Fenomena kesyirikan dan pelanggaran
tauhid banyak terjadi di masyarakat kita dan seolah sudah sangat mendarah daging, karena kurangnya pengetahuan mereka
tentang masalah tauhid dan keimanan, serta hal-hal yang bisa mendangkalkan
bahkan merusak akidah (keyakinan) seorang muslim.
Kenyataan ini diisyaratkan dalam
banyak ayat al-Qur’an, di antaranya dalam firman Allah Ta’ala,
{وَمَا يُؤْمِنُ
أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ}
“Dan sebagian besar manusia tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan
sembahan-sembahan lain)” (QS Yusuf:106).
Ibnu Abbas menjelaskan arti ayat
ini, “Kalau ditanyakan kepada mereka: Siapakah yang menciptakan langit?
Siapakah yang menciptakan bumi? Siapakah yang menciptakan gunung? Maka mereka
akan menjawab: “Allah (yang menciptakan semua itu)”, (tapi bersamaan dengan
itu) mereka mempersekutukan Allah (dengan beribadah dan menyembah kepada
selain-Nya)[1].
Semakna dengan ayat di atas Allah
Ta’ala juga berfirman,
{وَمَا أَكْثَرُ
النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ}
“Dan sebagian besar manusia tidak
beriman (dengan iman yang benar) walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS
Yusuf:103).
Artinya: Mayoritas manusia walaupun
kamu sangat menginginkan dan bersunguh-sungguh untuk (menyampaikan) petunjuk
(Allah), mereka tidak akan beriman kepada Allah (dengan iman
yang benar), karena mereka memegang teguh (keyakinan) kafir (dan syirik) yang
merupakan agama (warisan) nenek moyang mereka[2].
Dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini dalam sabda beliau:
«لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى
تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا
الأَوْثَانَ»
“Tidak akan terjadi hari kiamat
sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang
musyrik dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah
selain Allah Ta’ala)”[3].
Ayat-ayat dan hadits di atas
menunjukkan bahwa perbuatan syirik terus ada dan terjadi di umat Islam sampai
datangnya hari kiamat[4].
Tukang sihir dan dukun
adalah Thagut sekaligus syaitan dari kalangan manusia
Allah Ta’ala berfirman,
{هَلْ
أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنزلُ الشَّيَاطِينُ، تَنزلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ
أَثِيمٍ، يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ}
“Apakah akan Aku beritakan kepada
kalian, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap
pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk (para dukun dan tukang sihir).
Syaitan-syaitan tersebut menyampaikan berita yang mereka dengar (dengan mencuri
berita dari langit, kepada para dukun dan tukang sihir), dan kebanyakan mereka
adalah para pendusta” (QS asy-Syu’araa’:221-223).
Imam Qatadah[5] menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “para
pendusta lagi banyak berbuat jahat/buruk” adalah para dukun dan tukang sihir[6], mereka itulah teman-teman dekat para syaitan
yang mendapat berita yang dicuri para syaitan tersebut dari langit[7].
Bahkan sahabat yang mulia Abdullah
bin Mas’ud ketika menafsirkan firman Allah,
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ
عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ
زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}
“Dan demikianlah Kami jadikan
bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari kalangan) manusia
dan (dari kalangan) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Baliau radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Para dukun (dan tukang sihir) adalah syaitan-syaitan (dari kalangan)
manusia”[8].
Dalam atsar/riwayat yang lain
sahabat yang mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya
tentang arti “Thagut”, beliau t berkata: “mereka adalah para dukun yang
syaitan-syaitan turun kepada mereka”[9].
Thagut adalah segala sesuatu yang dijadikan sembahan selain Allah Ta’ala
dan dijadikan sekutu bagi-Nya[10]. Allah Ta’ala telah mewajibkan kita
untuk mengingkari dan menjauhi Thagut dalam segala bentuknya, bahkan
tidak akan benar keimanan dan tauhid seorang hamba tanpa mengingkari dan
menjauhinya. Allah Ta’ala berfirman,
{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ
رَسُولا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ}
“Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah
(saja), dan jauhilah Thagut itu” (QS an-Nahl:36).
Dalam ayat lain Dia Ta’ala berfirman,
{فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}
“Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah (semata-mata), maka sesungguhnya dia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat (dan) tidak akan putus (kalimat
tauhid Laa ilaaha illallah). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS al-Baqarah:256).
Demikianlah profil sangat buruk para
dukun dan tukang sihir, tapi mengapa masih saja ada orang yang mau mempercayai
mereka, bahkan menyandarkan nasib hidup mereka kepada teman-teman syaitan ini?
Bukankah ini merupakan kebodohan yang nyata dan penentangan besar terhadap
Allah Ta’ala dan agama-Nya?
Termasuk dalam kategori dukun dan
tukang sihir adalah tukang santet, tukang tenung, ahli nujum, peramal, dan
orang yang disebut sebagai “paranormal”[11] atau “orang pintar”.
Praktek kufur dan
syirik yang biasa dilakukan oleh para dukun dan tukang sihir
Allah Ta’ala berfirman,
{وَاتَّبَعُوا مَا
تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ
وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزلَ
عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ
بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي
الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ}
“Dan mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada
dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya
tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan,
“Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka
mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka
dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali
dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada
diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka
telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir
itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka
menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS
al-Baqarah:102).
Ayat ini dengan tegas menyatakan
kafirnya para dukun dan tukang sihir[12], yang ini disebabkan perbuatan syirik
dan kufur yang mereka lakukan, yaitu:
1- Mengaku-ngaku mengetahui hal-hal yang gaib, padahal ini
merupakan kekhususan bagi Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:
{قُلْ لا يَعْلَمُ
مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ الْغَيْبَ إِلا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ
أَيَّانَ يُبْعَثُونَ}
“Katakanlah:”Tidak ada seorangpun
di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan
mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan” (QS an-Naml:65).
Juga dalam firman-Nya,
{عَالِمُ الْغَيْبِ
فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ
يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا}
“(Dia adalah Rabb) Yang
Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang
yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia
mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya” (QS
al-Jin:26-27).
Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan
ayat di atas, beliau berkata: “(Para) ahli nujum dan orang-orang yang seperti
mereka (para dukun dan tukang sihir) yang melakukan (praktek perdukunan) dengan
memukul batu-batu kerikil, melihat buku-buku (perdukunan), atau mengusir burung
(sebagai tanda kesialan atau keberuntungan), mereka itu bukanlah rasul yang
diridhai-Nya untuk diperlihatkan-Nya kepada mereka perkara-perkara gaib yang
mereka inginkan, bahkan mereka adalah orang yang kafir (kepada-Nya), berdusta
(besar) atas (nama)-Nya dengan kebohongan, penipuan dan prasangka (dusta) yang
mereka (lakukan)”[13].
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu
syaikh ketika menjelaskan makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
“Barangsiapa yang mendatangi
dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah
kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam”[14].
Beliau berkata: “Dalam hadits ini
terdapat dalil yang menunjukkan kafirnya dukun dan tukang sihir, karena mereka
mengaku-ngaku mengetahui ilmu gaib, yang ini merupakan kekafiran”[15].
Adapun perkara-perkara gaib yang
disampaikan oleh para dukun yang terkadang benar, maka itu adalah berita
yang dicuri oleh para syaitan dari langit, lalu mereka sampaikan kepada
teman-teman dekat mereka, yaitu para dukun dan tukang sihir, yang kemudian
mencampuradukkan berita tersebut dengan seratus kedustaan sebelum disampaikan
kepada orang lain, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits shahih[16].
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang al-kuhhaan (para dukun),
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah
orang-orang yang tidak punya arti (orang-orang yang hina)”. Kemudian si penanya
berkata, Sesungguhnya para dukun tersebut terkadang menyampaikan kepada kami
suatu (berita) yang (kemudian ternyata) benar. Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalimat (berita) yang benar itu adalah yang
dicuri (dari berita di langit) oleh jin (syaitan), lalu dimasukkannya ke
telinga teman dekatnya (dukun dan tukang sihir), yang kemudian mereka
mencampuradukkan berita tersebut dengan seratus kedustaan”[17].
Peristiwa pencurian berita dari
langit oleh para syaitan banyak terjadi di jaman Jahiliyah sebelum diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun setelah diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu tidak banyak terjadi,
karena Allah Ta’ala telah menjadikan bintang-bintang sebagai penjaga
langit dan pembakar para syaitan yang mencuri berita dari langit[18]. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
{ وَأَنَّا
لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا.
وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ
يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا}
“(Para Jin itu berkata): “Dan
sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami
mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan
sesungguhnya kami dahulu (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam) dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan
(berita-beritanya). Tetapi sekarang (setelah diutusnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu)
tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya)” (QS
al-Jin:8-9).
2- Bekerjasama dengan syaitan dan melakukan perbuatan
kufur/syirik sebagai syarat agar syaitan mau membantu mereka dalam praktek
sihir dan perdukunan.
Para dukun dan tukang sihir selalu
bekerjasama dengan para jin dan setan dalam menjalankan praktek perdukunan dan
sihir mereka, bahkan para jin dan setan tersebut tidak mau membantu mereka
dalam praktek tersebut sampai mereka melakukan perbuatan syirik dan kafir
kepada Allah Ta’ala, misalnya mempersembahkan hewan qurban untuk para
jin dan setan tersebut, menghinakan al-Qur’an dengan berbagai macam cara, atau
perbuatan-perbuatan kafir lainnya[19]. Allah Ta’ala berfirman,
{وَأَنَّهُ كَانَ
رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا}
“Dan bahwasannya ada beberapa
orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki
dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”
(QS al-Jin:6).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala
berfirman,
{وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا
مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ
مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا
الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا
شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ}
“Dan (ingatlah) hari di waktu
Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman): “Hai golongan jin
(syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia”, lalu
berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan
tukang sihir): “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan
kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu
yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allah berfirman: “Neraka itulah tempat
tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki
(yang lain)”. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (QS
al-An’aam:128).
Imam al-Qurthubi berkata:
“Kesenangan/manfaat yang didapatkan jin dari manusia adalah dengan berita
bohong menakutkan, perdukunan dan sihir yang diberikan jin kepada manusia
(dukun dan tukang sihir)”[20].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata:
“Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan dengan manusia mentaatinya, menyembahnya,
mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allah
Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan
tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan
keinginannya. Maka orang yang menghambakan diri pada jin (sebagai imbalannya)
jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya”[21].
Oleh karena itulah, syaikh Abdul
‘Aziz bin Baz ketika menerangkan sebab kafirnya para dukun dan tukang sihir,
beliau berkata, “…Karena dukun dan tukang sihir mengaku-ngaku (mengetahui) ilmu
gaib, dan ini adalah kekafiran, juga karena mereka tidak akan (mungkin)
mencapai tujuan mereka (melakukan sihir dan perdukunan) kecuali dengan melayani
jin (syaitan) dan menjadikannya sembahan selain Allah, dan ini adalah perbuatan
kufur kepada Allah dan syirik (menyekutukan Allah Ta’ala)”[22].
Hukum mendatangi dukun
dan tukang sihir
Mendatangi dan bertanya kepada
teman-teman dekat syaitan ini adalah perbuatan dosa yang sangat besar dan
bahkan bisa jadi merupakan kekafiran kepada Allah Ta’ala[23], dengan perincian sebagai berikut:
-
Mendatangi dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu, tanpa membenarkannya
(hanya sekedar bertanya), maka ini hukumnya dosa yang sangat besar dan tidak
diterima shalatnya selama empat puluh hari[24], berdasarkan sabda Rasululah shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal (orang yang
mengaku mengetahui ilmu gaib, termasuk dukun dan tukang sihir[25]), kemudian bertanya tentang sesuatu hal
kepadanya, maka tidak akan diterima shalat orang tersebut selama empat puluh malam
(hari)”[26].
-
Mendatangi dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu, kemudian membenarkan
ucapan/berita yang mereka sampaikan, maka ini adalah kufur/kafir terhadap Allah
Ta’ala[27], berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal
kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama
yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”[28].
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu
syaikh berkata: “Orang yang membenarkan dukun dan tukang sihir, meyakini
(benarnya ucapan mereka), dan meridhai hal tersebut, maka ini merupakan
kekafiran (kepada Allah Ta’ala)”[29].
Bolehkah
menghilangkan/mengobati sihir dengan bantuan dukun/tukang sihir?
Jawabnya: jelas tidak boleh,
karena kalau mendatangi dan membenarkan tukang sihir/dukun adalah perbuatan
kafir kepada Allah Ta’ala, maka terlebih lagi meminta bantuan kepada
mereka untuk menghilangkan sihir![30].
Oleh karena itu, dalam hadits yang
shahih, ketika Rasulullah r ditanya tentang an-Nusyrah (cara mengobati
sihir) yang biasa dilakukan orang-orang di jaman Jahiliyah, yaitu dengan
meminta tukang sihir/dukun atau memakai sihir untuk menghilangkan sihir
tersebut[31], Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Itu termasuk perbuatan syaitan”[32].
Adapun mengobati sihir dengan ruqyah
(pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur-an dan zikir-zikir dari sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ta’awwudzaat
(zikir-zikir meminta perlindungan dari Allah yang bersumber dari Al Qur-an dan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang disyariatkan, dan
pengobatan-pengobatan (lain) yang diperbolehkan (dalam agama), maka ini boleh
dilakukan dan inilah pengobatan yang diridhai Allah Ta’ala, serta
benar-benar bisa diharapkan kesembuhannya dengan izin-Nya[33].
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah
berkata,“an-Nusyrah adalah (cara) menghilangkan sihir dari orang yang
terkena sihir, yang ini ada dua macam:
(pertama): menghilangkan
sihir dengan sihir yang semisalnya (dengan bantuan dukun/tukang sihir). Inilah
yang termasuk perbuatan syaitan (seperti yang disebutkan dalam hadits
di atas), karena sihir itu termasuk perbuatannya, maka (ini dilakukan dengan
cara) yang melakukan pengobatan (dukun/tukang sihir) dan si pasien melakukan
pendekatan diri kepada syaitan sesuai dengan yang diinginkan syaitan tersebut,
(agar) kemudian syaitan tersebut menghilangkan sihir dari si pasien.
Yang kedua: menghilangkan
sihir dengan ruqyah (pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur-an
dan zikir-zikir dari sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam), ta’awwudzaat
(zikir-zikir meminta perlindungan dari Allah yang bersumber dari Al Qur-an dan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), do’a-do’a, dan
pengobatan-pengobatan (lain) yang diperbolehkan (dalam agama), maka ini
(hukumnya) boleh bahkan dianjurkan (dalam Islam)”[34].
Larangan penggunaan sihir ini juga
berlaku dalam perkara-perkara lain, meskipun perkara itu dianggap baik oleh
sebagian orang, misalnya mendekatkan/menguatkan hubungan cinta pasutri,
mendamaikan dua orang yang sedang berselisih, dan lain sebagainya.
Syaikh Muhammad bin Shaleh
al-‘Utsaimin – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika ditanya tentang
hukum menjadikan harmonis hubungan suami-istri dengan sihir, beliau menjawab:
“Ini (hukumnya) diharamkan (dalam Islam) dan tidak boleh (dilakukan), ini
disebut al-Athfu (mendekatkan), sedangkan sihir yang digunakan untuk
memisahkan (suami-istri) disebut ash-Sharfu (memalingkan), dan ini juga
diharamkan (dalam Islam). Bahkan terkadang (perbuatan) ini bisa jadi (hukumnya
sampai pada) kekafiran dan syirik (menyekutukan Allah). Allah Ta’ala
berfirman,
{وَمَا
يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ
وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ
مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ
فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ}
“…Sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami
hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.” Maka mereka mempelajari dari
kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara
seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan
mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan
tidak memberi manfaat. Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa
barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat”(QS al-Baqarah:102)”[35].
Penutup
Demikianlah penjelasan tentang sihir
dan perdukunan, dan pengaruh buruknya dalam merusak tauhid
dan keimanan seorang muslim. Oleh sebab itu, wajib bagi setiap muslim yang
ingin menjaga keutuhan imannya kepada Allah Ta’ala untuk menjauhi bahkan
memerangi semua bentuk praktek sihir dan perdukunan, serta melarang keras dan
menasehati orang lain yang masih terpengaruh dengan para dukun dan tukang sihir
untuk menjauhi mereka.
Sebagai penutup, renungkanlah
nasehat berharga dari firman Allah Ta’ala berikut,
{إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا، إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ
لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ}
“Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh (yang nyata) bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya
syaitan-syaitan itu hanyalah (ingin) mengajak golongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS Faathir:6).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر
دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Penulis: Ustadz
Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel http://muslim.or.id/aqidah/sihir-dan-perdukunan-perusak-tauhid.html
[1] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir
beliau (2/649), lihat juga kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 406).
[2] Kitab “Fathul Qadiir” (4/77).
[3] HR Abu Dawud (no. 4252), at-Tirmidzi (no.
2219) dan Ibnu Majah (no. 3952), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan
syaikh al-Albani.
[4] Lihat kitab “al-‘Aqiidatul Islaamiyyah” (hal.
33-34) tulisan syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
[5] Beliau adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi
Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang
sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits
Rasulullah r (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 409).
[6] Dinukil oleh imam al-Bagawi dalam “Ma’aalimut
tanziil” (6/135) dan Ibnul Jauzi dalam “Zaadul masiir (6/149).
[7] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil” (6/135).
[8] Dinukil oleh imam asy-Syaukani dalam tafsir
beliau “Fathul Qadiir” (2/466).
[10] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/416).
[11] Meskipun yang lebih tepat disebut “ora
normal” (tidak normal).
[12] Lihat kitab “Zaadul masiir” (1/122).
[13] Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur’an’ (19/28).
[14] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49),
dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani
dalam “Ash-Shahiihah” (no. 3387).
[15] Kitab “Fathul Majiid” (hal. 356).
[16] HSR al-Bukhari (no. 4424).
[17] HSR al-Bukhari (no. 5429) dan Muslim (no.
2228).
[18] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 353) dan
“at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 318).
[19] Lihat kitab “at-Tamhiid li syarhi kitaabit
tauhiid” (hal. 317) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 4).
[20] Kitab “al-Jaami’ liahkaamil Qur’an’ (7/75).
[21] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal.
273).
[22] Lihat kitab “Risaalatun fi hukmis sihri wal
kahaanah” (hal. 5).
[23] Lihat kitab “Fathul Majiid” (hal. 354) dan
“at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 320).
[24] Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid” (hal.
358), “at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 320) dan kitab “Hum laisu
bisyai” (hal. 4).
[25] Lihat kitab “Syarhu shahiihi Muslim” karya
imam an-Nawawi (14/227).
[26] HSR Muslim (no. 2230).
[27] Lihat kitab “Taisiirul ‘Aziizil Hamiid”
(hal. 358), “at-Tamhiid li syarhi kitaabit tauhiid” (hal. 320) dan kitab “Hum
laisu bisyai” (hal. 4).
[28] HR Ahmad (2/429) dan al-Hakim (1/49),
dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani
dalam “Ash-Shahiihah” (no. 3387).
[29] Kitab “Fathul Majiid” (hal. 356).
[30] Lihat kitab “Risaalatun fi hukmis sihri wal
kahaanah” (hal. 11).
[31] Lihat kitab “Risaalatun fi hukmis sihri wal
kahaanah” (hal. 11-12).
[32] HR Abu Dawud (no. 3868), Ahmad (3/294) dan
al-Hakim (4/464), dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan
syaikh al-Albani.
[33] Lihat kitab “Risaalatun fi hukmis sihri wal
kahaanah” (hal. 12) dan kitab “Hum laisu bisyai” (hal. 17).
[34] Kitab “I’laamul muwaqqi’iin” (4/396).
[35] Kitab “Majmu’u fataawa wa rasa-il syaikh
Ibnu ‘Utsaimin” (2/143).
0 Comments:
Posting Komentar