Pertama-tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kepada
Allah swt yang telah memberikan kita begitu banyak nikmat. Nikmar sehat, nikmat
iman dan islam. Atas izin-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah qur’an dan
hadits dengan tema Al-Qur’an bukan Syair Buatan Manusia.
Tak lupa shalawat serta salam kepada
junjungan kita, nabi akhir zaman, nabi yang diutus untuk semua umat manusia,
nabi Mihammad saw. yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan dan
kebodohan menuju zaman yang terang benderang seperti sekarang ini.
Selanjutnya ucapan terima kasih
selayaknya tersampaikan untuk kedua orang tua saya yang telah banyak menolong
saya, yang telah memenuhi kebutuhan saya, yang telah memberikan fasilitas serta
kasih sayang yang tentunya itu adalah yang utama. Terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Allah karena liburan ramadhan selama 3 minggu ini sudah
cukup menghapuskan rasa rindu saya kepada keluarga khususnya orang tua saya.
Alhamdulillah wasyukurillah,
akhirnya tugas makalah mata pelajaran qur’an dan hadits ini bisa selesai. Butuh
perjuangan juga untuk mengerjakannya. Dari pagi sampai siang, melawan rasa
malas dan lelah. Melawan rasa malas itu yang paling utama karena dihadapkan
antara dua pilihan, ingin menikmati waktu liburan yang singkat ini sebelum
kembali ke medan jihad di MAN Insan Cendekia yang pastisnya akan super duper
sibuk karena saya sudah kelas XII sekarang ini atau menyicil mengerjakan THR
(Tugas Hari Raya) yang mau tidak mau harus selesai. Akhirul kalam kembali saya
ucap syukur Alhamdulillah dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para membaca
serta dapat menguatkan iman kita dalam meyakini Al-Qur’an.
Depok,
Agustus 2013
Citra Atrina Sari
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an
adalah firman Allah swt yang diturunkan melalui malaikat Jibril, kepada Nabi
Muhammad saw, yang mengandung nilai mukjizat sebagai bukti kebenaran atas
kenabian Muhammad saw. Al-Qur’an adalah pembeda antara yang haq dan batil.
Al-Qur’an adalah pedoman hidup umat manusia khususnya umat islam. Al-Qur’an
adalah kitab yang terjaga keasliannya sampai kapan pun, dan membacanya dinilai
sebagai ibadah.
Dalam
membaca Al-Qur’an kita bisa merasakan begitu indahnya bahasa Al-Qur’an. Bahkan
jika mendengar lantunan ayat suci Al-Qur’an, bunyinya seperti syair yang bagian
akhir setiap kalimatnya berakhiran sama atau pelafalannya sama. Seperti surah
An-Naas, surah Al-Lail, surah Asy-Syams, surah Al-Buruuj, surah At-Takwir,
surah Al-Mudatstsir, dsb. Pelafalannya begitu indah saat didengarkan.
Menenangkan hati dan sarat akan makna. Lalu bagaimana susunan bahasa Al-Qur’an
yang begitu indah ini? Orang-orang kafir terdahulu menyebutknan Al-Qur’an itu
seperti syair buatan manusia. Apakah benar begitu adanya? Untuk itu masalah ini
pun menjadi menarik untuk dikaji. Apakah benar kitab yang umat islam yakini
adalah buatan manusia atau bukan.Semua itu akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan
rumusan masalah dalam makalah ini seperti:
1.
Apa
pengertian Al-Qur’an?
2.
Apa
dan bagaimana susunan bahasa Al-Qur’an?
3.
Apa
yang membuktikan bahwa Al-Qur’an bukanlah syair buatan manusia?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian Al-Qur’an secara istilah dan bahasa.
2.
Mengetahui
bagaimana tata bahasa Al-Qur’an.
3.
Mengethaui
apa bukti-bukti bahwa Al-Qur’an bukan syair buatan manusia.
D. Manfaat Pengkajian
1. Menguatkan iman sebagai umat islam
yang meyakini Al-Qur’an.
2. Memperjelas dan menegaskan bahwa
Al-Qur’an adalah murni firman Allah bujan syair buatan manusia.
3.
Mengetahui susunan dan tata bahasa Al-Qur’an yang begitu indah.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
- Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut
bahasa berarti “bacaan” yaitu bentuk mashdar dari kata qara’a yang
mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun menjadi satu. Kata Qur’an n
dan Qira’ah keduanya merupakan masdar (infinitif) diambil dari kata
kerja lampau (Fi’il Madhi) yaitu. Qara’a – Qiraatan – Quranan. Kata
Qur’an disebutkan dalam ayat:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَه فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَه
“Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah: 17-18)
Adapun pengertian
Al-Qur’an secara istilah yaitu menurut Abdul Wahhab Khalaf:
Firman Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah Saw dengan peerntara Jibril dalam bahasa Arab.
Dan, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan
menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada Allah. Ia
terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al- Fatihah dan diakhiri dengan
surat An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke
generasi, baik secara lisan maupun tulisan, serta terjaga dari perubahan dan
pergantian.
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ
حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ
أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari
al-Qur’an maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan dilipatgandakan
menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan الــم
ialah satu huruf, akan tetapi ا satu huruf, ل satu huruf dan م
satu huruf. [HR. Bukhari]
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang
belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” [HR. Bukhari]
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir dengan al-Qur’an bersama
malaikat yang mulia, sedang orang yang membaca al-Qur’an dengan tertatih-tatih
dan ia bersemangat (bersungguh-sungguh maka baginya dua pahala” [HR.
Bukhari-Muslim]
Nama Lain Al-Qur’an
Di
dalam al-Qur'an terdapat banyak nama-nama al-Qur'an, diantaranya:
· Al-Qur'an
Nama
yang paling populer adalah al-Qur'an itu sendiri, Allah menyebutkannya 58 kali.
Penyebutan berulang-ulang itu menjadi peringatan bagi kita agar Al-Qur'an
selain bacaan juga merupakan petunjuk dalam hidup (QS. Al-Baqarah: 185).
· Al-Kitab
Artinya,
wahyu yang tertulis. Menurut Syaikh Abdullah Ad-Diros, penamaan dengan al-Kitab
menunjukkan bahwa al-Qur'an tertulis dalam mushaf dan hendaknya melekat di
dalam hati. Rasulullah bersabda: “Orang yang di dalam hatinya tidak ada
sedikitpun al-Qur'an, bagaikan rumah yang rusak” (Al-Hadits).
· Al-Huda
Artinya,
petunjuk (QS. Al-Baqarah: 2). Sebagai petunjuk (al-Huda) merupakan fungsi utama
dari diturunkannya al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 185). Kita tidak dapat menjadikan
al-Qur'an sebagai petunjuk jika kita tidak membaca dan memahaminya, serta
mengamalkannya dengan baik.
· Rahmah
Berarti
rahmat, terutama bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-Isra’: 82).
· Nur
Berarti
cahaya penerang. Konsekuensi dari pemahaman ini adalah dengan menjadikan
al-Qur'an sebagai cahaya yang menerangi jalan hidup kita (QS. Al-Ma-idah: 15-16).
Kita melihat tuntunan al-Qur'an, kemudian melangkah dengan tuntunan itu.
· Ruh
Berarti
ruh sebagai penggerak (QS. An-Nahl: 2). Ruh menggerakkan jasad manusia. Dengan
nama ini Allah SWT ingin agar al-Qur'an dapat menggerakkan langkah dan kiprah
manusia. Terutama perannya untuk memberikan peringatan kepada seluruh manusia
bahwa tidak ada Ilah selain Allah.
· Syifa’
Berarti
obat (QS. Yunus: 57). Al-Qur'an merupakan obat penyakit hati dari kebodohan,
musyrik, kekafiran dan munafik.
· Al-Haq
Berarti
kebenaran (QS Al-Baqarah: 147).
· Bayan
Berarti
penjelasan atau penerangan (QS. Ali-Imran: 138; Al-Baqarah: 185).
· Mauizhoh
Berarti
pelajaran dan nasehat (QS. Ali-Imran: 138).
· Dzikr
Berarti
yang mengingatkan (QS. Al-Hijr: 9).
· Naba’
Berarti
berita (QS. An-Nahl: 89). Di dalam al-Qur'an memuat berita-berita umat
terdahulu dan umat yang akan datang.
Definisi-definisi
di atas mengisyaratkan bahwa:
1. Apa yang diwahyukan Allah dalam
maknanya kemudian dipahami dalam bahasa Rasulullah, tidaklah dinamai Al-Qur’an.
2. Alih bahasa Al-Qur’an ke dalam
bahasa lain selain Arab dengan maksud memudahkan pemahaman atau maksud lainnya
tidaklah disebut Al-Qur’an.
3. Wahyu Allah yang diturunkan kepada
selain Muhammad saw. bukanlah Al-Qur’an.
- Susunan
dan Tata Bahasa Al-Qur’an
Al Quran diturunkan di
tanah Arab yang pada saat itu sangat menghargai sastra. Al Quran turun dengan
gaya bahasa yang tinggi yang tidak mampu ditandingi siapapun. Dan hal ini
pun diakui oleh musuh-musuh Islam saat itu, seperti ucapan Al Walid bin
Mughirah salah seorang tokoh pembesar Quraisy: “Demi Allah, ini bukanlah syair
dan bukan sihir serta bukan pula igauan orang gila, dan sesungguhnya ia adalah
Kalamullah yang memiliki kemanisan dan keindahan. Dan sesungguhya ia
(al-Qur’an) sangat tinggi (agung) dan tidak yang melebihinya”. [Ibnu Katsir juz
4 hal 443].
Atau dalam redaksi lain
sebagaimana ditulis Syaikh Syafiurrahman Al Mubarakfuri dalam kitab Sirohnya
“Demi Allah! Sesungguhnya ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan indah.
Akarnya ibarat tandan anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah
kalian menuduhnya dengan salah satu dari hal tersebut melainkan akan diketahui
kebatilannya.
Menurut Atlas Budaya
Islam karya syahid dan syahidah Ismail Faruqi dan Lois Lamya Faruqi, ada 8
keindahan bahasa Al-Qur’an, berikut adalah uraian singkatnya.
1. Pertama
Al-Qur’an bukan syair,
bukan sajak. Syair adalah bait-bait mantra (jumlah, panjang, posisi suku kata)
dan sajaknya (konsonan dan vokalisasi suku terakhir) identik. Sajak adalah
prosa yang kalimat dan frasenya ditandai dengan sajak diseluruh komposisinya. Al-Qur’an
tidak menyerupai keduanya, tetapi memanfaatkan keduanya dengan leluasa untuk
mengembangkan tujuannya. Karena itu kategori baru harus ditentukan untuk
menggolongkan Al-Qur’an di luar syair dan prosa yaitu “ Al natsr al muthlaq”
(mutlak bebas dari prosa).
2. Kedua
Al-Qur’an tersusun dari
kata dan frase yang sangat sesuai maknanya. Artikulasinya benar dan sempurna.
Perubahan, bagaimanapun kecilnya , berarti perubahan yang lebih buruk. Tidak
satu katapun boleh hilang, yang akan menghancurkan aliran dan makna ayat.
3. Ketiga
Kata-kata dan frase dalam
Al-Qur’an untuk satu ayat, atau satu bagian ayat, sebanding atau kontras sama
sekali dengan kata dan frase ayat sebelumnya atau sesudahnya, baik dalam
susunan maupun maknanya. Aliran kata-katanya dengan demikian melahirkan tekanan
dan harapan besar, serta ketenangan dan kedamaian. Kualitas komposisi Al-Qur’an
ini disebut “tawazun” atau keseimbangan, dan komposisi ini berlaku dalam bentuk
maupun dalam kadungan teks, untuk point ini bisa direnungkan mengapa ayat puasa
183-185, lalu sesudahnya ada 1 ayat – 186 tentang doa yang sangat berbeda
dimana ayat 187 juga masih tentang puasa? Kalau mengkaji pendapat Faruqi, rasanya
beliau benar. Ayat 186 tentang doa dan betapa dekatnya Allah SWT melahirkan
“tekanan dan harapan besar”.
4. Keempat
Kata dan frase Al- Qura’n
mengungkapkan makna terkaya dan terkuat dalam bentuk tersingkat. Bisa dibaca
arti tentang ayat sedekah misalnya, mulai dari QS 2 :261 – 274. Sedekah
termasuk dibahas secara panjang dan istimewa di Al-Baqarah, mencakup 14 ayat.
Mulai balasan sedekah seperti satu biji yang berlipat menjadi tujuh tangkai,
tiap tangkai ada seratus biji (2:261) atau seperti kebun di dataran tinggi yang
bahkan hanya disirami embun saja berbuah lebat, apalagi hujan (2 : 265).
Sedekah ini harus yang terbaik (2 : 267) tetapi dilarang menyakitkan hati si
penerima, misalnya denga berkata “lha, elo lagi, elo lagi! Mintaaa melulu,
apa gak ada usaha sama sekali?”
Sedekah bisa berupa
perkataan yang baik dan pemberian maaf (2 : 263), tidak mesti materi. Al-Qur’an
menunjukkan sifat manusiawi insan, suatu saat ingin memperlihatkan/mengumumkan
sedekah tidak apa-apa (2:271). Infaq, sedekah siang malam, sembunyi atau
terang, semuanya dapat pahala (2 :274).
Dengan 14 ayat, sedekah
bisa memiliki makna yang sedemikian luas dan dalam! Bahkan sedekah selain
mencari ridha Allah, juga untuk meneguhkan hati seseorang seperti QS.
Al-Baqarah: 275. Insya Allah sedekah dapat memperteguh jiwa seseorang saat
mengambil keputusan pelik.
5. Kelima
Tamsil dan kiasan Al-Qur’an,
konjungsi dan disjungsi konsep dan petunjuknya, mengandung daya tarik. Tamsil
dan kiasan ini menimbulkan imajinasi yang begitu besar kekuatannya sehingga
membuatnya terengah-engah karena terguncang dan terpesona.
Untuk kualitas Quran yang unik ini, ahli estetika sastra Arab menciptakan istilah “badi’”- kreatif secara sublime. Pernah membayangkan “jannah/firdaus” seperti apa? Pernah membayangkan “malapetaka langit” seperti apa? Seperti tertulis dalam Al-Qur’an pada QS 2 : 59? Rasanya kita menjadi terengah-engah dan terpesona oleh keindahan surgawi sekaligus tak berani membayangkan murkaNya.
Untuk kualitas Quran yang unik ini, ahli estetika sastra Arab menciptakan istilah “badi’”- kreatif secara sublime. Pernah membayangkan “jannah/firdaus” seperti apa? Pernah membayangkan “malapetaka langit” seperti apa? Seperti tertulis dalam Al-Qur’an pada QS 2 : 59? Rasanya kita menjadi terengah-engah dan terpesona oleh keindahan surgawi sekaligus tak berani membayangkan murkaNya.
6. Keenam
Komposisi Al-Qur’an
selalu tepat, terjalin baik, disampaikan benar, seperti karya seni yang
sempurna mutlak. Aliran dan susunannya sama sekali bebas kendala atau
kelemahan-kelemahan.
7. Ketujuh
Gaya Al-Qur’an kuat,
empatik, tegas; juga lancar dan halus. Orang yang membaca Al-Qur’an merasakan
jatuh menimpa dirinya seperti batu karang atau dengan kelembutan yang
luarbiasa. Inilah yang disebut “husn al-iqa” (keindahan yang menimpa
kesadaran).
Apakah ia berbisaik seperti aliran yang tenang, menghantam seperti aliran deras, atau melompat dan menerjang dengan cepat seperti serbuan pasukan berkuda yang pasti iqa’- nya selalu sempurna.
Apakah ia berbisaik seperti aliran yang tenang, menghantam seperti aliran deras, atau melompat dan menerjang dengan cepat seperti serbuan pasukan berkuda yang pasti iqa’- nya selalu sempurna.
Saat kita sedang malas membaca
Al-Qur’an., tetapi kalau sudah dilawan keinginan itu, lalu timbul minat membaca
Al-Qur’an, rasanya pasti tidak mau berhenti. Bahkan, saat malam larut bisa
tahan lama bercengkrama dengan Al-Qur’an. Tentang aliran yang menghantam
seperti aliran deras, merasa tertimpa batu karang atau kelembutan yang
luarbiasa. Coba kita bayangkan kepedihan Nabi Musa as: membawa bani Israil
melawan Firaun, menyebrang laut Merah, memintakan Allah SWT agar menampakkan
diri-Nya, memasuki negeri Palestina, memintakan hidangan-hidangan yang diminta,
memukulkan batu agar keluar 12 mata air. Semua dilakukan Nabi Musa as demi
kecintaannya pada Bani Israil tetapi balasan yang didapatkan dari ummatnya
adalah penentangan, bahkan untuk seekor sapi betina.
8. Kedelapan
Komposisi Quran tidak
mempunyai struktur pengertian umum. Komposisi Quran menggabungkan bentuk
sekarang, lampau, akan datang, dan kalimat perintah dalam halaman yang sama.
Komposisi Quran bergerak dari pembicaraan orang ketiga yang bersifat melaporkan
kepada orang kedua yang menerima. Dari deskriptif ke normatif, dari pertanyaan
ke seruan dan perintah. Komposisi Quran berulang, meski dalam setiap
pengulangannya terkandung pesan yang berbeda. Aliran Quran melahirkan momentum
yang mengalahkan sikap keras kepala pendengarnya, kepicikan pendengarnya dengan
serangan yang beraneka ragam dan pada akhirnya membawa pendengarnya ke tujuan
Al Quran.
Setelah menelaah ada 8 keindahan bahasa
Al-Qur’an, berikut rincian tentang bahasa AL-Qur’an yang Insya Allah menggugah
hati kita bahwa betapa indahnya Al-Qur’an. Tidak ada yang menandinginya karena
Al-Qur’an itu adalah murni firman-firman Allah. (Lihat Cultural Atlas of
Islam, bab 19)
Persajakan
Hampir
seluruh ayat-ayat makkiyah menyerupai untaian bait-bait syair, yang salah satu
cirinya ialah adanya kesamaan qafiyah (rima). Sekedar sebagai
contoh, kita bisa melihat surat Al-Naas, Al-Ikhlash, Al-Qadr, Al-Syams, dan
Al-Qadr. Hal lain yang cukup menarik ialah bahwa dalam kebanyakan ayat
pergantian sajak senantiasa dibarengi pergantian tema (kalau dalam prosa, mirip
dengan pergantian paragraf).
Keseimbangan
Panjang Ayat
Sekedar sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Alam Nasyrah
atau Al-Syams. Panjang ayat yang satu dan yang lainnya bisa dikatakan seimbang
atau sama. Apabila untaian ayat-ayat tersebut dilantunkan, keseimbangan panjang
ayat tersebut akan menghasilkan irama yang sangat nikmat.
Paralelisme
dan Keseimbangan Irama Antar Ayat
Contoh : QS Al-Zalzalah ayat 7-8
فمن يعمل مثقال ذرة خيرا يره ×
ومن يعمل مثقال ذرة شرا يره ×
Repetisi
(perulangan)
Repetisi
yang dimaksudkan disini mempunyai beberapa bentuk. Yang pertama ialah repetisi
kata, seperti yang terdapat pada awal surat Al-Nazi’at, Al-Mursalat, dan
Al-Waqi’ah.
Awal
surat Al-Nazi’at :
و النشطات نشطا ×
و السبحت سبحا ×
فالسبقت سبقا ×
Awal surat Al-Mursalat :
فالعصفت عصقا ×
و النشرت نشرا ×
فالفرقت فرقا ×
Awal surat Al-Waqi’ah :
اذا وقعت الواقعة ×…….×
اذا رجت الأرض رجا × و بست الجبال بسا ×
Bentuk yang lain ialah repetisi kalimat, seperti contoh
berikut ini.
كلا سوف تعلمون × ثم كلا سوف تعلمون×
(QS. At-Takatsur: 3-4)
فان مع العسر يسرا × ان مع العسر يسرا
× (QS. Asy-Syarh:
5-6)
Bentuk-bentuk
repetisi tersebut tidak hanya menyatakan penegasan dari sisi makna, namun juga
menghasilkan keindahan dari sisi irama.
Kecermatan
Makna Pada Diksi (Pilihan Kata)
Sebagai
contoh, kata Rabb, Ilah, dan lafzhul
jalalah Allah, tidaklah bisa dipertukarkan begitu saja satu sama
lain. Kata Rabb,
misalnya, digunakan dalam konteks bahwa Allah ingin menunjukkan fungsi
tarbiyahnya. Demikian seterusnya.
Contoh
lain ialah penggunaan kata bani Adam, al-insaan, al-basyar,
dan al-naas.
Masing-masing dari kata tersebut tidak dapat dipertukarkan begitu saja karena
masing-masing memiliki makna khasnya sendiri-sendiri.
Demikian
juga antara kata bashara dan nazhara,
antara al-‘afw,
al-ghufraan, al-mushaafahah, dan al-kaffaarah, antara hamma dan araada,
antara al-wudd
(al-mawaddah), al-hubb, dan al-rahmah, antara Al-Bashiir,
Al-‘Aliim dan Al-Khabiir, dan sebagainya.
Pemakaian Huruf-huruf Dalam Kata yang Sangat
Representatif Terhadap Makna atau Suasana Makna
Sebagai
contoh, mari kita perhatikan surat Al-Naas. Rima dan dominasi huruf siin disana
menggambarkan suasana hati yang diliputi rasa was-was. Demikian pula kalau kita
perhatikan QS. Al-Qiyamah ayat 26-30 berikut ini.
كلا اذا بلغت التراقى
×
( Sekali-kali tidak. Apabila nafas telah [mendesak] sampai ke
kerongkongan)
و قيل من _
راق ×
(Dan dikatakan kepadanya: “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”)
و ظن أنه
الفراق ×
(Dan dia yakin bahwa itulah saat perpisahan)
و التفت
الساق بالساق ×
(Saat bertaut betis [kiri] dengan betis [kanan])
الى ربك
يومئذ المساق ×
(Kepada Rabb-mu pada hari itu kamu dihalau)
Rima
dan dominasi huruf qaaf disitu menggambarkan suasana
sesak di saat-saat sakaratul maut ! Bayangkan sebuah belati bergerigi tajam
yang ditusukkan kedalam daging lalu ditarik kembali !!
Dari
sini pula, kita menjadi paham betapa pentingnya menjaga makhraj dan sifat huruf
saat membaca Al-Qur’an. Kesalahan dalam makhraj dan sifat huruf bukan hanya
bisa menimbulkan perubahan makna namun juga bisa menghilangkan suasana maknanya
sebagaimana yang kita lihat dalam beberapa contoh diatas.
Kontradiksi
Gaya
bahasa kontradiksi banyak dipakai dalam Al-Qur’an, misalnya antara orang
beruntung dan orang yang malang, antara mukmin dan kafir, antara surga dan
neraka, dan sebagainya. Sebagai contoh, perhatikan kontradiksi yang disuguhkan
mengenai orang yang menerima kitab dengan tangan kanan versus orang yang
menerima kitab dengan tangan kiri atau dari belakang dalam QS. Al-Haaqqah ayat
19-37 dan QS. Al-Insyiqaq ayat 7 - 15.
Sebagai
contoh lain, mari kita perhatikan QS. Al-Ghaasyiyah ayat 2 sampai 16 yang
menyuguhkan kontradiksi antara wajah berseri orang-orang beriman dan wajah
muram orang-orang kafir. Contoh-contoh yang lain bisa kita cari sendiri
tersebar dalam lembaran-lembaran mushaf.
Gaya bahasa kontradiksi mempunyai efek yang kuat dan mendalam pada
jiwa. Jiwa kita mengalami cita rasa yang berubah secara drastis, dari senang
lalu tiba-tiba gembira, dari takut lalu tiba-tiba berharap, dan seterusnya. Bentuk
lain kontradiksi ialah seperti yang terlihat pada ayat-ayat sumpah yang
dialektik. Perhatikan QS Al-Syams ayat 1-6 berikut ini.
والشمس
وضحها × والقمر اذا تلها ×
والنهار اذا جلها × واليل اذا يغشها ×
والسماء
وما بنها × والأرض وما طحها ×
Pada ayat-ayat diatas, kita melihat kontradiksi antara matahari dan
bulan (ayat 1-2), antara siang dan malam (ayat 3-4), lalu antara langit dan
bumi (ayat 3 sampai 4).
Keselarasan
Antara Tempo dan Makna atau Suasana Makna
Salah
satu cara Al-Qur’an dalam menunjang makna yang ingin disampaikan ialah dengan
menggunakan tempo yang sesuai. Mari kita perhatikan bagaimana Allah menyebut
Hari Kiamat dalam Al-Qur’an. Disana kita menjumpai bahwa Hari Kiamat disebut
dengan kata الطامة, الصاخة atau الحاقة . Irama kata-kata tersebut panjang
melenakan sekaligus membuat penasaran ada apa sesudahnya, diikuti dengan
sentakan atau hentakan yang berat (ditandai dengan tasydid). Irama tersebut
menggambarkan peristiwa Hari Kiamat yang kapan datangnya tidak ada yang tahu
disamping manusia memang seringkali terlena dan lupa akan datangnya hari yang
pasti tersebut. Namun begitu ia datang, kehadirannya begitu mengagetkan,
dahsyat, dan serentak. Sebagai contoh lain, mari kita perhatikan awal-awal
surat At-Takwir dan Al-Infithar. QS. Al-Infithar ayat 2-3:
اذا السماء انفطرت× واذا الكواكب انتثرت
Kata (انفطرت) dan (انتثرت) pada kedua ayat tersusun
atas banyak huruf namun tidak mengandung bacaan madd sama sekali. Yang demikian
itu menggambarkan bahwa peristiwa Hari Kehancuran berlangsung sangat cepat,
sehingga mengagetkan setiap orang. Begitu ia datang, maka ia tidak bisa
dibendung lagi.
Agar
adil, mari kita lihat juga tempo lambat pada QS. Al-Fajr ayat 27 –30.
يأيتها
النفس المطمئنة ×
ارجعى الى ربك
راضية مرضية ×
فا دخلى فى عبادى
×
و ادخلى
جنتى ×
Ghunnah
( pada nun dan mim) dan madd (dengan alif atau ya) membuat tempo jadi lambat,
yang menimbulkan nuansa tenang, kalem, dan lembut, seperti ucapan seseorang
terhadap kekasihnya.
Dari
pemahaman kita tentang tempo, kita pun akan sadar betapa pentingnya menjaga
madd, tasydid, dan ghunnah saat membaca Al-Qur’an. Pengabaian terhadap hal-hal
tersebut bukan hanya bisa menimbulkan perubahan makna namun juga bisa
mengurangi suasana makna sebagaimana terlihat pada beberapa contoh diatas.
Penggambaran
yang Sangat Hidup dan Berkesan
Sayyid Quthb menyebut gaya bahasa ini sebagai التصوير
الفنى (penggambaran artistik).
Penggambaran merupakan instrumen utama dalam gaya bahasa Al-Qur’an. Ia berusaha
menampilkan makna-makna abstrak dalam bentuk gambaran yang dapat diindera,
nyata, hidup, aktual, berwarna-warni, dan bergerak. Diantara bentuk
penggambaran yang banyak ditemui dalam Al-Qur’an ialah permisalan dan cerita dialog.
Dengan adanya penggambaran, seseorang yang membaca atau mendengarkan ayat-ayat
Al-Qur’an akan terlena dengan segenap imajinasinya, sehingga ia merasa
benar-benar menyaksikan secara nyata atau bahkan merasa berada di tengah-tengah
peristiwa yang ada, lupa bahwa yang dibaca atau didengar ternyata hanyalah
susunan huruf atau lafazh saja. Tentang hal ini, Sayyid Quthb
mengatakan,”Disini (dalam Al-Qur’an) ada kehidupan dan bukan kisah tentang
kehidupan”.
Keselarasan Antara Obyek Sumpah dan Tema yang Mengikutinya
Sebagai
contoh, mari kita perhatikan surat Al-Dhuha. Disana Allah bersumpah dengan
waktu dhuha dan waktu malam. Waktu dhuha yang terang dan indah, waktu malam
yang gelap dan menimbulkan kesempitan jiwa. Ayat-ayat berikutnya mengetengahkan
permulaan, kedukaan, keyatiman, kebingungan, dan kekurangan yang identik dengan
waktu malam. Sebaliknya, akhiran, keridhaan, asuhan, petunjuk, dan kecukupan
identik dengan waktu dhuha.
Beberapa Contoh dari Aspek-aspek Balaghah yang
Lain
Dalam
hal ini, kita hanya akan mencoba melihat gaya bahasa hiperbolik dan pengalihan
kata ganti secara mendadak. (al-iltifaat), yang sudah sering
dibahas dalam buku-buku balaghah.
Sebagai
contoh bagi gaya bahasa hiperbolik, mari kita perhatikan QS Maryam ayat 4, yang
melukiskan keadaan Nabi Zakaria yang sudah lanjut usia: … واشتعل الرأس شيبا …
اشتعل artinya telah menyala karena terbakar rata, berfungsi sebagai
fi’il. الرأس artinya kepala,
berfungsi sebagai fa’il. شيبا artinya uban, berfungsi sebagai tamyiz dimana yang menjadi mumayyaz
ialah الرأس . (اشتعل الرأس شيبا) artinya ‘Kepalanya menyala karena putih ubannya’. Tatkala sampai
pada اشتعل الرأس)), orang akan bertanya,”Kepalanya menyala?” Maka diucapkanlah (شيبا),
“Ya, karena putih ubannya”. Susunan seperti ini
menimbulkan efek hiperbolik. Berbeda
halnya jika kita mengubahnya menjadi اشتعل
شيب الرأس)) (Uban
di kepalanya menyala). Yang terakhir ini tidak mesti berarti bahwa seluruh
rambutnya beruban. Lain halnya
dengan (اشتعل الرأس شيبا),
yang mengesankan bahwa seluruh rambut di kepalanya telah memutih tanpa ada
sehelai pun yang masih hitam.
Mengenai iltifaat, orang-orang yang tidak
memahami keindahan dan keunikan sastra Arab telah meniupkan syubhat bahwa hal
tersebut menunjukkan inkonsistensi Al-Qur’an dalam hal kata ganti atau sudut
pandang Sang Penutur. Namun bagi mereka yang paham, iltifaat sebagai gaya bahasa
Al-Qur’an justru telah mampu menimbulkan efek yang luar biasa. Diantara efek
itu ialah menarik perhatian dan memberikan efek imajinasi yang hidup dan
dinamis.
- Al-Qur’an
Bukanlah Syair Buatan Manusia
Terpelihara Keasliannya
Al
Quran adalah satu-satunya kitab di dunia yang sempurna dan terpelihara
keasliannya, karena sendirilah yang memeliharnya, sebagaimana firmanNya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya”. (al-Hijr : 9)
Al
Quran adalah satu-satunya kitab yang menantang manusia kafir untuk membuat yang
semisalnya. Di dalam al Quran ada empat kali dan tahapan penantangan kepada
manusia.
1.
Allah menantang untuk membuat yang seperti al quran,
sebagaimana tertera dalam surat Ath Thur 33-34
2.
Allah merendahkan tantanganNya, yaitu hanya beberapa surat
saja, tertera dalam Surat Hud 13
3.
Allah menantang yang ketiga kalinya,yang lebih ringan dari
sebelumnya.Dengan hanya membuat satu surat saja. Hal ini tertera dalam Al
Qur’an surat Yunus 38
4.
Dan tantangan yang inipun,mereka tak sanggup
memenuhinya.Maka Allah menantang dengan tantangan yang terakhir yang paling
ringan.Yaitu,mendatangkan semisal ayat-ayat Al Qur’an. Hal ini tercantum dalam
surat Al Baqoroh ayat 23.
Upaya-upaya untuk memalsukan Al Quran ataupun membuat yang
semisal dengan Al Quran telah dilakukan oleh orang-orang kafir sejak zaman
dahulu, namun usaha-usaha itu tak pernah berhasil. Di zaman Rasulullah ada
seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang ingin menyaingi Rasulullah
dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan
‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk
Islam. Ketika surat Al-‘Ash turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia
sudah mendengarnya. Ketika Musailamah Al-Kadzab berjumpa dengan ‘Amr bin Ash,
Musailamah bertanya : “Surat apa yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr
bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi
dengan makna yang begitu luas.” “Coba bacakan kepadaku surat itu!”
Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash. Musailamah
merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.”
‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?” Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya
wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. (Hai kelinci, hai
kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada
lubang bekas galian.)” Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa
terbahak-bahak, “Demi , engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu
omongkan itu adalah dusta.”
Di saat yang lain Musailamah Al Kadzab mencoba meniru surat
Al Fiil dengan surat yang dikarangnya “Alfiil, maal fiil, wa maa adrakamaal
fiil, lahu dzanabun wabiilun, wa khurthuumun thawiil” yang artinya: “Gajah.
Tahukah anda gajah?Apakah gajah itu?Dan tahukah anda apakah gajah itu? Ia
berekor pendek & berbelalai panjang”. Lucu sekali bukan?
Di era modern ini upaya pemalsuan Al Quran juga dilakukan
dengan lebih gencar, salah satunya yaitu penerbita Al Quran Palsu pada tahun
2009 yang dilakukan oleh Penerbit asal Amerika, Omega 2001 dan One Press
dengan judul hard cover “Furqanul Haq” dalam huruf Arab dan “True Furqan”
dalam huruf Latin. Dan usaha ini pun gagal total.
Al-Qur’an bukan
syair, bukan sajak. Syair adalah bait-bait mantra (jumlah, panjang, posisi suku
kata) dan sajaknya (konsonan dan vokalisasi suku terakhir) identik. Sajak
adalah prosa yang kalimat dan frasenya ditandai dengan sajak diseluruh
komposisinya. Al-Qur’an tidak menyerupai keduanya, tetapi memanfaatkan keduanya
dengan leluasa untuk mengembangkan tujuannya. Karena itu kategori baru harus
ditentukan untuk menggolongkan Al-Qur’an di luar syair dan prosa yaitu “ Al
natsr al muthlaq” (mutlak bebas dari prosa).
Hampir
seluruh ayat-ayat makkiyah menyerupai untaian bait-bait syair, yang salah satu
cirinya ialah adanya kesamaan qafiyah (rima). Sekedar sebagai
contoh, kita bisa melihat surat Al-Naas, Al-Ikhlash, Al-Qadr, Al-Syams, dan
Al-Qadr. Hal lain yang cukup menarik ialah bahwa dalam kebanyakan ayat
pergantian sajak senantiasa dibarengi pergantian tema (kalau dalam prosa, mirip
dengan pergantian paragraf).
Sekedar sebagai contoh, mari kita perhatikan surat Alam Nasyrah
atau Al-Syams. Panjang ayat yang satu dan yang lainnya bisa dikatakan seimbang
atau sama. Apabila untaian ayat-ayat tersebut dilantunkan, keseimbangan panjang
ayat tersebut akan menghasilkan irama yang sangat nikmat. Seperti yang sudah
dibahas pada poin B tentang tata bahasa Al-Qur’an, ternyata Al-Qur’an
benar-benar indah bahasanya. Seperti syair yang sangat indah jika ditelaah.
Beberapa poin tersebut diantaranya yaitu Persajakan, Keseimbangan Panjang Ayat, Repetisi
(perulangan), Paralelisme
dan Keseimbangan Irama Antar Ayat, Kecermatan makna pada diksi (pilihan kata), Keselarasan Antara Tempo dan Makna atau Suasana
Makna, Keselarasan
Antara Obyek Sumpah dan Tema yang Mengikutinya, Pemakaian Huruf-huruf Dalam Kata yang Sangat
Representatif Terhadap Makna atau Suasana Makna, semua hal itu menunjukkan
keselarasan dalam bahasa Al-Qur’an. Seperti syair yang indah. Namun dengan
bahasa yang indah tersebut Al-Qur’an bukanlah buatan manusia, tetapi itu semua
adalah asli firman Allah. Itulah kebesaran Allah. Mampu menciptakan bahasa yang
begitu indah yang manusia manapun tidak dapat menandinginya.
Sebelumnya
pembicaraan tentang wahyu datang dalam awal surat. "Yaa siin. Demi Al-Quran
yang penuh hikmah, Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul, (yang
berada) di atas jalan yang lurus, (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang
Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu mmberi peringatan kepada kaum yang
bapak-bapak mereka belum pernah di beri peringatan, krn itu mereka lalai."
(Yaasiin : 1-6).
Kemudian
pembicaraan yang sama datang di akhir-akhir surat.
وَمَا عَلَّمْنَٰهُ
ٱلشِّعْرَ وَمَا يَنۢبَغِى لَهُۥٓ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌۭ وَقُرْءَانٌۭ
مُّبِينٌۭ ﴿٩٦﴾
"Kami
tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak
baginya. Al-Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi
penerangan.” (Yaasiin : 69)
Ada kaum yang
menuduh bahwa Nabi Saw hanyalah seorang penyair, dan mengatakan bahwa al-quran
yang dibawa Beliau itu adalah syair. Pada dasarnya para pembesar Quraisy tidak
meragukan bahwa masalahnya bukan seperti yang mereka tuduhkan itu. Juga mereka
tidak meragukan bahwa apa yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah suatu ucapan
yang tidak biasa dalam bahasa mereka. Mereka juga tidak sedang ngelindur
sehingga tak dapat membedakan al-quran dgn syair.
Tapi,
apa yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari perang opini yang mereka
gerakkan untuk melawan agama ini dan untuk menjatuhkan nama pembawanya, nabi
Muhammad saw di tengah masyarakat. Tuduhan itu mereka sandarkan pada keindahan
redaksi al-quran yang memberikan pengaruh. Dengan harapan, gambaran masyarakat
umum akan menjadi rancu antara al-quran ini dengan syair, ketika mereka menghadapi
redaksi alquran dan ajaran yang ada dialamnya.
Di
sini, Allah menafikan bahwa Dia mengajarkan syair kepada Rasululloh. Dan jika
Allah tidak megajarkan syair, berarti Beliau (Muhammad) tidak tahu syair.
Karena seseorang tidak mengetahui sesuatu kecuali apa yang diajarkan Allah. Dan
ternyata Allah juga menafikan kepantasan syair bagi Rasulullah, "...Dan
bersyair itu tidaklah layak baginya..."
Karena
syair mempunyai metode lain yang berbeda dengan manhaj kenabian. Syair
adalah buah emosi dan ungkapan terhadap emosi ini. Sedangkan emosi selalu
berubah-ubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Sementara kenabian adalah wahyu
dan berdiri di atas manhaj yang konstan. Di atas jalan yang lurus. Mengikuti
namus Allah yang tsabit yang mengatur seluruh wujud ini. Sehingga tidak
berubah-ubah dan tidak dipengaruhi oleh hawa nafsu yang timbul, seperti
berubahnya syair mengikuti emosi yang slalu berubah dan tak pernah diam pada
satu titik.
Kenabian
adalah hubungan permanen dengan Allah, menerima secara langsung wahyu dari
Allah, dan usaha terus-menerus untuk mengembalikan kehidupan kepada Allah.
Sementara itu dalam bentuknya yang tertinggi syair adalah ungkapan kerinduan
manusia kepada keindahan dan kesempurnaan yang disertai dengan pelbagai
kekurangan manusia dan pola pandangnya yang terbatas sesuai dengan terbatasnya
perangkat pengetahuan dan kesiapan jiwanya. Namun, ketika syair turun dari
bentuk-bentukya yang tinggi, maka ia berubah menjadi ungkapan emosi dan
keinginan yang bisa turun terus hingga hanya menjadi teriakan tubuh, dan
ungkapan gelegak daging dan darah!
Maka,
tabiat kenabian dengan syair itu secara mendasar berbeda, Karena syair itu, dlm
bentuknya yang paling tinggi adalah kerinduan yang naik dari bumi. Sedangkan
kenabian pada intinya adalah petunjuk yang turun dari langit.
Dalam
surat Yaasiin ayat 69 juga disebutkan bahwa Al-quran itu tidak lain hanyalah
pelajaran dan kitab yang memberi penerangan. Pelajaran dan qur'an, keduanya
merupakan sifat bagi satu hal. Sebagai pelajaran sesuai dengan fungsinya, dan
kitab bacaan ketika dibaca. Ia adalah dzikir kepada Allah yang mengisi
hati, dan kitab yang dibaca dengan lidah, dan ia diturunkan untuk menunaikan
tugas tertentu.
"Supaya
dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan
supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir," (Yaasiin :
70)
Begitu juga kisah Utbah bin Rabi’ah yang diutus
kaumnya untuk meminta Rasulullah menghentikan dakwahnya. Ketika dia berjumpa
dengan Rosulullah dan kemudian dibacakan Surat Al Fushilat 1-5 maka
tersentuhlah jiwanya, dan ketika kembali ke kaumnya dia berkata “yang aku bawa,
bahwa aku telah mendengar suatu perkataan yang demi Allah belum pernah
sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allah! Ia bukan syair, bukan sihir dan
bukan pula tenung! Wahai kaum qurays! Patuhilah aku, serahkan urusan ini
kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan……”
Tak sedikit pula yang menguraikan bahwa bahasa Arab
dipelihara oleh Al Qur’an. Keunikan bahasa Al Qur’an (bukanlah bahasa sehari-hari),
namun dengan bahasa ini, yang terpilih menjadi bahasa pengantar Allah kepada
manusia. Tentu dijadikan karena memiliki keunggulan yang sulit ditandingi oleh
bahasa-bahasa lainnya. Keindahan dalam terjemahan atau asli, nampak dalam
rentetan yang dibahas terbatas dalam forum-forum sempit, karena juga
kedalamannya yang tak tertandingi. Bukan hanya kemudahan diingat dan
dilantunkan, juga berada pada kedalaman struktur, keseimbangan , dan tatanan
informasi yang sulit dibandingkan dalam dunia tata tulis manusia sampai kini.
Mari kita lihat keindahan seperti syair berikut:
Qul A-’uu-dzu birabbin-naaaas
Malikin-naas
Ilaa-hhin-naas
Min syarril was waasil khonnaas
Alla-dzii yuwaswisu-fii shuduurin-naas
Minal jinnati wan-naas
Pada banyak
surat lainnya, tak mudah merasakan keindahan syair jika tidak dalam bahasa
aslinya. Penerjemahan, bagaimanapun akan membuat, boleh jadi kehilangan nuansa
keindahannya kalau ketepatan penerjemahan dalam ragam bahasa tak berhasil
ditampilkan.
Juga kalau kita
membaca surat Al Falaq, At Takaatsur, Ar Rahman, dan banyak lagi terasa nuansa
syair sebagai salah satu perwujudan keindahan kata yang membuat takjub
pendengarnya. Apalagi di masa awal kehadirannya di tanah Arab. Keindahan bahasa
itu juga terekam pada karya-karya terjemahan. Ketepatan komposisi bahasa adalah
satu keniscayaan sehingga Walid bin Mugirah berkata kepada Abu Jahal (yang
memusuhi Nabi) setelah menemui Nabi : “Apa yang harus kukatakan?. Demi
Allah, di antara kamu tak ada seorang pun yang lebih tahu dari aku tentang
syair, rajaz dan qasidah-nya dan tentang syair-syair jin. Demi Allah, apa yang
dikatakan Muhammad itu sedikit pun tidak serupa …. Ucapannya itu sungguh
tinggi, tak dapat diungguli, bahkan dapat menghancurkan apa yang ada di
bawahnya.“
Al-Qur`an adalah kalamullah,
firman Allah Swt, ia bukanlah kata-kata manusia, bukan pula kata-kata jin,
setan, atau malaikat. Al-Qur`an bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan
syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat
manusia. Hal ini ditegaskan olah Allah Swt dalam Al-Qur`an Surah An-Najm ayat
3-4.
Mari kita bahas lebih lanjut tentang
Al-Qur’an yang pada hakikatnya bukanlah syair buatan nabi Muhammad yang juga
hanya manusia biasa seperti kita. Sebagaimana yang kita
ketahui di dalam Alqur’an terdapat kosa-kata الشعر
(syair),الشا عر (penyair)
dan الشعراء
(para
penyair). Kata-kata syi’ri (syair) di sebut satu kali di dalam konteks
menjelaskan bahwasanya Allah swt tidak pernah mengajarkan syair kepada
Rasulullah saw, Dan ayat tersebut juga menjelaskan tidak layaknya Rasullah
sebagai penyair ,sebagaimana firman Allah di dalam surah Yaasiin ayat 69
seperti yang sudah dituliskan di atas. Imam Ibnu Kasyir di dalam tafsirnya
menjelaskn bahwa kalimat وما ينبغي له (Dan
bersyair itu tidak pantas bagi Raulullah saw) maksudnya: Bahwa
bersyair bagi Rasullullah bukan tabiatnya dan bukan pula
karakteristiknya.
Imam Abu Zar’atirrazi mengatakan:Tiada keturunan Abdul Muttalib di lahirkan melainkan ahli dalam bersyair kecuali Baginda Rasulullah saw.
Di dalam Surat Atthur Allah menceritakannya tentang penghinaan orang-orang yang keras kepala kepada Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah di dalam Alqur’an:
أَمْ
يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ
‘’Bahkan mereka mengatakan: ‘’dia adalah seorang penyair yang
kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya.’’ (QS. Ath-Thur: 30)
Allah pun marah dan menegaskan tentang orang-orang kafir
tersebut, bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan Nabi Muhammad, lalu Allah
melanjutkan:
أَمْ
تَأْمُرُهُمْ أَحْلَامُهُمْ بِهَٰذَا ۚ أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Apakah
mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan
ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur: 32)
أَمْ
يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ ۚ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad)
membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman.” (QS. Ath-Thur: 33)
فَلْيَأْتُوا
بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al
Quran itu jika mereka orang-orang
yang benar.” (QS. Ath-Thur: 34)
Terdapat kata-kataالشا عر (penyair) empat kali di sebut di dalam Surat Al-Ambiya’ ayat 5 yang mana ayat tersebut menjelaskan dan menceritakan perkataan orang kafir kepada Al-Qur’an dan menceritakan tentang tuduhan orang –orang yang keras kepala kepada Nabi Muhammad SAW.Tentang hal ini Allah befirman dalam Al-Qur’an:
بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ
أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِآيَةٍ كَمَا
أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ
“Bahkan Mereka
berkata pula “(Alqur’an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut malah diada-adakan,bahkan dia sendiri seorang
penyair,maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu Mu’jizat sebagaimana
Rasul-rasul yang telah lalu di utus”
Di dalam Surat Al-Haqqah terdapat penafian (peniadaan) makna atau bentuk dan sifat kalimat Alqur’an itu bukan syair dan ayat tersebut juga menjelaskan bahwa baginda Rasulullah bukan seoran penyair. Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:
إِنَّهُ
لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
‘’Sesungguhnya
Alqu’an itu adalah benar-benar wahyu( Allah yang di turunkan) kepada
Rasul yang mulia.” (QS. Al-Haqqah: 40)
وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ
“Dan Al Quran itu bukanlah
perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.” (QS. Al-Haqqah: 41)
وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Dan bukan pula perkataan tukang
tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran dari padanya.” (QS. Al-Haqqah: 42)
تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Ia (Al-Qur’an) adalah wahyu yang
diturunkan dari Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Haqqah: 43)
Ayat tersebut menjelaskan tentang penafian doktrin bagi orang yang mengatakan bahwa Alqur’an itu syair, dan ayat itu juga menerangankan tentang Baginda Rasulullah saw. bukanlah seorang penyair, bukan pula soarang tukang tenung, dan perlu anda ketahui ayat-ayat tersebut diatas bukan menjelaskan tentang hukum secara lizatihi,melainkan ayat-ayat itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu lebih indah maknanya dan kata-katanya lebih ijaz dari syair, dan juga Alqur’an itu lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya di bandingkan dengan syair. Bukan itu saja, Alqur’an lebih agung dari segala sesuatu yang ada di dunia fana ini.
Adapun kata الشعراء (para penyair) terdapat dalam Surat Asy-Syu’ara’ Ayat 224-227 yang artinya sebagai berikut:
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ 224
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang
sesat.” (QS.
Asy-Syu’ara’: 224)
أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
“Tidakkah
kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di setiap lembah,”(QS. Asy-Syu’ara’:
225)
“Dan bahwasanya mereka
suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?” (QS.
Asy-Syu’ara’: 226)
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا
اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ
الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ
يَنْقَلِبُونَ
“Kecuali
orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak
mengingat Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman (karena
menjawab puisi-puisi orang-orang kafir). Dan orang-orang yang zalim itu kelak
akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (QS. Asy-Syu’ara’: 227)
Ayat di atas kita ketahui sebagian kelompok penyair Arab dahulu membiasakan dirinya menghiasi keburukan, kejelekaan dan kebohongan dengan untaian kata-katanya yang baik lagi indah, sehingga nampak keburukan itu baik, dan kejelekan itu kelihatan indah dan juga kebohongan itu seakan-akan benar, sehingga setiap orang yang mendengar perkataannya terhipnotis, terpukau dan terbuai dengan syair-syairnya itu.
Azzujaj mengatakan:’’Sesungguhnya penyair itu apabila menghina dan mengejek apa yang tidak di perbolehkan ,maka mereka itu termasuk golongan yang menyesatkan.’’
Demikian
juga apabila memuji dengan berlebihan maksudnya pujiannya terlalu jauh dari
kenyataan,itu juga termasuk kaum yang menyesatkan, kemudian Allah menyifati
para penyair dengan firmannya:’’Bahwa mereka mengembala di tiap-tiap
lembah’’. Dalam hal ini Ibnu Abbas berkata: ’’Setiap perkataan yang tidak
berguna ,itu termasuk menjerumuskan orang ke lembah kebohongan.
Imam Hasan Basri mengatakan:’’ Demi Allah tiada saya melihat para penyair
kecuali mencaci maki orang dengan kata-katanya,dan tiada saya melihat
para penyair kecuali memuji alias lebai dengan syair-syairnya,
dan firman Allah swt.yang artinya : Dan sesungguhnya mereka mengatakan apa
yang mereka tidak kerjakan.maksudnya “Mereka selalu berbohong dengan
syairnya.” dan sifat para penyair tersebut sebagaimana yang kita ketahui
bukan maksud secara maknawi, bukan menjelaskan tentang hukum boleh atau
tidaknya syair, tetapi ayat tersebut memaparkan dan menjelaskan tentang
pembelaan Allah terhadap kitabnya dan Rasulnya, dan ayat itu juga menjelaskan
mulianya Al-Qur’an dan Rasulnya dari pekerjaan Tukang tenung, penyihir dan penyair.
Oleh
karena itu Ibnu Kasyir menafsirkan ayat tersebut: ’’Sesungguhnya Allah
menurunkan Alqur’an bukanlah perkataan Tukang Tenung dan bukan pula seorang
penyair ,melainkan untuk menghapus dan menghilangkan semua doktrin itu’’.
Ayat 224 menjelaskan para Penyair tidak semua sesat, tetapi ayat tersebut menjelaskan sebagian kelompok para penyair yang menyeru kepada hal-hal yang negatif, kemudian di lanjutkan dengan ayat 227, nah ayat ini menjelaskan bahwa bukan semua para penyair tersesat, tapi yang di maksud dengan orang-orang sesat itu identik dengan kelompok pertama yaitu orang-orang Mekah yang kafir yang mana ketika itu menghina dan mencaci maki Rasulullah dengan syair-syairnya, dan waktu itu juga kebanyakan para penyair belum masuk islam, dan kelompok kedua yaitu kaum Anshor maksudnya penyair Madinah yang mana para penyair ini membela Rasulullah dengan syair-syairnya dan meninggikan agamanya dengan untaian kata-katanya,misalnya dalam perang supaya pasukan muslim bersemangat dan berkobar jiwanya ketika berhadapan dengan musuh,para penyair membuat syair Hamasah(syair pembakar jiwa) dan masih banyak contoh syair yang lain yang akan di jelaskan panjang lebar pada Sikap Rasulullah tentang Syair.
Ayat 224 menjelaskan para Penyair tidak semua sesat, tetapi ayat tersebut menjelaskan sebagian kelompok para penyair yang menyeru kepada hal-hal yang negatif, kemudian di lanjutkan dengan ayat 227, nah ayat ini menjelaskan bahwa bukan semua para penyair tersesat, tapi yang di maksud dengan orang-orang sesat itu identik dengan kelompok pertama yaitu orang-orang Mekah yang kafir yang mana ketika itu menghina dan mencaci maki Rasulullah dengan syair-syairnya, dan waktu itu juga kebanyakan para penyair belum masuk islam, dan kelompok kedua yaitu kaum Anshor maksudnya penyair Madinah yang mana para penyair ini membela Rasulullah dengan syair-syairnya dan meninggikan agamanya dengan untaian kata-katanya,misalnya dalam perang supaya pasukan muslim bersemangat dan berkobar jiwanya ketika berhadapan dengan musuh,para penyair membuat syair Hamasah(syair pembakar jiwa) dan masih banyak contoh syair yang lain yang akan di jelaskan panjang lebar pada Sikap Rasulullah tentang Syair.
Kesimpulan
ayat di atas menjelaskan tentang penghinaan Al-Qur’an terhadap para penyair
yang menjerumuskan manusia kejalan yang batil dan para penyair yang suka
bersilat lidah alias berbohong dengan syair-syairnya, dan adapun para
penyair yang menyeru kepada amar ma’ruf nahi munkar, maka penyair yang kayak
ini tidak di haramkan melainkan di anjurkan.
Kita bisa menemukan Sikap Rasulullah tentang syair begitu banyak bentuk apresiasinya terhadap syair, sebagaimana yang kita ketahui pada umumnya Rasulullah memperbolehkan mendendangkan syair dan mendengarkannya. Dari bentuk sikap apresiasinya terhadap syair baik berupa pujian dan kekaguman beliau kepada seorang penyair, Imam Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah dari Rasulullah saw. bersabda: ’’Paling benar kalimat yang di lantunkan orang Arab yaitu syair Lubaid yang mengatakan:
الا كل شيء ما خلا الله وكل نعيم لا محا لة زا ئل
“Ketahuilah semua sesuatu apa yang selain Allah
adalah batil, dan segala macam
bentuk nikmat tiada
yang abadi.”
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
1.
Al-Qur’an menurut
bahasa berarti “bacaan” yaitu bentuk mashdar dari kata qara’a yang
mempunyai arti mengumpulkan atau menghimpun menjadi satu. Secara istilah, Firman
Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw dengan peerntara Jibril dalam
bahasa Arab. Dan, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada
mereka, dan menjadi sarana untuk melakukan pendekatan diri dan ibadah kepada
Allah. Ia terhimpun dalam mushaf, dimulai dari surat Al- Fatihah dan diakhiri
dengan surat An-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke
generasi, baik secara lisan maupun tulisan, serta terjaga dari perubahan dan
pergantian.
2.
Tata bahasa
Al-Qur’an sangatlah indah, tidak ada yang bisa menandinginya karena itu adalah
firman Allah. Al-Qur’an bukan syair tapi merupai syair karena tatanan bahasanya
yang begitu indah dari segi persajakan, keseimbangan panjang ayat,
repetisi (perulangan), paralelisme dan keseimbangan irama
antar ayat, kecermatan makna pada diksi (pilihan kata), keselarasan
antara tempo dan makna atau suasana makna, keselarasan antara
obyek sumpah dan tema yang mengikutinya, penggambaran yang
sangat hidup dan berkesan, serta pemakaian huruf-huruf dalam kata yang sangat
representatif terhadap makna atau suasana makna.
3. Al-Qur’an bukanlah buatan atau karangan nabi Muhammad yang nota
bene hanya seorang manusia. Allah pun telah menegaskan berkali-kali dalam
Al-Qur’an yaitu diantaranya dalam surat Yaasiin ayat 69-70, surat Al-Anbiya
ayat 5, surat Ath-Thur ayat 30-34, surat Al-Haqqah ayat 40-43, surat
Asy-Syua’ara ayat 224-227. Allah pun juga mengatakan orang-orang kafir yang
menganggap Al-Qur’an adalah syair buatan manusia, maka akan mendapat azab-Nya.
- Saran
Untuk
makalah lain yang ingin membahas tentang Al-Qur’an bukan syair buatan manusia,
sebaiknya lebih dikaji mendalam tentang tema tersebut. Bisa juga mengupas
tuntas dari surat Yaasiin ayat 69-70, surat Al-Anbiya ayat 5, surat Ath-Thur
ayat 30-34, surat Al-Haqqah ayat 40-43, surat Asy-Syua’ara ayat 224-227.
Terutama surat Asy-Syu’ara karena surat tersebut mempunyai arti para penyair.
Disitulah lebih banyak dibahas tentang tema makalah ini. Bisa juga disertakan
dan dibahas asbabun nuzulnya.
Daftar Pustaka
Buku Fiqih kelas XII
Penulis: Citra Atrina Sari, Siswi Kelas XII IPA 2,
MAN Insan Cendekia Gorontalo
0 Comments:
Posting Komentar