Rasulullah saw menganjurkan kepada
kita untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan memperbanyak sholat. Abu Hurairah
r.a. menceritakan bahwa Nabi saw. Sangat mengajurkan qiyam ramadhan dengan
tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi saw. Bersabda, “Siapa yang mendirikan shalat
di malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan, maka ia diampuni
dosa-dosanya yang telah lampau.” (muttafaq alaih)
Dan fakta sejarah memberi bukti,
sejak zaman Rasulullah saw. hingga kini, umat Islam secara turun temurun
mengamalkan anjuran Rasulullah ini. Alhamdulillah. Tapi sayang, dalam pelaksanaannya
terdapat perbedaan di beberapa hal yang kadang mengganggu ikatan ukhuwah di
kalangan umat. Seharusnya itu tak boleh terjadi jika umat tahu sejarah
disyariatkannya shalat tarawih.
Pada awalnya shalat tarawih
dilaksanakan Nabi saw. dengan sebagian sahabat secara berjamaah di Masjid
Nabawi. Namun setelah berjalan tiga malam, Nabi membiarkan para sahabat
melakukan tarawih secara sendiri-sendiri. Hingga dikemudian hari, ketika
menjadi Khalifah, Umar bin Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih terpencar-pencar
di dalam Masjid Nabawi. Terbersit di benak Umar untuk menyatukannya.Umar
memerintahkan Ubay bin Kaab untuk memimpin para sahabat melaksanakan shalat
tarawih secara berjamaah. ‘Aisyah menceritakan kisah ini seperti yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Untuk selengkapnya silahkan lihat Al-Lu’lu
War Marjan: 436. berdasarkan riwayat itulah kemudian para ulama sepakat
menetapkan bahwa shalat tarawih secara berjamaah adalah sunnah.
Bahkan, para wanita pun dibolehkan
ikut berjamaah di masjid, padahal biasanya mereka dianjurkan untuk melaksanakan
shalat wajib di rumah masing-masing. Tentu saja ada syarat: harus memperhatikan
etika ketika di luar rumah. Yang pasti, jika tidak ke masjid ia tidak
berkesempatan atau tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah, maka
kepergiannya ke masjid tentu akan memperoleh kebaikan yang banyak.
Jumlah Rakaat
Berapa rakaat shalat tarawih para
sahabat yang diimami oleh Ubay bin Kaab? Hadits tentang kisah itu yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari tidak menjelaskan hal ini. Begitu juga hadits
yang diriwayatkan oleh Aisyah. Hanya menyebut Rasulullah saw. shalat tarawih
berjamaah bersama para sahabat selama tiga malam. Berapa rakaatnya, tidak
dijelaskan. Hanya ditegaskan bahwa tidak ada perbedaan jumlah rakaat shalat malam
yang dilakukan Rasulullah di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Jadi,
hadits ini konteksnya lebih kepada shalat malam secara umum. Maka tak heran
jika para ulama menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk shalat malam secara
umum. Misalnya, Iman Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam Bab Shalat
Tahajjud. Iman Malik di Bab Shalat Witir Nabi saw. (Lihat Fathul Bari
4/250 dan Muwattha’ 141).
Inilah yang kemudian memunculkan
perbedaan jumlah rakaat. Ada yang menyebut 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39. Ada
yang berpegang pada hadits ‘Aisyah dalam Fathul Bari, “Nabi tidak pernah
melakuka shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di bulan Ramadhan maupun di
luar Ramadhan.”
Sebagian berpegang pada riwayat
bahwa Umar bin Khattab –seperti yang tertera di Muwattha’ Imam
Malik—menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-Dari untuk melaksanakan shalat
tarawih 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang panjang. Namun dalam riwayat Yazid
bin Ar-Rumman dikabarkan jumlah rakaat shalat tarawih yang dilaksanakan di
zaman Umar adalah 23 rakaat.
Dalam kitab Fiqh Sunnah karya
Sayyid Sabiq, Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar, Ali, dan sahabat lainnya
melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat selain witir. Pendapat ini didukung Imam
At-Tsauri, Imam Ibnu Mubarak, dan Imam Asy-Syafi’i.
Di Fathul Bari ditulis bahwa
di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat
ditambah witir 3 rakaat. Imam Malik berkata bahwa hal itu telah lama
dilaksanakan.
Masih di Fathul Bari, Imam
Syafi’i dalam riwayat Az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat
Islam melaksanakan shalat tarawih di Madinah dengan 39 rakaat dan di Makkah 33
rakaat. Menurut Imam Syafi’i, jumlah rakaat shalat tarawih memang memiliki
kelonggaran.
Dari keterangan di atas, jelas akar
persoalan shalat tarawih bukan pada jumlah rakaat. Tapi, pada kualitas rakaat
yang akan dikerjakan. Ibnu Hajar berkata, “Perbedaan yang terjadi dalam jumlah
rakaat tarawih mucul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan.
Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada
sedikitnya jumlah rakaat; dan demikian sebaliknya.”
Imam Syafi’i berkata, “Jika
shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika
shalatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun
aku lebih senang pada yang pertama.” Selanjutnya beliau mengatakan bahwa orang
yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan 3 witir dia telah mencontoh
Rasulullah, sedangkan yang menjalankan tarawih 23 rakaat mereka telah mencontoh
Umar, generasi sahabat dan tabi’in. Bahkan, menurut Imam Malik, hal itu telah
berjala lebih dari ratusan tahun.
Menurut Imam Ahmad, tidak ada
pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung
panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Imam Az-Zarqani mengkutip pendapat
Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat
panjang, kemudian bergeser menjadi 20 rakaat tanpa witir setelah melihat adanya
fenomena keberatan umat dalam melaksanakannya. Bahkan kemudian dengan alasan yang
sama bergeser menjadi 36 rakaat tanpa witir (lihat Hasyiyah Fiqh Sunnah:
1/195)
Jadi, tidak ada alasan sebenarnya
bagi kita untuk memperselisihkan jumlah rakaat. Semua sudah selesai sejak zaman
sahabat. Apalagi perpecahan adalah tercela dan persatuan umat wajib dibina. Isu
besar dalam pelaksanaan shalat tarawih adalah kualitas shalatnya. Apakah
benar-benar kita bisa memanfaatkan shalat tarawih menjadi media yang
menghubungkan kita dengan Allah hingga ke derajat ihsan?
Cara Melaksanakan Tarawih
Hadits Bukhari yang diriwayatkan
Aisyah menjelaskan cara Rasulullah saw. melaksanakan shalat malam adalah dengan
tiga salam. Jadi, dimulai dengan 4 rakaat yang sangat panjang lalu ditambah 4
rakaat yang panjang lagi kemudian disusul 3 rakaat sebagai witir (penutup).
Boleh juga dilakukan dengan dua
rakaat dua rakaat dan ditutup satu rakaat. Ini berdasarkan cerita Ibnu Umar
bahwa ada sahabat bertanya kepada Rasulullah saw. tentang cara Rasulullah saw.
mendirikan shalat malam. Rasulullah saw. menjawab, “Shalat malam didirikan dua
rakaat dua rakaat, jika ia khawatir akan tibanya waktu subuh maka hendaknya
menutup dengan satu rakaat (muttafaq alaih, lihat Al-Lu’lu War Marjan:
432). Rasulullah saw. sendiri juga melakukan cara ini (lihat Syarh Shahih
Muslim 6/46-47 dan Muwattha’: 143-144).
Dari data-data di atas, Ibnu Hajar
menyimpulkan bahwa Rasulullah saw. kadang melakukan witir dengan satu rakaat
dan kadang tiga rakaat.
Jadi, sangat tidak pantas jika
perbedaan jumlah rakaat shalat tarawih menjadi isu pemecah persatuan umat.
Wallahu A`lam..
0 Comments:
Posting Komentar