertera dalam Al Qur’an surat  Yunus 38
4.      Dan tantangan yang inipun,mereka tak sanggup memenuhinya.Maka Allah menantang dengan tantangan yang terakhir yang paling ringan.Yaitu,mendatangkan semisal ayat-ayat Al Qur’an. Hal ini tercantum dalam surat Al Baqoroh ayat 23.
Upaya-upaya untuk memalsukan Al Quran ataupun membuat yang semisal dengan Al Quran telah dilakukan oleh orang-orang kafir sejak zaman dahulu, namun usaha-usaha itu tak pernah berhasil. Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang ingin menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat Al-‘Ash turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika Musailamah Al-Kadzab berjumpa dengan ‘Amr bin Ash, Musailamah bertanya : “Surat apa yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.” “Coba bacakan kepadaku surat itu!”
Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?” Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. (Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.)” Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi , engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.”
Di saat yang lain Musailamah Al Kadzab mencoba meniru surat Al Fiil dengan surat yang dikarangnya “Alfiil, maal fiil, wa maa adrakamaal fiil, lahu dzanabun wabiilun, wa khurthuumun thawiil” yang artinya: “Gajah. Tahukah anda gajah?Apakah gajah itu?Dan tahukah anda apakah gajah itu? Ia berekor pendek & berbelalai panjang”. Lucu sekali bukan?
Di era modern ini upaya pemalsuan Al Quran juga dilakukan dengan lebih gencar, salah satunya yaitu penerbita Al Quran Palsu pada tahun 2009 yang dilakukan oleh Penerbit asal Amerika, Omega 2001 dan One Press dengan judul  hard cover “Furqanul Haq” dalam huruf Arab dan “True Furqan” dalam huruf Latin. Dan usaha ini pun gagal total.
Al-Qur’an bukan syair, bukan sajak. Syair adalah bait-bait mantra (jumlah, panjang, posisi suku kata) dan sajaknya (konsonan dan vokalisasi suku terakhir) identik. Sajak adalah prosa yang kalimat dan frasenya ditandai dengan sajak diseluruh komposisinya. Al-Qur’an tidak menyerupai keduanya, tetapi memanfaatkan keduanya dengan leluasa untuk mengembangkan tujuannya. Karena itu kategori baru harus ditentukan untuk menggolongkan Al-Qur’an di luar syair dan prosa yaitu “ Al natsr al muthlaq” (mutlak bebas dari prosa).
Hampir seluruh ayat-ayat makkiyah menyerupai untaian bait-bait syair, yang salah satu cirinya ialah adanya kesamaan qafiyah (rima). Sekedar sebagai contoh, kita bisa melihat surat Al-Naas, Al-Ikhlash, Al-Qadr, Al-Syams, dan Al-Qadr. Hal lain yang cukup menarik ialah  bahwa dalam kebanyakan ayat pergantian sajak senantiasa dibarengi pergantian tema (kalau dalam prosa, mirip dengan pergantian paragraf).  
Sekedar sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Alam Nasyrah atau Al-Syams. Panjang ayat yang satu dan yang lainnya bisa dikatakan seimbang atau sama. Apabila untaian ayat-ayat tersebut dilantunkan, keseimbangan panjang ayat tersebut akan menghasilkan irama yang sangat nikmat. Seperti yang sudah dibahas pada poin B tentang tata bahasa Al-Qur’an, ternyata Al-Qur’an benar-benar indah bahasanya. Seperti syair yang sangat indah jika ditelaah. Beberapa poin tersebut diantaranya yaitu Persajakan, Keseimbangan Panjang Ayat, Repetisi (perulangan), Paralelisme dan Keseimbangan Irama Antar Ayat, Kecermatan makna pada diksi (pilihan kata), Keselarasan Antara Tempo dan Makna atau Suasana Makna, Keselarasan Antara Obyek Sumpah dan Tema yang Mengikutinya, Pemakaian Huruf-huruf Dalam Kata yang Sangat Representatif Terhadap Makna atau Suasana Makna, semua hal itu menunjukkan keselarasan dalam bahasa Al-Qur’an. Seperti syair yang indah. Namun dengan bahasa yang indah tersebut Al-Qur’an bukanlah buatan manusia, tetapi itu semua adalah asli firman Allah. Itulah kebesaran Allah. Mampu menciptakan bahasa yang begitu indah yang manusia manapun tidak dapat menandinginya.
Sebelumnya pembicaraan tentang wahyu datang dalam awal surat. "Yaa siin. Demi Al-Quran yang penuh hikmah, Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul, (yang berada) di atas jalan yang lurus, (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu mmberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah di beri peringatan, krn itu mereka lalai." (Yaasiin : 1-6).
Kemudian pembicaraan yang sama datang di akhir-akhir surat.
وَمَا عَلَّمْنَٰهُ ٱلشِّعْرَ وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌۭ وَقُرْءَانٌۭ مُّبِينٌۭ ﴿٩٦﴾
"Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.” (Yaasiin : 69)

Ada kaum yang menuduh bahwa Nabi Saw hanyalah seorang penyair, dan mengatakan bahwa al-quran yang dibawa Beliau itu adalah syair. Pada dasarnya para pembesar Quraisy tidak meragukan bahwa masalahnya bukan seperti yang mereka tuduhkan itu. Juga mereka tidak meragukan bahwa apa yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah suatu ucapan yang tidak biasa dalam bahasa mereka. Mereka juga tidak sedang ngelindur sehingga tak dapat membedakan al-quran dgn syair.
Tapi, apa yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari perang opini yang mereka gerakkan untuk melawan agama ini dan untuk menjatuhkan nama pembawanya, nabi Muhammad saw di tengah masyarakat. Tuduhan itu mereka sandarkan pada keindahan redaksi al-quran yang memberikan pengaruh. Dengan harapan, gambaran masyarakat umum akan menjadi rancu antara al-quran ini dengan syair, ketika mereka menghadapi redaksi alquran dan ajaran yang ada dialamnya.
Di sini, Allah menafikan bahwa Dia mengajarkan syair kepada Rasululloh. Dan jika Allah tidak megajarkan syair, berarti Beliau (Muhammad) tidak tahu syair. Karena seseorang tidak mengetahui sesuatu kecuali apa yang diajarkan Allah. Dan ternyata Allah juga menafikan kepantasan syair bagi Rasulullah, "...Dan bersyair itu tidaklah layak baginya..."
Karena syair mempunyai metode lain yang berbeda dengan manhaj kenabian. Syair  adalah buah emosi dan ungkapan terhadap emosi ini. Sedangkan emosi selalu berubah-ubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Sementara kenabian adalah wahyu dan berdiri di atas manhaj yang konstan. Di atas jalan yang lurus. Mengikuti namus Allah yang tsabit yang mengatur seluruh wujud ini. Sehingga tidak berubah-ubah dan tidak dipengaruhi  oleh hawa nafsu yang timbul, seperti berubahnya syair mengikuti emosi yang slalu berubah dan tak pernah diam pada satu titik.
Kenabian adalah hubungan permanen dengan Allah, menerima secara langsung wahyu dari Allah, dan usaha terus-menerus untuk mengembalikan kehidupan kepada Allah. Sementara itu dalam bentuknya yang tertinggi syair adalah ungkapan kerinduan manusia kepada keindahan dan kesempurnaan yang disertai dengan pelbagai kekurangan manusia dan pola pandangnya yang terbatas sesuai dengan terbatasnya perangkat pengetahuan dan kesiapan jiwanya. Namun, ketika syair turun dari bentuk-bentukya yang tinggi, maka ia berubah menjadi ungkapan emosi dan keinginan yang bisa turun terus hingga hanya menjadi teriakan tubuh, dan ungkapan gelegak daging dan darah!
Maka, tabiat kenabian dengan syair itu secara mendasar berbeda, Karena syair itu, dlm bentuknya yang paling tinggi adalah kerinduan yang naik dari bumi. Sedangkan kenabian pada intinya adalah petunjuk yang turun dari langit.
Dalam surat Yaasiin ayat 69 juga disebutkan bahwa Al-quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Pelajaran dan qur'an, keduanya merupakan sifat bagi satu hal. Sebagai pelajaran sesuai dengan fungsinya, dan kitab  bacaan ketika dibaca. Ia adalah dzikir kepada Allah yang mengisi hati, dan kitab yang dibaca dengan lidah, dan ia diturunkan untuk menunaikan tugas tertentu.
"Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir," (Yaasiin : 70)
Begitu juga kisah Utbah bin Rabi’ah yang diutus kaumnya untuk meminta Rasulullah menghentikan dakwahnya. Ketika dia berjumpa dengan Rosulullah dan kemudian dibacakan Surat Al Fushilat 1-5 maka tersentuhlah jiwanya, dan ketika kembali ke kaumnya dia berkata “yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu perkataan yang demi  Allah belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allah! Ia bukan syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! Wahai kaum qurays! Patuhilah aku, serahkan urusan ini kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan……”
Tak sedikit pula yang menguraikan bahwa bahasa Arab dipelihara oleh Al Qur’an. Keunikan bahasa Al Qur’an (bukanlah bahasa sehari-hari), namun dengan bahasa ini, yang terpilih menjadi bahasa pengantar Allah kepada manusia. Tentu dijadikan karena memiliki keunggulan yang sulit ditandingi oleh bahasa-bahasa lainnya. Keindahan dalam terjemahan atau asli, nampak dalam rentetan yang dibahas terbatas dalam forum-forum sempit, karena juga kedalamannya yang tak tertandingi. Bukan hanya kemudahan diingat dan dilantunkan, juga berada pada kedalaman struktur, keseimbangan , dan tatanan informasi yang sulit dibandingkan dalam dunia tata tulis manusia sampai kini. Mari kita lihat keindahan seperti syair berikut:

Qul A-’uu-dzu birabbin-naaaas
Malikin-naas
Ilaa-hhin-naas
Min syarril was waasil khonnaas
Alla-dzii yuwaswisu-fii shuduurin-naas
Minal jinnati wan-naas
Pada banyak surat lainnya, tak mudah merasakan keindahan syair jika tidak dalam bahasa aslinya. Penerjemahan, bagaimanapun akan membuat, boleh jadi kehilangan nuansa keindahannya kalau ketepatan penerjemahan dalam ragam bahasa tak berhasil ditampilkan.
Juga kalau kita membaca surat Al Falaq, At Takaatsur, Ar Rahman, dan banyak lagi terasa nuansa syair sebagai salah satu perwujudan keindahan kata yang membuat takjub pendengarnya. Apalagi di masa awal kehadirannya di tanah Arab. Keindahan bahasa itu juga terekam pada karya-karya terjemahan. Ketepatan komposisi bahasa adalah satu keniscayaan sehingga Walid bin Mugirah berkata kepada Abu Jahal (yang memusuhi Nabi) setelah menemui Nabi : “Apa yang harus kukatakan?. Demi Allah, di antara kamu tak ada seorang pun yang lebih tahu dari aku tentang syair, rajaz dan qasidah-nya dan tentang syair-syair jin. Demi Allah, apa yang dikatakan Muhammad itu sedikit pun tidak serupa …. Ucapannya itu sungguh tinggi, tak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa yang ada di bawahnya.
Al-Qur`an adalah kalamullah, firman Allah Swt, ia bukanlah kata-kata manusia, bukan pula kata-kata jin, setan, atau malaikat. Al-Qur`an bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan olah Allah Swt dalam Al-Qur`an Surah An-Najm ayat 3-4.

Mari kita bahas lebih lanjut tentang Al-Qur’an yang pada hakikatnya bukanlah syair buatan nabi Muhammad yang juga hanya manusia biasa seperti kita. Sebagaimana yang kita ketahui di dalam Alqur’an terdapat kosa-kata الشعر  (syair),الشا عر  (penyair) dan الشعراء  (para penyair). Kata-kata syi’ri (syair) di sebut satu kali di dalam konteks menjelaskan bahwasanya Allah swt tidak pernah mengajarkan syair kepada Rasulullah saw, Dan ayat tersebut juga menjelaskan tidak layaknya Rasullah sebagai penyair ,sebagaimana firman Allah di dalam surah Yaasiin ayat 69 seperti yang sudah dituliskan di atas. Imam Ibnu Kasyir di dalam tafsirnya menjelaskn bahwa kalimat  وما ينبغي له  (Dan bersyair itu tidak pantas bagi Raulullah saw) maksudnya: Bahwa bersyair  bagi Rasullullah bukan tabiatnya dan bukan pula karakteristiknya.

Imam Abu Zar’atirrazi mengatakan:Tiada keturunan Abdul Muttalib di lahirkan melainkan  ahli dalam bersyair  kecuali  Baginda Rasulullah saw.
Di dalam Surat Atthur Allah menceritakannya tentang  penghinaan  orang-orang yang keras kepala kepada Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah di dalam Alqur’an:

أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ
‘’Bahkan mereka mengatakan: ‘’dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya.’’ (QS. Ath-Thur: 30)

Allah pun marah dan menegaskan tentang orang-orang kafir tersebut, bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad, lalu Allah melanjutkan:
أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَامُهُمْ بِهَٰذَا ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 32)
أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ ۚ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman.” (QS. Ath-Thur: 33)

فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. Ath-Thur: 34)


Terdapat kata-kata
الشا عر  (penyair) empat kali di sebut di dalam Surat Al-Ambiya’ ayat 5 yang mana ayat tersebut menjelaskan dan menceritakan perkataan orang kafir kepada Al-Qur’an dan menceritakan tentang tuduhan orang –orang yang keras kepala kepada Nabi Muhammad SAW.Tentang hal ini Allah befirman dalam  Al-Qur’an:
بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِآيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ
“Bahkan Mereka berkata pula “(Alqur’an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut malah  diada-adakan,bahkan dia sendiri seorang penyair,maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu Mu’jizat sebagaimana Rasul-rasul yang telah lalu di utus”

Di dalam Surat Al-Haqqah terdapat  penafian (peniadaan) makna atau  bentuk dan sifat kalimat Alqur’an itu bukan syair dan ayat tersebut juga menjelaskan bahwa baginda Rasulullah bukan seoran penyair. Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:      
                       
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
‘’Sesungguhnya Alqu’an itu adalah benar-benar wahyu( Allah yang di turunkan) kepada Rasul  yang mulia.” (QS. Al-Haqqah: 40)
وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ
“Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.” (QS. Al-Haqqah: 41)
وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran dari padanya.” (QS. Al-Haqqah: 42)


تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Ia (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Haqqah: 43)

Ayat tersebut  menjelaskan  tentang penafian doktrin bagi orang yang mengatakan bahwa Alqur’an  itu  syair, dan ayat itu juga menerangankan tentang Baginda Rasulullah saw. bukanlah  seorang penyair, bukan pula soarang tukang tenung, dan perlu anda ketahui ayat-ayat tersebut diatas   bukan menjelaskan tentang hukum  secara lizatihi,melainkan ayat-ayat itu menunjukkan  bahwa Al-Qur’an itu  lebih indah maknanya dan kata-katanya lebih ijaz dari syair, dan juga Alqur’an  itu lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya di bandingkan dengan  syair. Bukan itu saja, Alqur’an lebih agung dari segala sesuatu yang ada di dunia fana ini.
Adapun kata
الشعراء (para penyair) terdapat dalam Surat Asy-Syu’ara’ Ayat 224-227 yang artinya sebagai berikut:
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ 224

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.” (QS. Asy-Syu’ara’: 224)


أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
“Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di setiap lembah,”(QS. Asy-Syu’ara’: 225)
وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
“Dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?” (QS. Asy-Syu’ara’: 226)

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ
 يَنْقَلِبُونَ
“Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman (karena menjawab puisi-puisi orang-orang kafir). Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS. Asy-Syu’ara’: 227)

Ayat di atas kita ketahui sebagian kelompok penyair Arab dahulu membiasakan dirinya menghiasi keburukan, kejelekaan  dan kebohongan  dengan untaian kata-katanya  yang baik lagi indah, sehingga nampak keburukan itu baik, dan kejelekan itu kelihatan indah dan juga kebohongan itu seakan-akan benar, sehingga setiap orang yang mendengar perkataannya  terhipnotis, terpukau dan terbuai dengan syair-syairnya  itu.
Azzujaj mengatakan:’’Sesungguhnya penyair itu  apabila menghina  dan mengejek apa yang tidak di perbolehkan ,maka mereka itu termasuk golongan yang menyesatkan.’’
Demikian juga apabila memuji dengan berlebihan maksudnya pujiannya terlalu jauh dari kenyataan,itu juga termasuk kaum yang menyesatkan, kemudian Allah menyifati para penyair dengan firmannya:’’Bahwa mereka mengembala di tiap-tiap lembah’’. Dalam hal ini Ibnu Abbas berkata: ’’Setiap perkataan yang tidak berguna ,itu termasuk menjerumuskan orang ke lembah kebohongan. Imam Hasan Basri mengatakan:’’ Demi Allah tiada saya melihat para penyair kecuali  mencaci maki orang dengan kata-katanya,dan tiada saya melihat para penyair kecuali memuji  alias lebai dengan syair-syairnya, dan firman Allah swt.yang artinya : Dan sesungguhnya mereka mengatakan apa yang mereka tidak kerjakan.maksudnya “Mereka selalu berbohong dengan syairnya.” dan sifat para penyair tersebut sebagaimana yang kita ketahui bukan maksud secara maknawi, bukan menjelaskan tentang hukum boleh atau tidaknya syair, tetapi ayat tersebut memaparkan dan menjelaskan tentang pembelaan Allah terhadap kitabnya dan Rasulnya, dan ayat itu juga menjelaskan mulianya Al-Qur’an dan Rasulnya dari pekerjaan Tukang tenung, penyihir dan penyair.

Oleh karena itu Ibnu Kasyir menafsirkan ayat tersebut: ’’Sesungguhnya Allah menurunkan Alqur’an bukanlah perkataan Tukang Tenung dan bukan pula seorang penyair ,melainkan untuk menghapus dan menghilangkan semua doktrin itu’’.
Ayat
224 menjelaskan para Penyair tidak semua sesat, tetapi ayat tersebut menjelaskan sebagian kelompok  para penyair  yang menyeru  kepada hal-hal yang negatif, kemudian di  lanjutkan dengan ayat 227, nah ayat ini menjelaskan bahwa bukan semua para penyair  tersesat, tapi  yang  di maksud  dengan orang-orang sesat itu identik dengan kelompok pertama yaitu orang-orang Mekah yang kafir yang mana ketika itu menghina dan mencaci maki Rasulullah dengan syair-syairnya, dan waktu itu juga  kebanyakan para penyair belum masuk  islam, dan kelompok kedua yaitu kaum Anshor maksudnya penyair Madinah yang mana para penyair ini membela Rasulullah dengan syair-syairnya dan meninggikan agamanya  dengan untaian kata-katanya,misalnya dalam perang supaya  pasukan muslim bersemangat dan berkobar  jiwanya ketika berhadapan dengan musuh,para penyair membuat syair Hamasah(syair pembakar jiwa) dan masih banyak contoh syair yang lain yang akan di jelaskan panjang lebar pada Sikap Rasulullah tentang Syair.
Kesimpulan ayat di atas menjelaskan tentang penghinaan Al-Qur’an terhadap para penyair yang menjerumuskan manusia kejalan yang batil dan para penyair yang suka bersilat lidah alias  berbohong dengan syair-syairnya, dan adapun para penyair yang menyeru kepada amar ma’ruf nahi munkar, maka penyair yang kayak ini tidak di haramkan melainkan di anjurkan.

Kita bisa menemukan Sikap Rasulullah tentang  syair begitu banyak bentuk apresiasinya terhadap syair, sebagaimana yang kita ketahui pada umumnya Rasulullah memperbolehkan mendendangkan syair dan mendengarkannya. Dari bentuk sikap apresiasinya terhadap syair baik berupa pujian dan kekaguman beliau kepada seorang penyair, Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw. bersabda: ’’Paling benar kalimat yang di lantunkan orang Arab yaitu syair Lubaid yang mengatakan:

الا كل شيء ما خلا الله وكل نعيم لا محا لة زا ئل
Ketahuilah semua sesuatu apa yang selain Allah adalah batil, dan segala  macam
bentuk nikmat tiada yang abadi.


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan

1.      Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan” yaitu bentuk mashdar dari kata qara’a yang mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun menjadi satu. Secara istilah, Firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw dengan peerntara Jibril dalam bahasa Arab. Dan, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al- Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke generasi, baik secara lisan maupun tulisan, serta terjaga dari perubahan dan pergantian.
2.      Tata bahasa Al-Qur’an sangatlah indah, tidak ada yang bisa menandinginya karena itu adalah firman Allah. Al-Qur’an bukan syair tapi merupai syair karena tatanan bahasanya yang begitu indah dari segi persajakan, keseimbangan panjang ayat, repetisi (perulangan), paralelisme dan keseimbangan irama antar ayat, kecermatan makna pada diksi (pilihan kata), keselarasan antara tempo dan makna atau suasana makna, keselarasan antara obyek sumpah dan tema yang mengikutinya, penggambaran yang sangat hidup dan berkesan, serta pemakaian huruf-huruf dalam kata yang sangat representatif terhadap makna atau suasana makna.
3.      Al-Qur’an bukanlah buatan atau karangan nabi Muhammad yang nota bene hanya seorang manusia. Allah pun telah menegaskan berkali-kali dalam Al-Qur’an yaitu diantaranya dalam surat Yaasiin ayat 69-70, surat Al-Anbiya ayat 5, surat Ath-Thur ayat 30-34, surat Al-Haqqah ayat 40-43, surat Asy-Syua’ara ayat 224-227. Allah pun juga mengatakan orang-orang kafir yang menganggap Al-Qur’an adalah syair buatan manusia, maka akan mendapat azab-Nya.
  1. Saran
Untuk makalah lain yang ingin membahas tentang Al-Qur’an bukan syair buatan manusia, sebaiknya lebih dikaji mendalam tentang tema tersebut. Bisa juga mengupas tuntas dari surat Yaasiin ayat 69-70, surat Al-Anbiya ayat 5, surat Ath-Thur ayat 30-34, surat Al-Haqqah ayat 40-43, surat Asy-Syua’ara ayat 224-227. Terutama surat Asy-Syu’ara karena surat tersebut mempunyai arti para penyair. Disitulah lebih banyak dibahas tentang tema makalah ini. Bisa juga disertakan dan dibahas asbabun nuzulnya.



Daftar Pustaka

Buku Fiqih kelas XII


Penulis: Citra Atrina Sari, Siswi Kelas XII IPA 2,
MAN Insan Cendekia Gorontalo

Share:

Related Posts:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer