Hidup, Bukan untuk Main-Main
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ
إِلَيْنَا لا تُرْجَعُونَ (١١٥)
kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS al-Mukminun
115)
Ibrahim bin Adham termasuk keturunan orang terpandang.
Ayahnya kaya, memiliki banyak pembantu, kendaraan dan kemewahan. Ia terbiasa
menghabiskan waktunya untuk menghibur diri dan bersenang-senang. Ketika ia
sedang berburu, tak sengaja beliau mendengar suara lantunan firman Allah
Ta’ala,
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami.” (QS al-Mukminun 115)
Serasa disambar petir. Ayat itu betul-betul menyentak
beliau. Menggugah kesadaran, betapa selama ini telah bermain-main dalam
menjalani hidup. Padahal hidup adalah pertaruhan, yang kelak akan dibayar
dengan kesengsaraan tak terperi, atau kebahagiaan tak tertandingi. Yakni saat
di mana mereka dikembalikan kepada Allah untuk bertanggung jawab atas apa yang
telah diperbuatnya. Sejak itulah beliau tersadar, dan itulah awal beliau meniti
hidup secara semestinya, hingga saksi sejarah mencatat beliau sebagai ahli
ibadah dan ahli ilmu yang ‘bukan main’.
Bila Hidup Dianggap Main-Main
Rasa-rasanya, ayat ini seperti belum pernah
diperdengarkan di zaman kita ini. Meski tidak terkalamkan, lisaanul haal
menjadi bukti, banyak manusia yang menganggap hidup ini hanya iseng dan
main-main. Aktivitasnya hanya berkisar antara tidur, makan, cari makan dan
selebihnya adalah mencari hiburan. Seakan untuk itulah mereka diciptakan.
Ayat ini menjadi peringatan telak bagi siapapun yang
tidak serius menjalani misi hidup yang sesungguhnya. Kata ‘afahasibtum’, (maka
apakah kamu mengira), ini berupa istifham inkari, kata tanya yang
dimaksudkan sebagai sanggahan. Yakni, sangkaan kalian, bahwa Kami menciptakan
kalian hanya untuk iseng, main-main atau kebetulan itu sama sekali tidak benar.
Dan persangkaan kalian, bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami,
adalah keliru.
Allah tidak akan membiarkan manusia melenggang begitu
saja, bebas berbuat, menghabiskan jatah umur, lalu mati dan tidak kembali,
أَيَحْسَبُ الإنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى (٣٦)
”Apakah manusia mengira, bahwa ia akan
dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah 36)
Orang yang tidak mengetahui tujuan ia diciptakan, tak
memiliki patokan yang jelas dalam meniti hidup. Tak ada panduan arah yang bisa
dipertanggungjawabkan, hingga ia akan terseok dan tertatih di belantara
kesesatan.
Hanya ada tiga ’guide’ yang mungkin akan mereka
percaya untuk memandu jalan. Pertama adalah hawa nafsu. Dia berbuat dan
berjalan sesuai petunjuk nafsu. Apa yang diingini nafsu, itulah yang dilakukan.
Kemana arah nafsu, kesitu pula dia akan berjalan. Padahal, nafsu cenderung
berjalan miring dan bengkok, betapa besar potensi ia terjungkal ke jurang
kesesatan.
Pemandu jalan kedua adalah setan. Ketika seseorang
tidak secara aktif mencari petunjuk sang Pencipta sebagai rambu-rambu jalan,
maka setan menawarkan peta perjalanan. Ia pun dengan mudah menurut tanpa ada
keraguan. Karena sekali lagi, dia tidak punya ’kompas’ yang bisa
dipertanggungjawabkan dalam menentukan arah perjalanan. Sementara, peta yang
disodorkan setan itu menggiring mereka menuju neraka yang menyala-nyala,
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ
عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ (٦)
”Sesungguhnya setan-setan itu hanya
mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni naar yang menyala-nyala.” (QS.
Fathir: 6)
Rambu-rambu ketiga adalah tradisi orang kebanyakan.
Yang ia tahu, kebenaran itu adalah apa yang dilakukan banyak orang. Itulah kiblat
dan barometer setiap tingkah laku dan perbuatan. Padahal,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ (١١٦)
116. dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)[500]. (QS. al-An’am: 116)
[500] Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah
diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah Dihalalkan Allah,
menyatakan bahwa Allah mempunyai anak.
Misi Hidup yang Bukan Main
Allah menciptakan manusia untuk tugas yang sangat
agung; agar mereka beribadah kepada-Nya. Untuk misi itu, masing-masing diberi
tenggang waktu yang sangat terbatas di dunia. Kelak, mereka akan
mempertanggungjawabkan segala perilakunya di dunia, adakah mereka gunakan
kesempatan sesuai dengan misi yang diemban? Ataukah sebaliknya; lembar catatan
amal dipenuhi dengan aktivitas yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa
yang diperintahkan.
Di hari di mana mereka dinilai atas kinerja mereka di
dunia, tak ada satu episode pun dari kehidupan manusia yang tersembunyi dari
Allah. Bahkan semua tercatat dengan detil dan rinci, hingga manusiapun
terperanjat dan keheranan, bagaimana ada catatan yang sedetil itu, mereka
berkata,
….
وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلا
كَبِيرَةً إِلا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلا يَظْلِمُ
رَبُّكَ أَحَدًا (٤٩)
”Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang
tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada
(tertulis).” (QS.
al-Kahfi: 49)
Sebelum peluang terlewatkan, hendaknya kita bangun
motivasi, untuk menjadikan hidup lebih berarti. Mudah-mudahan, fragmen singkat
di bawah ini membantu kita untuk membangkitkan semangat itu.
Suatu kali Fudhail bin Iyadh bertanya kepada
seseorang, “Berapakah umur Anda sekarang ini?” Orang itu menjawab, “60 tahun.”
Fudhail berkata, “Kalau begitu, selama 60 tahun itu Anda telah berjalan menuju
perjumpaan dengan Allah, dan tak lama lagi perjalanan Anda akan sampai.”
“Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un,” tukas
orang itu.
Fudhail kembali bertanya, ”Tahukah Anda, apa makna
kata-kata yang Anda ucapkan tadi? Barangsiapa yang mengetahui bahwa dirinya
adalah milik Allah, dan kepada-Nya pula akan kembali, maka hendaknya dia
menyadari, bahwa dirinya kelak akan menghadap kepada-Nya. Dan barangsiapa
menyadari dirinya akan menghadap Allah, hendaknya dia juga tahu bahwa pasti dia
akan ditanya. Dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang telah
dilakukannya. Maka barangsiapa mengetahui dirinya akan ditanya, hendaknya dia
menyiapkan jawaban.”
Orang itu bertanya, ”Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Sedangkan kesempatan telah terlewat?”
Fudhail menjawab, ”Hendaknya Anda berusaha memperbagus
amal di umur yang masih tersisa, sekaligus memohon ampunan kepada Allah atas
kesalahan di masa lampau.”
Semoga kita mampu mengubah hidup kita, dari main-main,
menjadi bukan main. Amien.
Sumber artikel: Majalah Islam Ar-Risalah
0 Comments:
Posting Komentar