Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

Perbedaan Hadits Nabawi, Qudsi, dan Al-Quran



                Hadits ditinjau dari segi sandarannya ada dua; pertama, disandarkan kepada Nabi saw sendiri disebut Hadits Nabawi, kedua disandarkan kepada Tuhan yang disebut Hadits Qudsi. Hadits Qudsi sangat perlu untuk dimunculkan karena masih banyak orang yang belum mengerti keberadaan dan statusnya. Secara umum, masyarakat masih terjebak pada makna Qudsi secara etimologis yang berarti suci, kemudian mereka menduga bahwa semua hadits qudsi shahih. Mari kita kaji pengertiannya terlebih dahulu.
                Hadits Qudsi disebut juga dengan hadits Ilahi dan Hadits Rabbani. Dinamakan qudsi (suci), ilahi (Tuhan), dan Rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah swt yang Maha Suci. Dan dinamakan hadits karena Nabi saw yang memberitakannya berdasarkan wahyu Allah swt. Kata qudsi sekalipun diartikan suci, hanya merupakan sifat bagi hadits, sandaran hadits kepada Tuhan tidak menunjukkan kualitas hadits. Oleh karena itu, tidak semua hadits qudsi shahih, akan tetapi ada yang shahih, hasan, dan dhaif, tergantung persyaratan periwayatan yang dipenuhinya, baik dari segi sanad dan matan.

                Yang dimaksud dengan hadits qudsi adalah:
كُلُّ قَوْلٍ أَضَافَهُ الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
Segala perkataan yang disandarkan Rasulullah saw kepada Allah swt.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw hanya menyandarkan kepada Allah swt atas berita atau cerita yang beliau sabdakan. Bentuk berita yang disampaikan hanya berupa perkataan, tidak ada perbuatan dan persetujuan sebagaimana hadits Nabi biasa. Bentuk-bentuk periwayatannya menggunakan kata-kata yang disandarkan kepada Allah swt, misalnya sebagai berikut:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللهُ – يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ
Nabi saw bersabda: Allah swt berfirman ….
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ – فِيْمَا رَوَاهُ عَنْهُ
Rasulullah saw bersabda pada ap yang beliau riwayatkan dari Allah swt.
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِى عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ
Rasulullah saw menceritakan dari Tuhannya, Dia berfirman: ….
Perhatikan contoh hadits qudsi di bawah ini, diriwayatkan dari Muadz bin jabal:
حَدِيْثَ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ فَقَالَ سَمِغْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَ جَلَّ يَقُوْلُ حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَحَابِّيْنَ فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَبَاذِلِيْنَ فِيَّ وَ حَقَّتْ مَحَبَّتِى لِلْمُتَجَاوِرِيْنَ فِيَّ
Hadits Muadz bin Jabal berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, bahwa Allah swt berfirman: Kecintaan-Ku (Mahabbah-Ku) berhak bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, kecintaan-Ku berhak bagi mereka yang merendahkan diri (tawadldlu`) karena aku, kecintaan-Ku berhak bagi mereka yang saling berziarah. (HR.Ahmad)
                Jumlah hadits qudsi tidak terlalu besar, hanya sekitar 400 buah hadits secra terulang-ulang sanad atau sekitar 100 buah hadits lebih (ghaiyru mukarrar), ia tersebar dalam 7 kitab induk hadits. Mayoritas kandungan hadits qudsi tentang akhlak, aqidah, dan syari`ah. Di antara kitab hadits qudsi yaitu kitab Al-Ahadits Al-Qudsiyyah yang diterbitkan oleh Jumhur Mesir Al-`Arabiyyah, Wuzaroh Al-Awqaaf Al-Majlis Al-A`la li syu`un Al-Islamiyyah Lajnat As-Sunnah, Cairo 1988 dan lain-lain.
1.       Perbedaan hadits qudsi dan hadits nabawi
Perbedaan antara hadits qudsi dan nabawi terletak pada sumber berita dan proses pemberitaannya. Hadits qudsi maknanya dari Allah swt yang disampaikan melalui suatu wahyu , dan redaksinya dari Nabi saw yang disandarkan kepada Allah swt. Sedangkan hadits nabawi pemberitaan makna dan redaksinya bersumberkan dari Nabi saw sendiri.
            Dalam hadits qudsi Rasulullah saw menjelaskan kandungan atau yang tersirat dalam wahyu sebagaimana yang diterima dari Allah swt dengan ungkapan beliau sendiri. Pembagian ini sekalipun kandungannya dari Allah swt, tetapi ungkapan itu disandarkan kepada Nabi saw sendiri karenan tentunya ungkapan kata itu disandarkan kepada yang mengatakannya sekalipun maknanya diterima dari yang lain. Oleh karena itu, selalu disandarkan kepada Allah swt. Pemberitaan yang seperti ini disebut tawfiqi. Pada hadits nabawi kajian Rasul melalui ijtihad yang difahami dari Al-Quran karena beliau bertugas sebagai penjelas terhadap Al-Quran. Kajian ini didiamkan wahyu jika benar, dan dibetulkan wahyu jika salah.(Manna Al-Qaththan, hal.27). Kajian seperti ini disebut tawqifi.
            Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa hadits nabawi dengan kedua bagiannya merujuk pada wahyu, baik yang dipahami dari kandungan wahyu secara tersirat yang disebut dengan tawfiqi maupun yang dipahami dari Al-Quran secara tersurat yang disebut dengan tawqifi dan inilah makna firman Allah swt dalam Quran Surah An-Najm ayat 3-4:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣) إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى (٤)
Dan tidaklah yang diucapkannya (Al-Quran itu) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu Allah swt yang diwahyukan. (QS.An-Najm: 3-4)
            Pada ayat tersebut ijtihad tidak merupakan lawan kata dari wahyu dan tidak ada alasan untuk melarangnya. Lawan kata wahyu pada ayat tersebut adalah hawa.  Nabi berkata bukan berdasar dari hawa nafsu tetapi dari wahyu. Secara umum dari beberapa uraian di atas dapat dikembangkan menjadi beberapa perbedaan antara hadits qudsi dan hadits nabawi, diantaranya sebagai berikut:
a.       Pada hadits nabawi, Rasulullah saw menjadi sumber sandaran dalam pemberitaan, sedangkan pada hadits qudsi beliau menyandarkannya kepada Allah swt. Pada hadits qudsi, Nabi memberitakan apa yang disandarkan kepada Allah swt dengan menggunakan redaksinya sendiri.
b.      Hadits Qudsi merupakan hadits yang maknanya dari Allah swt, sedangkan lafadznya dari Rasulullah saw. Sedangkan hadits nabawi adalah hadits yang makna dan lafadznya dari Rasulullah saw.
c.       Pada hadits qudsi, Nabi saw hanya memberitakan perkataan atau qawli, sedangkan pada hadits nabawi pemberitaannya meliputi perkataan (qawli), perbuatan (fi`li), dan persetujuan (taqriri).
d.      Hadits nabawi merupakan penjelasan dari kandungan wahyu, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Maksud wahyu yang tidak secara langsung ialah Nabi saw berijtihad terlebih dahulu dalam menjawab suatu masalah. Jawaban itu terkadang sesuai dengan wahyu dan adakalnya tidak sesuai dengan wahyu. Jika tidak sesuai dengan wahyu maka datanglah wahyu untuk meluruskannya. Hadits qudsi wahyu langsung dari Allah swt.
e.       Hadits qudsi selalu menggunakan ungkapan orang pertama (dlamir mutakallim): Aku (Allah swt) … Hai hamba-Ku … Sedangkan hadits nabawi tidak menggunakan ungkapan tersebut.


2.       Perbedaan hadits dan Al-Quran
Sebelum membahas perbedaan antara kedua hal tersebut di atas, terlebih dahulu kita mengetahui definisi Al-Quran. Sebagain ulama mengatakan kata Al-Quran tidak ada akar katanya, ia mengatakan nama bagi kalam Allah swt (`alam murtajal). Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Al-Quran berasal dari akar kata : قَرَأَ – يَقْرَأُ – قِرَاءَةً و قُرْآنًا
            yang berarti bacaan atau yang dibaca dengan makna isim maf`ul al-maqru`. Dalam istilah para ulama banyak yang memberikan definisi dengan berbagai redaksi, tetapi terdapat definisi yang dirasa paling lengkap sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Subhi Shalih dalam bukunya Mabahits fii `Ulumil Quran sebagai berikut:
الْكَلاَمُ الْمُعْجِزُ المــُـنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَــصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَنْهُ بِالتَّوَاتُرِ الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ
Kalam Allah swt yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada Nabi saw, tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan dinilai ibadah bila membacanya.

Dari definisi di atas, maka bisa disederhanakan menjadi penjelasan-penjelasan berikut ini:
a.       Al-Quran adalah firman Allah sw, nukan sabda Nabi saw, bukan perkataan manusia, dan bukan pula perkataan malaikat.
b.      Al-Quran mengandung mukjizat seluruh kandungannya, termasuk huruf dan setiap titiknya pun mampu mengalahkan lawan-lawannya.
c.       Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (tentunya melalui perantara malaikat Jibril) secara mutawatir (diriwayatkan banyak orang yang mustahil mereka sepakat untuk berbohong).
d.      Membaca Al-Quran adalah ibadah. (satu huruf yang dibaca benilai 10 kebaikan, sebagaimana terdapat dalam hadits Rasulullah saw).

Dengan demikian Al-Quran dapat dibedakan dengan hadits, sebagai berikut:
a.       Al-Quran mukjizat Rasul, sedangkan hadits bukan mukjizat sekalipun hadits qudsi.
b.      Al-Quran terpelihara dari berbagai kekurangan dan pendistorsian tangan-tangan orang jahil (Lihat QS. Al-Hijr {15}: 9), sedangkan hadits tidak terpelihara seperti Al-Quran. namun hubungan keduanya secara integral tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Maka terpeliharanya Al-Quran berarti pula terpeliharanya hadits. Realita sejarah membuktikan adanya pemeliharaan hadits seprti usaha-usaha para perawi hadits dari masa ke masa dengan menghafal, mencatat, meriwayatan, dan mengodifikasikannya ke dalam berbagai buku-buku hadits.
c.       Al-Quran seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan hadits tidak banyak diriwayatkan secara mutawatir. Mayoritas hadits diriwayatkan secara ahad (individu, artinya tidak sebanyak periwayat mutawatir).
d.      Kebenaran Al-Quran bersifat qath`I al-wurud (pasti atau mutlak kebenarannya) dan kafir bila mengingkarinya. Sedangkan kebenaran hadits kebanyakan bersifat zhanni al-wurud (bersifat relatif kebenarannya), kecuali yang mutawatir.
e.       Al-Quran memiliki makna dan redaksi dari Allah swt, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah swt dan redaksi (lafadz) dari Rasulullah saw. Adapun hadits nabawi berdasarkan wahyu Allah swt atau ijtihad yang sesuai dengan wahyu. Oleh karena itu meriwayatkan Al-Quran secara makna tanpa lafal, dan boleh periwayatan secara makna dalam hadits dengan persyaratan yang ketat.
f.       Proses penyampaian Al-Quran melalui wahyu yang tegas (jali), sedangkan hadits qudsi melalui wahyu atau ilham dan atau mimpi dalam tidur.
g.      Kewahyuan Al-Quran disebut dengan kewahyuan matluw (wahyu yang dibacakan) sedang kewahyuan sunah disebut wahyu ghair matluw (wahyu yang tidak dibacakan), tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan yakin kemudian diungkapkan Nabi saw dengan redaksinya sendiri.
h.      Membaca Al-Quran dinilai sebagai ibadah, sedangkan hadits bahkan hadits qudsi sekalipun tidak dinilai ibadah kecuali disertai dengan amalan yang baik dan relevan dengan tuntunan Beliau saw.
i.        Di antara sunah, Al-Quran wajib dibaca dalam shalat seperti membaca surat Al-fatihah yang dibaca pada setiap raka`at. Sedangkan hadits dan hadits qudsi tidak ada yang harus dibaca dalam shalat.
j.        Haram dan dosa besar bila sampai Al-Quran dikorupsi.

Demikian pembahasan perbedaan hadits nabawi, qudsi dan Al-Quran, semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan muslimat semuanya.


  (Sumber: Buku Ulumul Hadits karya Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag)

Share:

Related Posts:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini

Blog Archive


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer