
1. Hadits Yang
Diterima(Maqbul)
Hadits yang diterima dibagi menjadi2 (dua):
1. 1.
Hadits Shahih
1. 1. 1.
Definisi:
Kata shohih secara
etomologi mengikuti wazan fa'iilun yang terbentuk dari mashdar shihah yang
mempunyai arti sehat (tidak sakit). Pemakaian kata shohih yang digunakan pada
hadits hanyalah sebuah majaz.
Berbagai macam definisi yang diungkapkan oleh para pakar hadits mengenai
definisi hadits shohih, akan tetapi pada dasarnya semuanya adalah sama. Menurut
Imam Ibnu al-Sholah t, hadits shohih adalah:
الصحيح: فهو الحديث المسند،
الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا،
ولا معللاً.
"Hadits Shohih adalah: Hadits yang sanadnya
bersambung dengan penukilan oleh orang yang adil lagi dhobith dari orang yang
adil lagi dhobith dan seterusnya sampai selesai, tanpa adanya penyimpangan
maupun cacat."
Menurut Imam al-Nawawi t, yang dinamakan dengan hadits shohih adalah:
وهو ما اتصل سنده بالعدول
الضابطين من غير شذوذ ولا علة.
"Hadits shohih adalah: Hadits yang sanadnya
bersambung dengan orang-orang yang adil lagi dhobith tanpa adanya penyimpangan
dan cacat."
Sebenarnya masih banyak
definisi-definisi yang diungkapkan oleh para muhadditstsin, akan tetapi tidak kami paparkan semuanya dalam
modul yang singkat ini. Dari kedua
definisi di atas, dapat kita simpulkan, bahwa hadits shohih mempunyai beberapa
unsur:
a. Kesinambungan sanad, yakni isnad dari matan itu.
Dengan cara setiap rawinya meriwayatkannya dari gurunya (syeikh) mulai dari
awal sanad hingga akhirnya. Dari definisi di atas maka terdapat hadits yang
tidak muttasil (bersambung) yaitu; mursal, munqati', mu'dhal dan mu'allaq.
b. Keadilan rawi, keadilan adalah sifat yang
mendorong manusia untuk selalu bertaqwa dan memelihara diri. Dan yang dimaksud
dengan hal itu adalah keadilannya dalam menyampaikan riwayat.
c. Ketelitian sempurna dari rawinya, yang dimaksud
dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaan dan kedudukannya pada tingkat
yang tinggi. Ketelitian ada dua macam. Pertama, ketelitian hafalan, yaitu
apabila ia menetapkan apa yang didengarnya di dalam dadanya, sehingga ia bisa
mengingatnya kapan saja bila ia mau. Kedua, ketelitian tulisan, yaitu apabila
riwayatnya berasal dari sebuah kitab yang dijaganya dan dikoreksinya.
d. Tidak ada penyimpangan (tidak syadz), artinya
hadits tersebut bukanlah hadits yang syadz (menyimpang). Syadz adalah
bertentangannya seorang rawi yang tsiqah dengan rawi yang lebih tsiqah darinya.
e. Tidak
ada cacat, yakni tidak terdapat cacat pada hadits itu. Cacat ialah sifat
tersembunyi yang menimbulkan kendala bagi penerimanya, sedangkan lahirnya
adalah bersih darinya.
1. 1. 2. Syarat-Syarat
Hadits Shahih:
Untuk bisa dikatakan
sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut
ini:
- Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
- Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
- Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
- Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
- Tidak janggal, artinya tidak ada pertentanganantara suatu hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits
yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.
1.1.3. Contoh Hadits
Shohih
صحيح البخاري -
(ج 1 / ص 3)
حَدَّثَنَا
الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ
اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَلَى الْمِنْبَرِ
قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ
إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى
مَا هَاجَرَ.
Hadist di atas
diriwayatkan oleh Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim
bin al-Mughirah al-Bukhori t dalam kitabnya al-Jami' al-Shahih al-Musnad min Hadits
Rasulillah e wa Sunanihi wa Ayyamihi. Hadits tersebut dikatakan
sebagai hadits yang shohih karena:
1. Sanadnya bersambung, karena setiap rawi yang
meriwayatkan hadits di atas memperoleh dari gurunya.
2. Para rawi
hadits di atas adalah rawi-rawi yang adil dan dlabith.
3. Para rawinya mempunyai ketelitian yang
sempurna. Yang dimaksud dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaan dan
kedudukannya pada tingkat yang tinggi.
4. Hadits tersebut tidak syadz (tidak ada
peyimpangan), karena tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih
kuat.
5. Tidak
terdapat illat (cacat) dalam hadits tersebut.
Jika sebuah hadits telah
memenuhi lima persyaratan di atas, maka hadits itu bisa dikatakan sebagai
hadits shohih lidzatihi.
1.1.4. Klasifikasi Hadits
Shohih
Hadits shohih dibagi
menjadi dua:
a. Hadits Shohih Lidztihi, yaitu hadits-hadits yang telah memenuhi
persyaratan-persyaratan diatas.
b.
Hadits Shohih Lighairihi.
Kedlabitan seorang rawi
yang kurang sempurna, menjadikan hadits shahih lidzatihi turun nilainya menjadi
hadits hasan lidzatihi. Akan tetapi jika kekurangsempurnaan rawi tentang
kedlabitannya itu dapat ditutupi, misalnya hadits hasan lidzatihi tersebut
mempunyai sanad lain yang lebih dlobith, maka naiklah hadits hasan lidztihi ini
menjadi hadits shahih lighairihi. Dengan demikian hadits shohih lighairih dapat
didefinisikan sebagai:
مَا كَانَ
رُوَاتُهُ مُتَأَخِّراً عَنْ دَرَجَةِ الْحَافِظِ الضَّابِطِ، مَعَ كَوْنِهِ
مَشْهُوْراً بِالصِّدْقِ حَتَّي يَكُوْنَ حَدِيْثُهُ حَسَنًا ثُمَّ وُجِدَ فِيْهِ
مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍمُسَاوٍ لِطَرِيْقِهِ أَوْ اَرْجَحُ مَا يَجْبُرُ ذَلِكَ
الْقُصُوْرَ الْوَاقِعَ فِيْهِ.
"Hadits yang keadaan
rawi-rawinya kurang hafidz dan dlabith, tetapi mereka masih terkenal dengan
orang yang jujur sehingga hadisnya adalah hasan. Kemudian terdapat hadits dari
jalur lain yang rawinya sama atau lebih kuat, sehingga dapat menutupi
kekurangan pada hadits itu."[4][19]
Atau dengan ungkapan yang
lebih singkat, hadits shohih lighairihi dapat didefinisikan sebagai hadits
hasan lidztihi ketika diriwayatkan dari jalur lain yang nilainya sama atau
lebih kuat. Hadits ini dinamakan sebagai shohih lighairihi, karena keshohihan
hadits tersebut tidak datang dari esensi sanad, akan tetapi karena berkumpulnya
beberapa sanad. Kedudukan hadits shohih lighairih berada di atas hadits hasan
lidzatihi dan di bawah hadits shohih lidzatihi.
Contoh Hadits Shohih
Lighairih
سنن الترمذى - (ج
1 / ص 41)
حَدَّثَنَا أَبُو
كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ
بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ.
Imam Ibnu Shalah mengatkan
bahwa Muhammad bin Umar bin Alqamah terkenal dengan kejujurannya, akan tetapi
tidak termasuk dalam kategori rawi yang ahli al-itqan (tingkat kedlobitannya
tinggi), sehingga sebagian ulama mendloifkannya dilihay dari segi keburukan
hafalannya dan sebagian yang lain mentsiqahkannnya karena memandang kejujuran
dan keagungannya. Maka hadits tersebut dengan sanad semacam ini dikatakan
sebagai hadits hasan. Kemudian apabila hadits tersebut diriwayatkan dari jalur
lain yang nilai sanadnya sama atau lebih tinggi, maka kekurangan yang terdapat
pada sanad pertama (buruknya hafalan) dapat dipenuhi dari jalur lain. Sehingga
sanad hadits tersebut menjadi shohih dan hadits tersebut disebut dengan hadits
shohih lighairihi.Karena selain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari jalur Muhammad bin Umar bin
Alqamah, hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari jalur
Abu Zinnad, dari al-A'raj, dari Abu Hurairah.
صحيح البخاري - (ج 3 / ص 405)
1. 2. Hadits Hasan
1.2.1. Definisi
Secara etimologi, hasan merupakan sifat
musytabihat dari kata al-husnu yang mempunyai makna al-jamal
(bagus/elok/cantik) atau dapat diartikan sebagai sesuatu yang disukai oleh
hati.
Mengenai definisi hadits hasan secara
terminologi, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Hal itu disebabkan karena
posisi hadits hasan yang berada diantara hadits shohih dan dloif. Imam
al-Khuthobi mendefinisikannya sebagai hadits yang diketahui tempat keluarnya
dan terkenal para rawinya. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits hasan
adalah setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang
tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits tersebut
diriwayatkan tidak dari satu jalur (mempunyai banyak jalur) yang sepadan
maknanya. Sedangkan mayoritas ahli hadits menta'rif hadits hasan sebagai:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ
مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلِّلٍ وَلَا شَاذٍّ.
"Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang
adil tapi tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat
illat serta kejanggalan pada matannya."
1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan
Hadits hasan terbagi menjadi dua:
a. Hasan
Lidzatihi
Yaitu hadits yang sanadnya bersambung dengan
dinukil dari orang adil yang kadlabitannya dibawah derajat perawi hadits shahih
serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat dalam matannya. Dari keterangan di
atas dapat disimpulakan bahwa uraian yang telah disampaikan oleh para
muhaddtsin tentang hadits hasan adalah hadits hasan lidzatihi. Kesimpulannya
ketika suatu hadits itu dikatakan sebgai hadits hasan, maka yang dimaksud
adalah hasan lidzatihi.
Syarat-syarat hadits hasan:
1) Sanadnya
bersambung
2) Para rawinya
adil
3) Para rawinya
dlabith. Maksudnya derajat kedlabitannya dibawah rawi hadits shahih
4) Tidak
terdapat syudzudz (kejanggalan dalam matan)
5) Tidak
terdapat illat (cacat dalam matan).
Contoh Hadits Hasan:
تحفة الأحوذي - (ج 4 / ص 335)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ
سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ
بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَال سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ
يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ....
Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits itu
adalah hadits hasan lagi asing. Hadits tersebut dikatakan sebagai hadits hasan
karena para rawi hadits tersebut adalah tsiqat, kecuali Ja'far bin Sulaiman
al-Dluba'i. Para Ahli al-Jarhi wa Ta'dil berselisih tentang ketsiqahan dan
kedloifan Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i[6][28].
Oleh karena itu hadits tersebut turun derajatnya dari shohih menjadi hasan.
b. Hasan
Lighairihi
Hadits hasan lighairih adalah hadits dloif
yang jalurnya banyak (sanadnya dari berbagai jalur) dan sebab kedlaifannya
bukan karena kefasikan atau kedustaan seorang rawi. Dari definisi ini dapat
diambil suatu kesimpulan bahwa hadits dloif bisa naik derajatnya menjadi hadits
hasan lighairihi dengan dua hal:
1) Hadits
tersebut diriwayatkan dari jalur lain, baik kualitas sama atau lebih kuat.
2) Kedloifan
hadits tersebut adakalanya disebabkan karena; buruknya hafalan rawi,
terputusnya sanad atau rawinya tidak diketahui biografinya.
Contoh hadits hasan lighairihi:
تحفة الأحوذي - (ج 2 / ص 68)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ
حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ
يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ
الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ
طِيبٌ.
"Merupakan
suatu hak bagi orang-orang muslim untuk mandi di hari Jum'at. Hendaklah salah
seorang diantara mereka mengusapkan wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak
memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian."
Hadis ini dikatakan sebagi hadits dloif,
karena pada rawinya terdapat Ismail bin Ibrahim al-Taimi yang didloifkan oleh
para ahli hadits. Akan tetapi hadits ini naik derajatnya menjadi hasan
lighairihi karena selain dari jalur Ismail bin Ibrahim al-Taimi, ternyata juga
terdapat jalur lain yang berasal dari Ahmad bin Manba' lalu Husyaim, dari Yazid
bin Abi Ziyad. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui
Husyaim, dari Yazid bin Ziyad. Kemudian hadits senada tentang kesunahan memakai
wangi-wangian juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.
Berikut adalah hadits-hadits pendukung
terahadap hadits Ismail bin Ibrahim al-Taimi.
تحفة الأحوذي - (ج 2 / ص 68)
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ
وَشَيْخٍ مِنْ الْأَنْصَارِ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو
عِيسَى حَدِيثُ الْبَرَاءِ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَرِوَايَةُ هُشَيْمٍ أَحْسَنُ مِنْ
رِوَايَةِ إِسْمَعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ.
مسند أحمد - (ج 37 / ص 444)
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي
زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ
قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الْحَقِّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلَ أَحَدُهُمْ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَنْ يَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَ أَهْلِهِ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ طِيبٌ فَإِنَّ الْمَاءَ أَطْيَبُ.
صحيح البخاري - (ج 3 / ص 394)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَرَمِيُّ بْنُ عُمَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ أَبِي بَكرِ بْنِ الْمُنكَدِرِ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ سُلَيْمٍ
الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ
مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ
صحيح
مسلم - (ج 4 / ص 313)
و حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادٍ
الْعَامِرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ
الْحَارِثِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ أَبِي هِلَالٍ وَبُكَيْرَ بْنَ الْأَشَجِّ
حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ
وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ
إِلَّا أَنَّ بُكَيْرًا لَمْ يَذْكُرْ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ وَقَالَ فِي الطِّيبِ وَلَوْ مِنْ طِيبِ الْمَرْأَةِ.
سنن أبى داود - (ج 1 / ص 420)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ
الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ
سَعِيدَ بْنَ أَبِي هِلَالٍ وَبُكَيْرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ
حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ
الزُّرَقِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ
أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
وَالسِّوَاكُ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قُدِّرَ لَهُ
إِلَّا أَنَّ بُكَيْرًا لَمْ يَذْكُرْ عَبْدَ
الرَّحْمَنِ وَقَالَ فِي الطِّيبِ وَلَوْ مِنْ طِيبِ الْمَرْأَةِ.
Dengan demikian hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Tirmidzi dari jalur Abu Yahya Isma'il bin Ibrahim yang dloif itu naik
derjatnya menjadi hasan lighairihi. Karena kadloifannya telah diangkat oleh
muttabi', yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sendiri dan Imam
Ahmad dan diangkat pula oleh syahid, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori, Muslim dan Abu Dawud.
Hasan Lidzatih
Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya.
Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya denganorang yang adil yang kurang
kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.
Di
antara contoh hadits ini adalah:
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل
صلاة
Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap
waktu shalat
Hadits Hasan lighairih
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang
mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak
adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan
periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.
Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah
hadits dhaif (lemah),
namun karena ada ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan lighairihi. Andaikata tidak ada ‘Adhid, maka kedudukannya dhaif.
namun karena ada ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan lighairihi. Andaikata tidak ada ‘Adhid, maka kedudukannya dhaif.
Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi
SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:
أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز
“Apakah kamu rela
menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?” Perempuan itu
menjawab,“Ya.” Maka nabi SAW pun membolehkannya.
Hadits ini asalnya dhaif (lemah),karena diriwayatkan oleh
Turmuzy dari ‘Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan
bahwa ‘Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain
yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.
Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi
rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang palingtinggi kedudukannya
ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid.
Hadits Shahih dan Hadits Hasanini diterima oleh para
ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).
Hadits Hasan Naik Derajat
Menjadi Shahih
Bila sebuah hadits hasan lidzatihi diriwayatkan lagi dari
jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi
kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama,
yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain
yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.
2. Hadits Mardud
(Tertolak)
Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya
adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua,
yaitu hadits yang tertolak.
Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga
hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian
orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits
dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis
dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan
aqidah dan syariah.
aqidah dan syariah.
2.1 Definisi:
Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat
atau lebih dari
syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.
syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.
Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang
tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.
2.2. Penyebab Tertolak
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits
Dhaif, yaitu:
2.2.1 Adanya Kekurangan
pada Perawinya
Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:
- Dusta (hadits maudlu)
- Tertuduh dusta (haditsmatruk)
- Fasik, yaitu banyak salah lengah dalammenghafal
- Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
- Menyalahi riwayat orang kepercayaan
- Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
- Penganut Bid’ah (hadits mardud)
- Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)
2.2.2.
Karena Sanadnya Tidak Bersambung
- Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
- Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
- Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
- Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
2. 2. 3. Karena Matan (Isi
Teks) Yang Bermasalah
Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits
bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan
suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’
Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits
dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak
mengingkarinya
2.3. Hukum Mengamalkan
Hadits Dhaif
Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya
(dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang.
Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan
lain-lain.
Tetapi mereka berselisih fahamtentang mempergunakan
hadits dha’if untuk menerangkan keutamaan amal, yangsering diistilahkan dengan fadhailul
a’mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat
menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkanpelanggarnya).
Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila
hadits dha’if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal.
Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi
Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun vmenyandarkan suatu hal
kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya
lemah.
lemah.
0 Comments:
Posting Komentar