
Setiap muslim wajib mendirikan
shalat. Meninggalkannya adalah dosa, dan solah-olah dia telah mengahncurkan
agama islam. Oleh karena shalat itu wajib, maka umat islam tentunya harus
mengetahui syarat-syarat dan ketentuan shalat itu sendiri mulai dari rukun, bacaan,
gerakan dan lain-lain. Pada kesempatan ini akan dijelaskan rukun-rukun shalat
yang insya Allah akan menjadi tuntunan agar ibadah kita diterima oleh Allah
swt.
Rukun shalat adalah setiap perkataan
atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini
tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa
diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua
bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini
shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada
tiga rincian,
1.
Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya
kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2.
Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama
Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at
yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
3.
Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi
dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.
Rukun pertama: Berdiri
bagi yang mampu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ
لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dalam keadaan berdiri.
Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka
kerjakanlah dengan tidur menyamping.”[1]
Rukun kedua:
Takbiratul ihram
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Pembuka shalat adalah thoharoh
(bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir.
Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[2]
Yang dimaksud dengan rukun shalat
adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa
digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.
Rukun ketiga: Membaca
Al Fatihah di Setiap Raka’at
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat (artinya tidak
sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”[3]
Rukun keempat dan
kelima: Ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia disuruh
mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
“Kemudian ruku’lah dan
thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah
membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan
thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut
tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan
pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi
shalatnya, beliau bersabda,
لاَ تَتِمُّ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ … ثُمَّ
يُكَبِّرُ فَيَرْكَعُ فَيَضَعُ كَفَّيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى تَطْمَئِنَّ
مَفَاصِلُهُ وَتَسْتَرْخِىَ
“Shalat tidaklah sempurna sampai
salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, … kemudian bertakbir, lalu
melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian
yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa
thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib dalam ruku’.
Rukun keenam dan
ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا
“Kemudian tegakkanlah badan
(i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]
Rukun kedelapan dan
kesembilan: Sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian sujudlah dan
thuma’ninalah ketika sujud.”[7]
Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh
bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4] Lutut kanan
dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan
hidung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى
سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan
tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung, beliau
mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5]
lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”
Rukun kesepuluh dan
kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ
حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا
“Kemudian sujudlah dan
thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah ketika
duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]
Rukun keduabelas dan
ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
فَإِذَا قَعَدَ أَحَدُكُمْ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَقُلِ
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ …
“Jika salah seorang antara kalian
duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.”[9]
Bacaan tasyahud:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ،
السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ،
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“At tahiyaatu lillah wash
sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa
barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa
ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala
ucapan penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga kesejahteraan
tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap
karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba
Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
Rasul-Nya) [10]
Apakah bacaan tasyahud “assalamu
‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa
di Saudi Arabia) pernah ditanya,
“Dalam tasyahud apakah seseorang
membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau bacaan “assalamu
‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat
dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka
mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para
sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.
Jawab:
Yang lebih tepat, seseorang ketika
tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa
rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal
dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang
mesti diganti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika
memang itu benar riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad
Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada.
Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.
(Yang menandatangani fatwa
ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq
‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin
Ghodyan sebagai anggota)[11]
Rukun keempatbelas:
Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[12]
Dalilnya adalah hadits Fudholah bin
‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan
bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
mengatakan, “Begitu cepatnya ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendo’akan orang tadi, lalu berkata padanya dan lainnya,
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد الله والثناء عليه ثم يصلي على
النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء
“Jika salah seorang di antara
kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu
bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah
itu semau kalian.”[13]
Bacaan shalawat yang paling bagus
adalah sebagai berikut.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ،
كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ
بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ
إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad
wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim,
innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad
kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”[14]
Rukun kelimabelas:
Salam
Dalilnya hadits yang telah
disebutkan di muka,
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Yang mengharamkan dari hal-hal
di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali
adalah ucapan salam. ”[15]
Yang termasuk dalam rukun di sini
adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan
mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:
1.
Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu
‘alaikum wa rahmatullah”.
2.
Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri
“Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
3.
Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu
‘alaikum”.
4.
Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]
Rukun keenambelas:
Urut dalam rukun-rukun yang ada
Alasannya karena dalam hadits orang
yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“ dalam setiap rukun. Dan “tsumma”
bermakna urutan.[17]
Semoga bermanfaat. Aamiin..
[1] HR. Bukhari no. 1117, dari ‘Imron bin
Hushain.
[2] HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu
Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
[3] HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394, dari
‘Ubadah bin Ash Shomit
[4] HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397.
[6] Sudah disebutkan takhrijnya.
[7] Idem
[8] Idem
[9] HR. Bukhari no. 831 dan Muslim no. 402, dari
Ibnu Mas’ud.
[10] HR. Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 402.
[11] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts
‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 8571, juz 7, hal. 11, Mawqi’ Al Ifta’.
[12] Point ini adalah tambahan dari Al Wajiz
fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi Al Kholafiy,
hal. 89, Dar Ibni Rojab, cetakan ketiga, tahun 1421 H.
[13] Riwayat ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Fadh-lu Shalat ‘alan Nabi, hal. 86, Al Maktabah Al Islamiy,
Beirut, cetakan ketiga 1977.
[14] HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406,
dari Ka’ab bin ‘Ujroh.
[15] HR. Abu Daud no. 618, Tirmidzi no. 3, Ibnu
Majah no. 275. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih sebagaimana dalam Al Irwa’ no. 301.
[16] Lihat Sifat Shalat Nabi, Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 188, Maktabah Al Ma’arif.
[17] Pembahasan rukun shalat
ini banyak disarikan dari penjelasan Syaikh Abu Malik dalam kitab Shahih Fiqh Sunnah
terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
Artikel
www.muslim.or.id
Dari
artikel 'Rukun-Rukun Shalat — Muslim.Or.Id'
0 Comments:
Posting Komentar