مَن
كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ اْلأَخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ
حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَالَهُ فِي اْلأَخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki
keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa
yang menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari
keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy-Syura: 20)
Semua manusia bergerak dan berusaha
demi kenikmatan yang menjadi tujuan. Garis besarnya ada dua titik akhir yang
diharapkan. Ada yang mengingini dunia sebagai terminal akhir perjalanan, ada
pula yang menatap lebih jauh ke depan, mereka jadikan akhirat sebagai akhir
perjalanan yang didambakan. Masing-masing titik tujuan, ada penggemarnya. Ada
yang banting tulang demi nikmat dunia yang didamba, ada yang bekerja keras demi
kejayaan hidup setelah dunia menjadi sirna. Sahabat Ali bin Thalib
mengistilahkan dengan abna’ul akhirah dan abna’ud dunya.
Beliau berkata setelah menyebutkan perbedaan karakter dunia dan akhirat,
وَلِكُلِّ
وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ
تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ،
وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ
“Masing-masing dari keduanya
memiliki generasi (penggemar), maka jadilah generasi akhirat, dan janganlah
menjadi generasi dunia, karena sesungguhnya hari ini (di dunia) adalah tempat
berjuang belum ada perhitungan (hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah
hari perhitungan, tidak ada lagi amal.” (Shahih al-Bukhari)
Karakter Pemburu Akhirat
Orang yang cerdas akan menjatuhkan
pilihan akhirat sebagai negeri tujuan yang didambakan. Alasannya sangat kuat,
tak ada satu celahpun keraguan hati yang melekat. Karena informasi bersumber
dari al-Qur’an yang seratus persen akurat. Allah berfirman.
äotÅzFy$#ur ׎öyz #’s+ö/r&ur ÇÊÐÈ
” Sedang kehidupan akhirat
adalah lebih baik dan lebih kekal.” {Al-’Ala : 17}
Jenis kenikmatan yang tersedia
terlampau hebat untuk dibayangkan. Masa mengenyam kelezatannya kekal tiada
batasan. Hanya orang bodoh yang rela kehilangan, demi kenikmatan yang sangat
sedikit, dengan durasi waktu yang sangat sempit.
Karena itulah, Nabi memberikan
gelar al-kayyis, orang yang jenius bagi mereka yang mau mengevaluasi diri dan
berbekal untuk hidup setelah mati.
Mereka rela mempertaruhakn apapun
demi mendapatkan jannah yang dinanti. Mereka juga rela kehilangan berbagai
kenikmatan syahwati yang bisa menjerumuskan ke dalam kesengsaraan abadi. Maka
segala penderitaan apapun di dunia dia senantiasa berusaha untuk bersabar.
Karena itu terlalu ringan dan singkat bila dibanding dengan siksa di akhirat.
Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya azab di akhirat
itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS Thaha 127)
Orang yang serius menjadi pejuang
akhirat, pastilah banyak memikirkan dan mengingatnya. Seperti orang yang senang
dengan hobi tertentu, pandangannya akan tertuju kepada apa yang menjadi
kecenderungannya. Seperti para pekerja bangunan tatkala masuk ke dalam bangunan
yang indah mempesona. Tukang batu akan memerhatikan dindingnya, tukang kayu
akan mengamati kursi, almarai, pintu dan jendelanya.
Begitu pula keadaan orang yang
hatinya terkait dengan akhirat. Tatkala melihat orang yang tidur, dia mengingat
kematian, jika berada di kegelapan, dia ingat alam kubur, jika merasakan atau
melihat kenikmatan, maka dia akan mengingat jannah.
Seperti Imam Hasan al-Bashri,
tatkala dijamu dengan air yang dingin nan segar, seketika beliau terkejut dan
pingsan. Setelah siuman, beliau ditanya, ”Ada apa dengan Anda wahai Abu Sa’id?”
Beliau menjawab, “Aku teringat akan harapan penghuni neraka tatkala mereka
berkata kepada penghuni jannah,
”Limpahkanlah kepada kami sedikit
air, atau makanan yang telah dirizkikan Allah kepadamu.” (QS al-A’raf 50)
Di zaman sahabat, ada Abu Darda’
radhiyallahu ’anhu. Ketika ada jenazah lewat di depan beliau, llau beliau
ditanya, “Jenazah siapa yang baru saja lewat itu?” Maka beliau menjawab, “Itu
adalah kamu dan aku, tidakkah kamu membaca firman Allah,
“Sesungguhnya kamu mayit, dan
mereka adalah mayit.”
Dan masih banyak lagi teladan yang
menakjubkan dari para pemburu akhirat.
Derita Para Pemuja Dunia
Sebagaimana tersirat dalam ayat
yang kita bahas, pemburu dunia akan mendapatkan kerugian besar dari dua sisi,
“dan barang siapa yang
menghendaki keuntungan di dunia kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”(QS asy-Syuura 20)
Dia tidak mampu mengenyam semua
kenikmatan dunia yang diidamkan, tidak pula sempat menikmati seluruh hasil
jerih payah yang diusahakan. Dan yang lebih berat lagi, dia tidak mendapatkan
kenikmatan apapun, atau kebahagiaan sedikitpun di akhirat. Laa haula wa laa
quwwata illa billah.
Marilah kita simak perumpamaan
para ulama yang makin memperjelas, betapa piciknya orang yang rela mengorbankan
akhirat demi secuil kenikmatan dunia yang fana.
Perumpamaan pertama datang dari
Bisyr bin al-Harits al-Hafi rahimahullah. Beliau berkata, Dunia itu laksana
biji-bijian yang dikumpulkan semut di musim panas sebagai simpanan menghadapi
musim dingin. Tanpa sadar, tatkala semut sedang asyik membawa sebutir biji di
mulutnya, datanglah seekor burung yang mematuk sang semut beserta sebutir biji
yang sedang dibawanya. Maka semut itu tak sempat menikmati makanan yang
dikumpulkannya, tidak pula mendapatkan apa yang diharapkannya.” Terapkanlah
permisalan tersebut, di mana biji-bijian itu adalah kenikmatan dunia, semut itu
adalah manusia, sedangkan burung tersebut ibarat malakul maut. Betapa banyak
manusia sibuk mengumpulkan harta, hingga kematian tiba-tiba menyergapnya di saat
dia masih mengumpulkan dunianya, dan dia belum sempat mengenyam semua hasil
jerih payahnya.
Perumpamaan kedua datang dari
seorang ulama yang sangat faqih di Abad 6 H, Ibnu al-Jauzi rahimahullah. Beliau
mengumpamakan dunia laksana perangkap yang ditebar di dalamnya biji-bijian.
Sedangkan manusia ibarat seekor burung yang menyukai biji-bijian. Burung-burung
itu hanya asyik menikmati bijian-bijian itu, tanpa menaruh waspada terhadap
perangkap yang akan menjeratnya sekejap mata. Cukup jelas, pemburu dunia
terperangkap kenikmatan yang menipu, akhirnya mendekam dalam kesengsaraan tanpa
batasan waktu.
Perumpamaan yang lebih menohok
dibuat oleh senior tabi’in, Imam penduduk Bashrah, Imam Hasan al-Bashri
rahimahullah. Beliau berkata, “Wahai anak Adam, pisau telah diasah, dapur api
telah dinyalakan, sedangkan domba masih sibuk menikmati makanan.”
Ya, siksa telah disiapkan, tapi
manusia masih terbuai dengan kenikmatan yang memperdayakan.
Wallahul musta’an..
Sumber:
Majalah Islam Ar-Risalah
0 Comments:
Posting Komentar