Seperti yang telah kita ketahui bahwa Bulan Ramadhan merupakan bulan penuh berkah, rahmat,
dan keutamaan, sehingga menjadi sebuah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan
ampunan Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan
siksaNya. Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita
sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada
kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta
peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana
pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang
mestinya menghuni neraka.
Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:
عن أبي هُرَيْرَةَ قال قال رسول
اللَّهِ صلى الله عليه… وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ من النَّارِ وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia
berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “…Dan Allah memiliki
orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam
(Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]
Dalam hadits lain seorang sahabat
bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
يَا رَسُولَ اللهِ فَمُرْنِي بِعَمَلٍ
أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
(artinya) : Wahai Rasulullah maka
perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi
menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu
Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]
Dua keutamaan di atas menggambarkan
kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari
keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan
sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini
bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup
sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru
bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap
hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat kita telah memasuki
bulan Ramadhan dan mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.
Nah, untuk menggapai keutamaan
tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang
sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan
puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan
mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada
garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?
Pertama: pembatal puasa
Hal
– Hal yang membatalkan Puasa Ramadhan antara lain :
- Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya.
- Melakukan hubungan suami istri disiang hari, Jima’ (bersenggama).
- Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah bagi orang yang berpuasa.
- Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja, Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluamya tanpa sengaja. .
- Keluarnya darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam matahari.
- Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha. ” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dalam lafazh lain disebutkan : “Barangsiapa muntah tanpa disengaja, maka ia tidak (wajib) mengganti puasanya).” DiriwayatRan oleh Al-Harbi dalamGharibul Hadits (5/55/1) dari Abu Hurairah secara maudu’ dan dishahihRan oleh AI-Albani dalam silsilatul Alhadits Ash-Shahihah No. 923.
Catatan
:
Tidak
batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak
tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika tenggorokannya kemasukan debu,
lalat, atau air tanpa disengaja.
Jika
wanita nifas telah suci sebelum sempurna empat puluh hari, maka hendaknya ia
mandi, shalat dan berpuasa.
Kedua: pembatal pahala puasa
Poin kedua adalah berkaitan dengan
hal-hal yang membatalkan pahala puasa, mengingat banyaknya orang-orang yang
berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada
ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya
dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam
kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu
suatu ancaman.
Hal ini dikarenakan puasa bukan
sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَ
الشُّرْبِ
(artinya) : Bukanlah puasa itu
sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban
dan Al-Hakim]
Yakni lebih dari itu, ada hal-hal
lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa
dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji,
dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya
berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu
yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang
merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan
manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya
bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak
wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia
mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan,
kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan
sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ
وَالْعَمَلَ بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak
meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah
tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR
Al-Bukhari]
Dalam hadits yang lain:
وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ
صِيَامِهِ الْجُوعُ والعطش
(artinya) : Bisa jadi seorang yang
berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu
Hibban:8/257]
Maka puasa yang sebenarnya adalah
puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum
dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya,
demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak
buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa.
[Al-Wabilushayyib:43]
Menengok kepada realita ibadah puasa
yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
- Puasa orang awam, yaitu
sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
- Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran,
penglihatan dan seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
- Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina,
pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain
Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]
Demikian yang terjadi pada
pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang,
baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan
yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang
berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya
kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.
Selanjutnya untuk menuju puasa yang
terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada
bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini,
sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita
rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari beberapa hal sebagaimana tersebut
dalam hadits-hadits berikut ini:
من لم يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ
بِهِ و الجهل فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ في أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
(artinya) : Barangsiapa yang tidak
meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah
tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al
Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الصِّيَامَ لَيْسَ مِنَ الأَكْلِ
وَالشُّرْبِ فَقَطْ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغُوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ
سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya puasa itu bukan
menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah
menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila
seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah:
‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه يقول
قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قال الله وإذا كان يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ
فلا يَرْفُثْ ولا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إني
امْرُؤٌ صَائِمٌ
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia
berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah
berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah
ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila
seseorang mencacimu atau mengganggumu maka katakanlah: ‘Saya ini orang yang
sedang berpuasa…’.” [Shahih, HR Al-Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم قَالَ لا تَسَابَّ وَأَنْتَ صَائِمٌ وَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ
فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ وَإِنْ كُنْتَ قَائِمًا فَاجْلِسْ
(artinya) : Dari Abu Hurairah dari
Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara
kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya
saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih,
HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411,
tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam
Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]
Dari hadits-hadits di atas maka
dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan
menguranginya adalah sebagai berikut:
1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau
konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini
disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang
keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan
perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang
dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan
jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya
pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya
disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat
An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga
amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul
Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian
[An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni
jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih
al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut
Demikian beberapa hal yang mesti
dijauhi saat seseorang sedang berpusa agar pahanya tidak berkurang atau batal,
disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang
akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia
menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً
للِصَّياَمِ مِنَ اللّْغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ مَنْ
أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia
berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari
laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka
barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan
barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah
dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau
mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak
meriwayatkannya]
Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…
0 Comments:
Posting Komentar