
Amma
ba'du:
Sesungguhnya
Allah telah berfirman,
"Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam sebagai agama bagimu." (QS. Al-Maidah:
3)
"Apakah
mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diridhai Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang
menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya
orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih." (QS. Asy-Syura':
21)
Dari
Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ,
bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam
agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak." (HR. Bukhari)
Dalam
lafazh Muslim: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami
perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak."
Dalam
Shahih Muslim dari Jabir Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda
dalam khutbah Jum'at: Amma ba'du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah
Kitab Allah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah
yang diada-adakan, dan setiap bid'ah (yang diada-adakan) itu adalah
sesat."
Masih
banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya
menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk
umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali sesudah beliau
menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada
mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau
menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia
sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun
perbuatan, semuanya itu bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para
shahabat dan ulama' mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan
bid'ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang
mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah, seperti Ibnu
Wadhdhah Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.
Di
antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah mengadakan
upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut
dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan
sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi
hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun
hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah
maudhu'.
Dalam
hal ini, banyak di antara para 'ulama yang menyebutkan tentang lemahnya
hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada
hari Nisfu Sya'ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka.
Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya
"Lathaiful Ma'arif" mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban
adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah.
Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh
hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada
dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits-
hadits dhaif.
Ibnu
Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli
ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama' telah
bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang
diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasul
(Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah
satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan
keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum
pernah disebutkan adalah bid'ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk
mengerjakannya atau memujinya.
Allah
berfirman dalam surat An-Nisaa':
"Hai
orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri
(pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah) jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisaa': 59)
"Tentang
sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang
mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal
dan kepada-Nyalah aku kembali." (QS. Asy-Syuraa: 10)
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima sepenuhnya." (QS. An-Nisaa' : 65)
Dan
masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang semakna dengan ayat- ayat di atas,
ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya
masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadits,
selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya
(Al-Qur'an dan Hadits).
Demikianlah
yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba
terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia
akan menerima balasan yang setimpal.
Dalam
pembicaraan masalah malam Nisfu Sya'ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya
"Lathaiful Ma'arif", "Para Tabi'in dari ahli Syam (Syiria,
sekarang) seperti Khalid bin Ma'daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah
mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya'ban
kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari
mereka.
Dikatakan
bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita
israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum
muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya.
Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainyya seang golongan yang
mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti
Atha' dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari
fuqaha' Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan
bahwa semua perbuatan itu bid'ah. Adapun pendapat ulama' ahli Syam berbeda
dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:
Yang pertama, menghidup-hidupkan malam Nisfu
Sya'ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah).
Dahulu
Khalid bin Ma'daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan
memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan
mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh
Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: "Menjalankan ibadah di masjid pada malam
itu secara jamaah tidak bid'ah." Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.
Yang kedua, berkumpulnya manusia pada malam
Nisfu Sya'ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo'a adalah makruh
hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri.
Ini pendapat Auza'iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka.
Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam
Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya'ban ini,tidak diketahui."
Ada
dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya'ban, dari
antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan
Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari
raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah
dikerjakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para
shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman
bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi'in, begitu pula
tentang malam Nisfu Sya'ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau
menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan
tabi'in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga
Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia
mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya'ban
ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza'iy
tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara
individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib
dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh
dalil-dalil syar'iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada-
adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif,
baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab
keumuman hadits Nabi:
"Barangsiapa
mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia
tertolak."
Dan
banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid'ah dan memperingatkan
agar dijauhi.
Imam
Abu Bakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, "Al-Hawadits wal
Bida", "Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami
belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang
menghadiri perayaan malam Nisfu Sya'ban, tidak mengindahkan hadits Makhul
(dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap
malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy
berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya'ban menyamai
pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya
sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang
penceramah.
Al-'Allamah
Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah, sebagai berikut: Hadits:
"Wahai
Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat;
ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh
kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya... dan seterusnya."
Hadits
ini adalah maudhu' (palsu), pada
lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya
adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya
majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga,
kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.
Dalam
kitab "Al Mukhtashar"
Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah
batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali Shallallahu 'alaihi wa sallam :
Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang
harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat
dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali
lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul (tidak diketahui) dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata:
Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya
adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan
seterusnya adalah maudhu' (tidak bisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).
Para
fuqaha' banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan lainnya juga sebagian
dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam
Nisfu Sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah
bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu'.
Anggapan
itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi ke Baqi' dan Tuhan turun ke
langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah
bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang
shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi' (terputus) sebagaimana hadits
Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya'ban, jadi dengan
jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.
Al-Hafizh
Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya'ban
maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam .
Dalam kitab Al Majmu', Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal
dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka'at dikerjakan antara
Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus
rakaat pada malam Nisfu Sya'ban. Dua shalat itu adalah bid'ah dan mungkar. Tak
boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan
di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya' Ulumuddin. Sebab pada dasarnya
hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat
mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari
kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan
pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.
Syaikh
Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadasiy telah mengarang sebuah
buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang
malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap
(dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam
hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan
pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang
telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan
untuk mendapat sesuatu yang haq.
Dari
penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta
pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan
malam Nisfu Sya'ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan
siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid'ah dan mungkar tidak ada dasar
sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan
saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat Radhiyallahu 'anhu .
Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an di bawah:
"Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam sebagai agama bagimu." (QS. Al-Maidah:
3)
Dan
banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan
sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada,
maka ia tertolak."
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: Rasulullah pernah bersabda:
"Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum'at daripada malam-malam
lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang
hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari
itu telah berpuasa seseorang di antara kamu." (HR. Muslim)
Seandainya
pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka
bukanlah malam Jum'at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada
hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari?
Hal
ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah yang shahih.
Tatkala
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk mengkhususkan shalat
pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada
malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali
jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya.
Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan
supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan
dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga
mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwasanya beliau bersabda:
"Barangsiapa
berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan
harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan
barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh
rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang
telah lewat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika
seandainya malam Nisfu Sya'ban, malam Jum'at pertama pada bulan Rajab, serta
malam Isra' Mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah
tentang, pastilah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan
kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah
terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak
akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang
paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.
Dari
pendapat-pendapat ulama' tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada
ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan
malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita
tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid'ah yang
diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah
bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang
sebagai malam Isra' dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan
ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah
tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual,
berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.
Demikianlah,
maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda?
Yang benar adalah pendapat para ulama' yang menandaskan tidak diketahuinya
malam Isra' dan Mi'raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi'raj
itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada
hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;
Dan sebaik-baik
suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat
petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang
diada adakan berupa bid'ah-bid'ah.
Allah-lah
yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum
muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten
di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena
hanya Allah yang terbaik dan termulia.
Semoga
shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat
beliau. Amiin.
Rujukan:
Disalin
dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah
li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H.
0 Comments:
Posting Komentar