Pada masyarakat Islam, persatuan dan
kesatuan atau lebih sering disebut dengan ukhuwah Islamiyah merupakan sesuatu
yang sangat penting dan mendasar, apalagi hal ini merupakan salah satu ukuran
keimanan yang sejati. Karena itu, ketika Nabi Saw berhijrah ke Madinah, yang
pertama dilakukannya adalah Al-Muakhah, yakni mempersaudarakan sahabat
dari Makkah atau muhajirin dengan sahabat yang berada di Madinah atau kaum
Anshar. Ini berarti, ketika seseorang atau suatu masyarakat beriman, maka
seharusnya ukhuwah Islamiyah yang didasari oleh iman menjelma dalam kehidupan
sehari-hari, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya mukmin itu bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat.” [QS Al-Hujurat (49):10]
Satu hal yang harus diingat bahwa,
ketika ukhuwah islamiyah hendak diperkokoh atau malah sudah kokoh, ada saja
upaya orang-orang yang tidak suka terhadap persaudaraan kaum muslimin, mereka
berusaha untuk merusak hubungan di antara sesama kaum muslimin dengan
menyebarkan fitnah dan berbagai berita bohong. Dalam kehidupan umat Islam, kita
akui bahwa ukhuwah Islamiyah belum berwujud secara ideal, namun musuh-musuh
umat ini tidak suka bila ukhuwah itu berwujud, mereka terus berusaha
menghambatnya. Karena itu, setiap kali ada berita buruk, kita tidak boleh
langsung mempercayainya, tapi lakukan tabayyun atau cek dan ricek terlebih
dahulu kebenaran berita itu. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu
itu.” [QS Al-Hujurat (49): 6]
Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika
Al-Harits datang menghadap Nabi Muhammad saw., beliau mengajaknya masuk Islam,
bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk
membayar zakat. Kepada Rasulullah, Al-Harits menyatakan, “Saya akan pulang ke
kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila
sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya.” Namun ketika
zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul,
ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al-Harits beserta rombongan
berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.
Sementara itu, Rasulullah saw.
mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun di tengah perjalanan
hati Al-Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni
Al-Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya.
Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi
beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits. Ketika utusan itu bertemu
dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus kepadamu.” Al-Harits bertanya,
“Mengapa?” Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus
Al-Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat
bahkan mau membunuhnya.”
Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang
telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak
ada yang datang kepadaku.” Maka ketika mereka sampai kepada Nabi saw., beliau
pun bertanya, “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?”
“Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat
demikian.” Maka turunlah ayat itu.
Surat Al Hujurat ayat 6 di atas
menggunakan kata naba’ bukan khabar. M. Quraish Shihab dalam
bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua kata itu.
“Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar
menunjukkan berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang
perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun
isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu
diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan
energi.”
Enam Perusak Ukhuwah
Mengingat kedudukan ukhuwah
islamiyah yang sedemikian penting, maka memeliharanya menjadi sesuatu yang amat
ditekankan. Disamping harus mengecek kebenaran suatu berita buruk yang
menyangkut saudara kita yang muslim, ada beberapa hal yang harus kita hindari
agar ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara. Allah swt berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokan) dan jangan pula wanita wanita-wanita mengolok-olokan wanita
yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [QS Al-Hujurat (49): 11-12]
Dari ayat di atas, ada enam hal yang
harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah tetap terpelihara: Pertama,
memperolok-olokan, baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan
kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa
sakit hati, kemarahan dan permusuhan. Manakala kita tidak suka diolok-olok,
maka janganlah kita memperolok-olok, apalagi belum tentu orang yang kita
olok-olok itu lebih buruk dari diri kita. Kedua, mencaci atau
menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila kalimat
penghinaan itu bukan sesuatu yang benar. Manusia yang suka menghina berarti
merendahkan orang lain, dan iapun akan jatuh martabatnya.
Ketiga, memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak
disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk
memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu. Orang yang pendek tidak mesti
kita panggil si pendek, orang yang badannya gemuk tidak harus kita panggil
dengan si gembrot, begitulah seterusnya karena panggilan-panggilan seperti itu
bukan sesuatu yang menyenangkan. Memanggil orang dengan gelar sifat yang buruk
juga tidak dibolehkan meskipun sifat itu memang dimilikinya, misalnya karena si
A sering berbohong, maka dipanggillah ia dengan si pembohong, padahal sekarang
sifatnya justru sudah jujur tapi gelar si pembohong tetap melekat pada dirinya.
Karenanya jangan dipanggil seseorang dengan gelar-gelar yang buruk.
Keempat, berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri
hati (hasad). Akibatnya ia berburuk sangka bila seseorang mendapatkan kenimatan
atau keberhasilan. Sikap seperti harus dicegah karena akan menimbulkan
sikap-sikap buruk lainnya yang bisa merusak ukhuwah islamiyah.
Kelima,
mencari-cari kesalahan orang lain, hal ini karena memang tidak ada perlunya
bagi kita, mencari kesalahan diri sendiri lebih baik untuk kita lakukan agar
kita bisa memperbaiki diri sendiri.
Keenam, bergunjing dengan
membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak menyukainya,
apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang. Manakala kita
mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka bila hal itu diketahui orang
lain, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak membicarakannya.
Dari uraian di atas dapat kita
simpulkan bahwa ketika ukhuwah islamiyah kita dambakan perwujudannya, maka
segala yang bisa merusaknya harus kita hindari. Bila ukhuwah sudah terwujud,
yang bisa merasakan manfaatnya bukan hanya sesama kaum muslimin, tapi juga umat
manusia dan alam semesta, karena Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi
seluruh alam. Karenanya mewujudkan ukhuwah Islamiyah merupakan kebutuhan
penting dalam kehidupan ini.
0 Comments:
Posting Komentar