Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

Syafa`at, Untuk Siapa?



Syafa`at, Untuk Siapa?

Syafaat berasal dari kata asy-sayafa’ (ganda) yang merupakan lawan kata dari al-witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda, seperti membagi satu menjadi dua, tiga menjadi empat, dan sebagainya. Ini pengertian secara bahasa.
Sedangkan secara istilah, syafaat berarti menjadi penengah bagi orang lain dengan memberikan manfaat kepadanya atau menolak madharat, yakni pemberi syafaat itu memberikan manfaat kepada orang yang diberi syafaat atau menolak madharat untuknya.
Syafa'at adalah usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. Syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at orang-orang kafir.


Syafaat disebutkan pertama kali dalam Al-Qur'an adalah pada QS.AL-Baqarah ayat 48. Dalam ayat tersebut terdapat perintah Allah kepada Bani Israil untuk bertaqwa dengan alasan di akhirat nanti tidak akan ada syafaat (pertolongan) dari siapapun kecuali amal manusia masing-masing. Syafa’at hakikatnya adalah doa, atau memerantarai orang lain untuk mendapatkan kebaikan dan menolak keburukan. Atau dengan kata lain syafa’at adalah memintakan kepada Allah di akhirat untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian meminta syafa’at berarti meminta doa, sehingga permasalahan syafa’at ialah sama dengan doa.
Syafaat terdiri dari dua macam:
Macam Pertama, syafaat yang didasarkan pada dalil yang kuat dan shahih, yaitu ditegaskan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Kitab-Nya, atau yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syafaat tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang bertauhid dan ikhlas; karena Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling bahagia mendapatkan syafaatmu?” Beliau menjawab, “Orang yang mengatakan, ‘Laa ilaaha illallahikhlas dari dalam hatinya.”
Syafaat mempunyai tiga syarat:
Pertama, Allah meridhai orang yang memberi syafaat.
Kedua, Allah meridhai orang yang diberi syafaat.
Ketiga, Allah mengizinkan pemberi syafaat untuk memberi syafaat.
Syarat-syarat di atas secara global dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لاَتُغْنِى شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَى
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).” (QS. An-Najm: 26)
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Kemudian firman Allah, “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Lalu firman Allah,
يَوْمَئِذٍ لاَتَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً
Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (QS. Thaha: 109)
Kemudian firman Allah,
يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati kerana takuT kepada-Nya.” (QS. Al-Anbiya’: 28)
Agar syafaat seseorang diterima, maka harus memenuhi ketiga syarat di atas.
Menurut penjelasan para ulama, syafaat yang diterima, dibagi menjadi dua macam:
Pertama, syafaat umum. Makna umum, Allah mengizinkan kepada salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang shalih untuk memberikan syafaat kepada orang-orang yang diperkenankan untuk diberi syafaat. Syafaat ini diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, nabi-nabi lainnya, orang-orang jujur, para syuhada, dan orang-orang shalih. Mereka memberikan syafaat kepada penghuni neraka dari kalangan orang-orang beriman yang berbuat maksiat agar mereka keluar dari neraka.
Kedua, syafaat khusus, yaitu syafaat yang khusus diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan syafaat terbesar yang terjadi pada Hari Kiamat. Tatkala manusia dirundung kesedihan dan bencana yan tidak kuat mereka tahan, mereka meminta kepada orang-orang tertentu yang diberi wewenang oleh Allah untuk memberi syafaat. Mereka pergi kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa. Tetapi mereka semua tidak bisa memberikan syafaat hingga mereka datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berdiri dan memintakan syafaat kepada Allah, agar menyelamatkan hamba-hamba-Nya dari adzab yang besar ini. Allah pun memenuhi permohonan itu dan menerima syafaatnya. Ini termasuk kedudukan terpuji yang dijanjikan Allah di dalam firman-Nya,
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا
Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Israa’: 79)
Di antara syafaat khusus yang diberikan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah syafaatnya kepada penghuni surga agar mereka segera masuk surga, karena penghuni surga ketika melewati jembatan, mereka diberhentikan di tengah jembatan yang ada di antara surga dan neraka. Hati sebagian mereka bertanya-tanya kepada sebagian lain, hinngga akhirnya mereka bersih dari dosa. Kemudian mereka baru diizinkan masuk surga. Pintu surga itu bisa terbuka karena syafaat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Macam Kedua, syafaat batil yang tidak berguna bagi pemiliknya, yaitu anggapan orang-orang musyrik bahwa tuhan-tuhan mereka dapat memerintahkan syafaat kepada Allah. Syafaat semacam ini tidak bermanfaat bagi mereka seperti yang difirmankan-Nya,
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat.” (QS. Al-Mudatstsir: 48)
Demikian itu karena Allah tidak rela kepada kesyirikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik itu dan tidak mungkin Allah memberi izin kepada para pemberi syafaat itu, untuk memberikan syafaat kepada mereka; karena tidak ada syafaat kecuali bagi orang yang diridhai Allah. Allah tidak meridhai hamba-hamba-Nya yang kafir dan Allah tidak senang kepada kerusakan.
Ketergantungan orang-orang musyrik kepada tuhan-tuhan mereka dengan menyembahnya dan mengatakan, “Mereka adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah,” (QS. Yunus: 18) adalah ketergantungan batil yang tidak bermanfaat. Bahkan yang demikian itu tidak menambah mereka kecuali semakin jauh dari Allah, karena orang-orang musyrik meminta syafaat kepada berhala-berhala dengan cara yang batil, yaitu menyembahnya. Itu kebodohan mereka yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah, tetapi sebenarnya tidak lain hanya menjadikan mereka semakin jauh.
Syafaat (Syafa‘atul Uzhma)
Syafa‘atul ‘Uzhma adalah pertolongan atau pengampunan yang diberikan oleh Allah Swt kepada sebagian manusia di akhirat nanti. Pengampunan ini diberikan dengan cara memberikan izin kepada Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakannya. Pada saat itu, konon umat manusia akan berada dalam kebingungan dikarenakan kesalahan dan khilaf mereka selama hidup di Dunia. Semua umat manusia akan mencari pertolongan agar terhindar dari azab Allah SWT. Maka umat manusia akan mendatangi para nabi untuk meminta syafa’at (pertolongan). Para Nabi menyatakan bahwa mereka tidak sanggup melaksanakannya. Akhirnya atas petunjuk Nabi Isa as, umat manusia disarankan untuk mendatangi Nabi Muhammad SAW agar beliau memohon kepada Allah Swt sehingga derita yang mereka tanggung itu hilang dan tidak bingung lagi. Setelah Nabi Muhammad SAW berdoa, maka Allah Swt mengabulkannya dengan memberi izin kepada beliau untuk memberi syafa‘at (pertolongan) kepada mereka yang dipilih oleh Nabi SAW berdasarkan izin dari Allah SWT, maka Nabi Muhammad SAW akan membebaskan orang-orang yang beriman dari derita itu dan memasukkan mereka ke dalam surga, sedang orang-orang kafir dimasukkan ke dalam neraka, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُونَ لَوْ اسْتَشْفَعْنَا عَلَى رَبِّنَا حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ أَنْتَ الَّذِي خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ وَأَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ رَبِّنَا فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ وَيَقُولُ ائْتُوا نُوحًا أَوَّلَ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللهُ فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ ائْتُوا إِبْرَاهِيمَ الَّذِي اتَّخَذَهُ اللهُ خَلِيلاً فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ ائْتُوا مُوسَى الَّذِي كَلَّمَهُ اللهُ فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ فَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ ائْتُوا عِيسَى فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ ائْتُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ فَيَأْتُونِي فَأَسْتَأْذِنُ عَلَى رَبِّي فَإِذَا رَأَيْتُهُ وَقَعْتُ سَاجِدًا فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ يُقَالُ لِي ارْفَعْ رَأْسَكَ سَلْ تُعْطَهْ وَقُلْ يُسْمَعْ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ فَأَرْفَعُ رَأْسِي فَأَحْمَدُ رَبِّي بِتَحْمِيدٍ يُعَلِّمُنِي ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا ثُمَّ أُخْرِجُهُمْ مِنْ النَّارِ وَأُدْخِلُهُمْ الْجَنَّةَ ثُمَّ أَعُودُ فَأَقَعُ سَاجِدًا مِثْلَهُ فِي الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ حَتَّى مَا بَقِيَ فِي النَّارِ إِلاَّ مَنْ حَبَسَهُ الْقُرْآنُ. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: berkata Rasulullah SAW: Nanti Allah akan mengumpulkan manusia di hari kiamat, lalu mereka berkata, seandainya ada orang yang memohonkan syafaat kepada Tuhan kami untuk kami sehingga kami terbebas dari keadaan kami ini. Lalu mereka datang kepada Nabi Adam, mereka berkata: Engkaulah orang yang diciptakan Allah dengan tangan-Nya (langsung) dan meniupkan kepada engkau ruh dari-Nya dan memerintahkan malaikat, lalu mereka sujud kepada engkau, maka berilah kami syafaat yang berasal dari Tuhan kami. Adam menjawab: bukan aku yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Adam berkata: datanglah kepada Nuh Rasul yang pertama kali diutus Allah. Lalu mereka datang kepada Nuh dan Nuh menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Datanglah kepada Ibrahim orang yang dijadikan Allah teman-Nya. Lalu mereka datang kepada Ibrahim dan Ibrahim menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Datanglah kepada Musa orang yang pernah berbicara dengan Allah. Lalu mereka datang kepada Musa dan Musa menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Datanglah kepada Isa dan Isa menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, datanglah kepada Muhammad SAW, karena sesungguhnya Muhammad telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang. Mereka pun mendatangiku, maka aku pergi minta izin kepada Tuhanku. Maka ketika aku melihat-Nya aku segera sujud, Ia membiarkanku sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Kemudian dikatakan: Angkatlah kepala engkau, mintalah pasti diberi, katakanlah niscaya akan didengar, mintalah syafaat pasti diberi. Lalu aku mengangkat kepalaku, lalu aku memanjatkan pujian kepada Tuhanku sesuai dengan yang diajarkan kepadaku, kemudian aku diizinkan memberi syafaat kepada orang-orang tertentu. Kemudian aku keluarkan mereka dari neraka dan aku masukkan ke dalam surga. Kemudian aku kembali menyatakan dan bersujud seperti semula, kemudian ketiga dan keempat, sehingga yang tinggal dalam neraka adalah orang yang tidak percaya dan menantang al-Qur’an.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Selain hadits di atas, ada lagi beberapa hadits shahih yang menerangkan tentang syafaat itu dan isinya sama dengan isi hadits di atas.
Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Hak memberi syafaat itu hanya ada pada Allah swt, sebagaimana yang ditegaskannya:
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ. البقرة 255.
Artinya: “Siapakah yang dapat memberi syafa‘at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” (QS. al-Baqarah (2): 255).
  1. Pada hari kiamat Nabi Muhammad SAW diberi izin oleh Allah untuk memberi syafa’at kepada sebagian manusia sesuai pilihan Nabi SAW dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
    Di antara yang diberi syafaat itu ialah orang-orang yang mencintai Nabi SAW dan beriman kepada al-Qur’an serta tidak menentangnya. Wallohu a’lam bishowab.
Membaca sholawat menjadi salah satu bukti cinta kita kepada Nabi SAW. Kita wajib mencintai Nabi SAW, karena beliaulah yang telah membawa kita ke jalan Allah SWT. Orang yang membaca sholawat pasti orang yang mencintai Nabi SAW, tidak mungkin orang yang membencinya. Oleh sebab itu kita disarankan untuk senantiasa bersholawat kepada Beliau, kapan pun dan dimanapun (bukan hanya dalam ceremoni atau ketika susah saja) sesuai dengan firman Allah di atas (Al-Ahzab:56). Tentunya cara bersholawatnya harus dengan cara yang baik dan benar serta tidak berlebihan. Ketika bersholawat, maka harus disertai dengan mengingat perjuangan Nabi SAW seperti halnya Beliau selalu mengingat umat-umatnya. Nabi SAW selalu sayang kepada umatnya bahkan sampai akhir hayatnya yang diingat adalah umatnya, maka kita pun harus membuktikan rasa sayang kepada Beliau, diantaranya dengan senantiasa bersholawat dan mengikuti sunnahnya.
Di Masyarakat, kemudian berkembang syair-syair untuk memuji Nabi SAW, oleh sebagian bahkan sering diadakan acara sholawatan tetapi kadang kala dilakukan dengan berlebihan bahkan sambil dikeraskan. Sesungguhnya kegiatan seperti ini diawali semenjak zaman Sholahuddin Al-Ayyubi. Ketika itu kaum muslimin membutuhkan motivasi dalam berperang (perang salib). Karena bertepatan dengan bulan Rabiul awwal (bulan kelahiran Nabi) maka, Solahuddin al-Ayyubi memiliki ide untuk merayakan hari kelahiran Nabi SAW, yang kemudian dikenal dengan istilah Mauludan. Rangkaian acara tersebut diantaranya dilakukan dengan membuat sayembara untuk membuat syair-syair untuk mengingat perjuangan Nabi saw agar kaum muslimin semakin mencintai Nabi SAW dan mendapat motivasi untuk berperang. Syair-syair tersebut kemudian berkembang bahkan dijadikan sebagai bacaan dalam ceremoni sholawatan. Jadi sholawatan seperti itu sesungguhnya bukan bagian dari Ibadah tetapi hanya ceremoni saja, bahkan bisa disebut kegiatan kesenian saja. Wallohu a’lam bishowab.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007.



Share:

Related Posts:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini

Blog Archive


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer