Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

GELITIK RAMADHAN


A.   LATAR BELAKANG
Berbicara tentang “Ramadhan”, maka ada beberapa pertanyaan yang mengganjal yang harus kita cari jawabannya. Jika kemudian jawaban itu tidak benar, maka paling tidak sudah ada yang dapat direnungkan dan selanjutnya dilakukan pencarian jawaban yang benar. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:


1.     Kenapa bulan berpuasa itu mesti pada bulan “Ramadhan” atau pada bulan yang berdasarkan perhitungan Rembulan (tahun Qamariah), dan bukan pada bulan yang berdasarkan perhitungan Matahari (tahun Syamsiah), misalnya pada bulan Desember?
2.    Kenapa ayat-ayat tentang “Puasa” itu terletak sesudah ayat-ayat  yang berbicara tentang pembunuhan (qishas) dan perebutan harta?
3.    Kenapa orang yang berpuasa Sulit mendapatkan posisi “Muttaqin” itu?

B.   PEMBAHASAN
Tahun Qamariah vs Tahun Syamsiah
          Seiring dengan perjalanan peradaban, manusia telah menemukan cara untuk menghitung waktu. Dua cara yang sangat mashur adalah perhitungan tahun qamariah dan syamsiah. Perhitungan tahun tersebut masing-masing terdiri atas dua belas bulan. Namun demikian perhitungan tahun qamariah lebih pendek sekitar 14-15 hari dari tahun syamsiah setiap putaran satu tahun.
          Kedua perhitungan tahun ini telah dijelaskan oleh Allah swt di dalam al-Qur’an. Dalam surat Yaasin, matahari dan bulan disebutkan sebagai alat untuk menghitung waktu. Allah swt juga telah menetapkan dalam al-qur’an bahwa jumlah bulan dalam satu tahun di sisi-Nya adalah dua belas bulan. Hanya saja dalam surah al-Baqarah, Allah swt menegaskan bahwa sebaik-baik perhitungan waktu adalah rembulan.
          Penegasan ini memunculkan pertanyaan lagi bagi kita tentang perhitungan tahun rembulan yang begitu dijamin sebagai perhitungan waktu yang terbaik. Namun kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, justru perhitungan tahun syamsiah lebih banyak digunakan dalam urusan praktis, misalnya dalam mensiasati cuaca. Tapi justru bulan-bulannya tidak digunakan untuk menghitung waktu beribadah seperti puasa, haji, dll.
Andai saja waktu berpuasa itu ditetapkan berdasarkan perhitungan tahun matahari, maka akan ada ketidakadilan yang menyolok dalam berpuasa. Misalnya waktu berpuasa ditetapkan pada bulan Desember, maka untuk tahun 2002 saudara kita di Jepang akan berpuasa hanya sekitar 10 jam perhari, sementara umat islam Australia akan berpuasa 16 jam. Atau katakanlah Desember adalah waktu berpuasa untuk sepanjang tahun, maka saudara kita di belahan bumi utara akan selalu berpuasa di musim dingin yang sejuk dan siangnya lebih pendek dari malamnya, sementara yang di selatan akan berpuasa di musim panas di mana siangnya lebih panjang.
Untung Al-qur’an sebagai sumber islam menggunakan perhitungan tahun Qamariah. Hal itu menandakan akan adanya sesuatu yang menarik yang tentunya akan mendatangkan lebih banyak manfaat. Karena perhitungan tahun qamariah lebih pendek sekitar 14-15 hari pertahun, maka itu berarti tahun qamariah bersiklus 30 tahunan dibanding tahun syamsiah. Artinya jika tahun 2013, umat islam di Indonesia berpuasa pada awalan Juli, maka tiga puluh tahun yang akan datang, kita akan kembali berpuasa pada awalan Juli seperti tahun ini. Itu juga berarti bahwa umat islam di atas muka bumi ini dalam kurun waktu tiga puluh tahun akan berpuasa pada musim yang berbeda-beda, sekali waktu di musim panas, sekali waktu yang di musin dingin, sejuk, salju, atau musim apa yang ada di dunia ini dan seterusnya. Di sinilah letak dan fungsi perhitungan tahun rembulan yang dapat memberikan keadilan dalam beribadah kepada semua umat manusia di atas muka bumi ini. Hal itu juga tidak lepas dari fungsi agama islam sebagai agama Rahmatan Lil-alamin.
Jika kemudian, perhitungan rembulan tidak digunakan untuk menghitung cuaca dan lain-lain, maka hal itu menunjukkan perhitungan tahun qamariah memang tidak dirancang untuk kepentingan praktisisi keduniaan. Dia dirancang untuk peribadatan yang bersifat universal, tidak dibatasi geografi, daerah, dst. Sebaliknya perhitungan tahun syamsiah digunakan untuk praktisi keduniaan yang berbeda-beda berdasarkan letak geografi.
Andai saja, sekali lagi berandai, tahun qamariah digunakan sebagai tahun penggajian di Indonesia, maka setiap periode delapan tahunan kita akan mendapatkan tiga bulan gaji ekstra. Bukankan hal itu sama dengan kenaikan gaji berkala kita? Tetapi karena kita menggunakan perhitungan tahun syamsiah, maka kita kehilangan tiga bulan gaji ekstra tersebut. 
Walau demikian, Allah swt melarang kita untuk menyamakan jumlah bulan tahun qamariah dengan tahun syamsiah, seperti yang pernah dilakukan bangsa Arab pada zaman dahulu. Dalam periode delapan tahunan, mereka menambahkan jumlah bulan dalam satu tahun menjadi 13 bulan pada tahun ketiga, keenam dan kedelapan. Pelarangan ini secara tegas diungkap dalam surah at-Taubah ayat 37 yang dikenal dengan istilah an-nasiu.
إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُواْ يُحِلِّونَهُ عَاماً وَيُحَرِّمُونَهُ عَاماً لِّيُوَاطِؤُواْ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّهُ فَيُحِلُّواْ مَا حَرَّمَ اللّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ ﴿٣٧﴾
Artinya: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

 Kita berharap, agar hikmah tahun rembulan ini membuat kita lebih bijak memahami waktu, paling tidak kita sebagai umat islam menghafal nama-nama bulan tahun qamariah ini, mulai Muharram hingga Zulqaedah. Hal itu akan memudahkan kita untuk berpuasa tiga hari setiap pertengahan bulan-bulan ini. Jangan sampai nama-nama bulan syamsiah saja dari Januari hingga Desember yang kita hafal.

Letak ayat-ayat Puasa dalam Al-Qur’an
Jika kita menelusuri ayat-ayat puasa dalam A-qur’an maka kita akan mendapatinya di surah al-Baqarah dengan urutan sebagai berikut:

1.     Ayat 179 – 180 menerangkan tentang Qishas  (pembunuhan).
2.    Ayat 181 – 182 berbicara tentang pentingnya Wasiat (menghindari perebutan harta).
3.    Ayat 183 – 185 menyangkut PUASA
4.    Ayat 186 mengenai kedekatan hubungan Allah swt dengan hambanya.
5.    Ayat 187 membahas hubungan antar pribadi khususnya hubungan suami istri.
6.    Ayat 188 berisi tentang larangan mencaplok harta orang lain.

Pola urutan ini membuat kita bertanya: Kenapa ayat-ayat puasa terletak sesudah ayat-ayat tentang pembunuhan dan perebutan harta?
Dalam teori tafsir disebutkan bahwa antara satu ayat dengan ayat lain itu memiliki hubungan fungsi. Jika teori ini dijadikan acuan, maka jelas bagi kita fungsi puasa terhadap ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya. Ayat-ayat puasa yang terletak sesudah ayat-ayat yang berbicara tentang pembunuhan atau perkelahian dan perebutan harta memberikan makna kepada kita bahwa mereka yang suka bertengkar, berkelahi, saling membunuh dan berebut harta adalah mereka yang keras hatinya. Karena itu, mereka harus dilembutkan hatinya yang dalam bahasa al-qur’an dikenal dengan kelompok muttaqin. Proses pelembutan hati inilah yang disebut Bulan Berpuasa.
Kelompok mu’min yang telah melewati periode pelembutan hati ini (bulan puasa) akan keluar sebagai orang muttaqin yang mampu memberikan sebagian hartanya kepada yang lebih membutuhkan pada saat ia lapang dan kesempitan, mampu menahan amarahnya, selalu memaafkan orang-orang yang menyakitinya, dan bahkan membalas perbuatan jahat orang lain terhadapnya dengan kebaikan yang semuanya ini dijelaskan di dalam surah Ali-Imran ayat 134.
الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ ﴿١٣٤﴾
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Jadi wajar kalau QS Al-Baqarah ayat 186 berbicara tentang kedekatan hubungan Allah dengan hambanya yang muttaqin.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ ﴿١٨٦﴾
186. dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Kelompok inilah yang mendekati Allah swt, seperti disebutkan dalam salah satu hadits qudsi: “Bumi dan langitku tidak dapat memuat Saya, tetapi Saya dapat dimuat oleh hati hamba-Ku yang mu’min, lembut, dan penuh kasih.
Ayat berikutnya berbicara tentang hubungan antar pribadi dengan mengambil hubungan pasangan suami istri sebagai contoh. Ini memberikan informasi kepada kita bahwa seseorang itu mampu berhubungan dengan orang lain secara ikhlas jika ia telah memiliki hubungan yang lembut dengan Allah swt. Jika seseorang belum mampu melewati posisi ayat 186, maka hubungannya dengan orang lain pasti mengandung unsur; ada udang dibalik batu.
Secara ringkas dapat kita petik hikmah bahwa mereka yang keras hatinya akan dilembutkan oleh bulan ramadhan yang mengartarkannya nanti ke hubungan yang dekat dengan Allah swt. Selanjutnya mereka yang berhati lembut dan ikhlas dengan ridha Allah swt akan membina hubungan antar personal berbasis keikhlasan dan mereka tidak akan merebut harta orang lain (ayat 188).
Alangkah indahnya urutan ayat al-qur’an itu, tetapi akan lebih indah jika kita membacanya dan mengamalkannya. Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya mengatakan: “Al-qur’an adalah suatu jamuan, rugi orang yang tidak mendatangi jamuan itu tetapi akan lebih rugi lagi orang yang mendangi jamuan itu tetapi tidak menyentuhnya.” Artinya rugilah orang yang tidak dapat membaca al-qur’an dan lebih rugi lagi orang yang dapat membaca al-quran tetapi tidak membacanya. Semoga kita tidak termasuk dalam kelompok ini.

Posisi Muttaqin
Pertanyaan berikutnya yang menggelitik adalah: Jika urutan ayat puasa begitu indah dengan segala fungsinya,  kenapa masih banyak umat islam selepas bulan puasa tidak lembut hatinya?
Dalam pandangan saya, bukan bulan puasa yang tidak mampu melembutkan hati kita, tetapi kita yang tidak memaksimalkan periode ini untuk berlembut hati. Dalam bulan ramadhan, ada aturan yang harus ditaati. Ketaatan kita hanya diketahui oleh diri kita dengan Allah swt. Seseorang tidak dapat diklaim bahwa ia berpuasa hanya dengan melihat orang itu sering meludah, loyoh saat berjalan, dst. Itu pula sebabnya kenapa puasa disebut sebagai ibadah sirr (rahasia).
Jika seseorang belum mampu berada pada posisi muttaqin selepas lebaran, maka ada baiknya kembali melihat aturan-aturan dalam menjalankan ibadah puasa, terutama yang membatalkan puasa dan yang tidak membatalkan tetapi menghilangkan pahala ibadah puasa. Secara umum kita semua telah mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa, di antaranya makan, minum, jima’ (hubungan suami-istri) di siang hari, muntah dan mengeluarkan mani dengan sengaja (misalnya menghayalkan seseorang atau menggunakan sabun dalam kamar mandi).
Umumnya kita tidak sadar terhadap hal-hal yang tidak membatalkan walau itu menghilangkan pahala puasa. Sehingga wajar jika selepas lebaran kita tidak berada pada posisi muttaqin “si hati lembut”. Dalam salah satu hadits Rasulullah saw disebutkan bahasa ada lima yang menglihangkan pahala puasa (tidak membatalkan), yaitu: al-kizb (bohong), an-namimah (adu domba), al-ghibah, al-yaminul kazibah (sumpah palsu), dan an-nadharu bi syahwatin (melihat dengan nafsu).
Pertama adalah al-kizbu. Jika kita ke pasar Terong (salah satu pasar tradisional di Makassar yang terkenal murah, tapi pembeli harus pintar menawar) lalu kita menawar pada salah seseorang penjual tentang harga sarung Sutra, kemudian penjual itu memberi harga  Rp. 50.000,- perlembar, saat itulah kita menawar sambil memainkan “kebohonan informasi” bahwa penjual lain memberi kita harga Rp. 45.000,-  padahal kita belum pernah menawar di tempat lain sebelumnya, maka kita telah berada pada posisi BERBOHONG dan itu sudah menghilangkan pahala puasa kita.
Kedua adalah an-namimah. Seseorang yang suka mengadu domba pada bulan ramadhan dicap oleh Rasulullah sebagai orang yang menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah swt. Dalam al-qur’an surah al-Hujarat, mengadu domba disamakan dengan memakan daging bangkai saudara kita sendiri. Ini juga dianggap oleh Rasulullah menghilangkan pahala puasa kita.
Ketiga adalah ghibah. Contoh ghibah adalah seperti yang pernah dialami oleh Aisyah ra. Suatu hari, Rasulullah saw kedatangan seorang tamu wanita Badui yang gemuk, hitam dan sedikit pesek (tentu masih lebih mancung dari orang Indonesia, karena peseknya adalah peseknya bangsa Arab). Saat wanita itu meninggalkan tempat Rasullullah, Asiyah nyeletuk: Alangkah gemuk, pesek dan hitamnya wanita tadi, ya Rasulullah?. Nabi menjawab: Ya humairah, laa taghibiy (Hai Aisyah, jangan berghibah). Saya kira apa yang dikatakan oleh Aisyah bahwa wanita itu gemuk, pesek dan hitam adalah benar. Hanya saja jika wanita itu mendengarnya bahwa ia disebut gemuk, pesek dan hitam, maka wanita itu akan marah. Pada posisi inilah Aisyah dianggap berghibah. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa ghibah adalah menceritakan sifat seseorang, dan sifat itu benar adanya, hanya saja jika orang itu mendengarnya dia akan marah. Bagaimana jika orang itu salah, dan kita harus menegurnya? Tegurlah ia saat berduaan, jangan permalukan. Tetapi jika melakukan yang baik, puji ia dihadapan orang banyak. Jadi jangan terbalik, salah ditegur dihadapan orang banyak, benar dipuji berduaan.
Keempat adalah sumpah palsu. Sesuatu yang dilakukan dan diatasnamakan atas sesuatu untuk kepentingan pribadi, maka masuk kategori sumpah palsu. Atas nama rakyat, katanya, kita harus melaksanakan ini, itu, dst, padahal atas nama kelompoknya; UMPAH PALSU. Hilang pahala puasa.
Kelima adalah an-nadharuh bi syahwatin. Melihat di sini hanya mewakili indra yang lain. Dalam arti melihat, mendengar, mencium, meraba yang dapat membangkitkan gairah nafsu, maka itu menghilangkan pahala ibadah puasa. Memang kita saat ini serba salah, terutama kita yang hidup di kota besar apalagi jika tidak memiliki kendaraan pribadi. Suatu saat kita naik angkot (pete-pete; makasar) atau kendaraan umum lainnya. Kebetulan di atas kendaraan tersebut sudah ada wanita ber-rok pendek yang duduk pas di pintu naik. Pada posisi seperti ini, sangat sukar bagi kita untuk tidak melihatnya. Karena tidak dilihat, ….mubassir kata sebagian orang….dilihat; hilang pahala puasa kita. Makan buah simalakama atau sangat dilematis. Lalu apa yang harus dilakukan?
Islam adalah agama sempurna. Apapun keadaan itu pasti ada jalan keluarnya. Mengenai pandangan mata dan “mubassir”, Rasulullah pernah bersabda kepada Ali: Hai Ali, jangan ikutkan pandangan mata dengan pandangan mata, karena yang pertama adalah hadiah bagi kamu, tetapi yang kedua adalah dosa. Persoalannya adalah batas pandangan pertama itu, apakah selama kita tidak berkedip atau…. Batas pandangan pertama adalah begitu melihat begitu istigfar; astagafirullah bukan alhamdulillah walau itu sesuatu yang indah dan jangan ikutkan pandangan berikutnya karena itu sudah lain maksudnya.
Pandangan, pendengaran, rabaan yang membangkitkan nafsu semua itu menghilangkan pahala puasa tetapi tidak membatalkan puasa. Ibarat padi, bulirnya ada hanya saja tidak berisi. Wajar jika kemudian Rasulullah mengingatkan kita semua tentang hal ini dalam salah satu hadits yang berbunyi:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعِ وَاْلعَطَشِ

Rubba shaaimin laisa lahu min shiyamihi illal juu’i wal athasy. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.

C.   PENUTUP
Kita berharap, dengan ramadhan tahun ini, hati-hati kita menjadi lembut, menjadi kelompok muttaqin. Amin.



 Penulis: M Zulfikri Qawy Yusring, Siswa Kelas XII IPA 2,
             MAN Insan Cendekia Gorontalo







Share:

Related Posts:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer