Biar Kaya Tapi Masuk Syurga
Hidup adalah pilihan. Manusia
sendiri yang memilih kehidupan mereka masing-masing, hendak memilih bahagia
atau memilih sengsara. Setelah memilih, manusia akan berusaha meraih kehidupan
yang dipilihnya itu. Namun ada hal yang lebih penting dari pilihan itu yakni
adanya kekuasaan dan keagungan Allah swt di dalamnya. Manusia hanya mampu
berencana dan Allah swt lah yang menentukan. Akan tetapi Allah swt tidak akan
merubah nasib suatu kaum sebelum kaum tersebut merubah nasib mereka sendiri.
Kalau ditanya apa pilihan hidup
manusia? maka tentu semua dari manusia akan menjawab ingin bahagia (kaya) dunia
dan bahagia akhirat (masuk Syurga). Pilihan tersebut bukanlah mimpi dan angan
belaka melainkan sebuah cita-cita yang harus dicapai karena tiada cita-cita
mulia melainkan meraih kebahagiaan hidup dunia akhirat.
Dalam kehidupan dunia kita bisa
mengamalkan ayat-ayat Allah swt tentang bagaimana caranya menjadi orang yang
kaya, yakni dengan memperbanyak infak dan shodaqah karena harta yang kita keluarkan
di jalan Allah swt akan menjadi amal jariyah dan akan bernilai pahala yang
berlipat ganda. Sesuai dengan sabda Rasulullah dalam haditsnya:
Dari Abi ‘Abdillah Tsauban Bin
Bujdad bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Dinar yang paling utama yang
dibelanjakan seseorang adalah dinar yang ia belanjakan untuk keluarganya, dinar
yang ia belanjakan untuk kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia
infakkan untuk rekan-rekannya (yang tengah berjuang) di jalan Allah.”
(Muslim)
Dalam kitab Nuzhatul-Muttaqin (syarah
Riyadush-Shalihin karya Imam An-Nawawi) disebutkan, hadits itu
menjelaskan peringkat keutamaan pengeluaran harta (infak) bahwa memberi nafkah
kepada keluarga merupakan infak yang paling mulia. Dalam hadits lain
disebutkan:
“Dinar yang engkau infakkan di
jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk (mememerdekakan) hamba sahaya,
dinar yang engkau infakkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau infakkan
untuk keluarga, yang paling utama di antara semua itu adalah dinar yang engkau
infakkan kepada keluargamu.” (Muslim)
Ke manapun alokasinya, yang jelas
seseorang tidak mungkin dapat berinfak jika tidak memiliki harta. Lebih-lebih
jika kita mencermati ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan kita terlibat dalam
jihad. Selalu saja disandingkan antara kewajiban berjihad dengan jiwa dengan
kewajiban berjihad dengan harta. Bahkan dari semua ayat yang memerintahkan kita
berjihad dengan harta dan jiwa, berjihad dengan harta selalu didahulukan
kecuali pada satu ayat saja yakni ayat 111 surah At-Taubah, yang
maknanya:
“Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang Mukmin jiwa dan harta mereka dengan mendapatkan surga untuk
mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.”
Selebihnya, hartalah yang disebut
terdahulu. Perhatikan ayat-ayat berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman,
inginkah kalian aku tunjukkan pada suatu perniagaan yang menyelamatkan kalian
dari adzab yang pedih. Kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kalian
berjihad di jalan Allah denganh harta dan jiwa kalian.” (Ash-Shaf: 10-11)
Ini diperkuat dengan adanya
kewajiban zakat. Dalam urusan yang satu ini memang ada kesalahan persepsi pada
sebagian kaum muslimin. Kewajiban zakat sering dipahami begini: kalau punya
harta, zakatlah; kalau tidak punya, tidak usah mengeluarkan zakat. Secara
fiqih, pemahaman itu sangat benar. Tapi semangatnya bukanlah semangat kepasrahan
pada keadaan. Semangat perintah zakat harusnya dipahami: carilah uang,
kumpulkanlah harta agar dapat melaksanakan perintah Allah yang bernama zakat.
Seharusnya kita membawa semangat shalat untuk diterapkan pada zakat. Kita
selalu berpikir kita harus bisa melaksanakan shalat dengan segala perjuangan
yang menjadi konsekuensinya. Dari mulai mencari penutup aurat, mencari tempat
shalat, menentukan arah kiblat, mensucikan diri, dan seterusnya.
Itu semua mematahkan anggapan yang
masih dianut sebagian orang bahwa kesalihan dan ketakwaan identik dengan
kepapaan, kemelaratan, kesengsaraan, dan ketertindasan. Seolah-olah hanya orang
miskin, jelata, dan tertindaslah yang layak menghuni surga. Sebaliknya orang
kaya dan orang yang punya jabatan tidak punya tempat di surga. Ini diperparah
dengan sering disitirnya hadits-hadits dha’if (lemah) atau bahkan maudhu’
(palsu) yang memberikan pesan untuk menjauhi dunia sejauh-juahnya demi
mencapai ketakwaan dan kesucian jiwa. Atau mungkin juga menyitir hadits shahih
tentang zuhud dengan pemahaman yang salah.
Zuhud tidaklah identik dengan
melarat. Zuhud adalah kepuasaan hati dengan apa yang diberikan Allah swt. Zuhud
adalah ketiadaan ikatan hati kepada kekayaan. Bahwa sambil merasa puas dengan
apa yang Allah berikan dan sambil meniadakan ikatan hati dengan harta seseorang
memiliki harta dan jabatan, tidaklah menafikan sifat zuhud.
Utsman Bin ‘Affan adalah konglomerat
dan kaya raya. Beliau termasuk sahabat Nabi saw. yang dijamin masuk sorga.
Demikian pula halnya dengan ‘Abdurrahman Bin ‘Auf. Beliau sukses dalam bisnis
dan menjadi saudagar kaya raya. Toh beliau juga termasuk yang dijamin masuk
surga. Umar Bin ‘Abdul-‘Aziz, khalifah yang kaya raya. Tapi justeru dia
termasuk orang zuhud.
Posisi harta dalam Islam sama dengan
posisi kemiskinan: sebagai ujian bagi manusia. Dengan kekayaan orang bisa masuk
surga sebagaimana dengan kekayaan pula orang bisa masuk neraka. Dengan kepapaan
orang bisa masuk surga sebagaimana dengan kepapaan pula orang bisa masuk
neraka. Semuanya ujian! Allah swt. menegaskan:
“Dan Kami coba kalian dengan
keburukan dan kebaikan, (semuanya) sebagai ujian.” (Al-Anbiya: 35)
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis dan
menghijau. Dan sesungguhnya Allah mengangkat kalian sebagai khalifah di
dalamnya untuk melihat (menguji) bagaimana kalian bekerja. Maka berhati-hatilah
dengan dunia dan berhati-hatilah dengan wanita. Karena sesungguhnya fitnah Bani
Israil adalah pada wanita.” (Riwayat Muslim)
Jadi, orang yang saleh bukanlah
orang memilih meninggalkan harta melainkan yang lulus dalam ujian mengelola
harta itu. Seseorang dianggap lulus ujian dalam urusan harta manakala:
- Hanya menempuh cara halal untuk memperoleh harta.
Pada hari kiamat, setiap orang akan
diminta pertanggungjawaban terkait dengan hartanya, dari manakah ia
memperolehnya dan dengan cara apa? Ini batu ujian pertama. Rasulullah saw.
bersabda:
Dan sesungguhnya Allah memerintahkan
orang-orang beriman seperti yang diperintahkan kepada para rasul. Dia
berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari yang baik dan beramal salehlah
karena sessungguhnya Aku mengetahui apa yang kamlian lakukan’. Dia juga
berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik dari yang Kami
rezekikan kepada kalian’.” Lalu Rasulullah saw. menerangkan tentang orang yang
mengadakan perjalanan panjang, kusut masai dan berdebu. Ia mengadakahkan kedua
tangannya (berdoa) ke langit (sambil mengatakan): Ya Rabbi, ya Rabbi, sementara
makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dari yang
haram, bagaimana doanya akan dikabulkan.” (Muslim)
- Harta itu tidak menyebabkan sombong
Orang yang suksus mengelola harta
adalah orang yang dengan hartanya justeru semakin rendah hati dan menyadari
bahwa segala yang dimilikinya adalah titipan atau amanah dari Allah.
Abdurrahman bin ‘Auf yang padahal termasuk orang yang dijamin masuk surga
pernah berlinang air mata saat dirinya siap menyantap hidangan lezat yang ada
di hadapannya. Ketika ditanya penyebab ia menangis, ia menjawab, “Aku takut
hanya yang kunikmati di dunia inilah yang menjadi ganjaranku dari Allah.”
- Menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah saw bersabda,
“Sebaik-baik harta yang saleh adalah yang ada pada orang saleh.” Beliau juga
memerintahkan kepada kita, “Jauhkanlah dirimu dari neraka walau dengan hanya
sebelah kurma.”
- Menjadi fasilitas untuk silaturahim.
Infaq adalah baik. Dan infaq kepada
kerabat adalah lebih baik lagi. Karena selain bernilai taqarrub, perbauatan itu
juga merupakan upaya silaturahim. Rasulullah saw. bersabda, “Shadaqah kepada
orang misikin adalah satu shadaqah dan shadaqah kepada orang yang punya
hubungan rahim (kerabat) adalah dua shadaqah: shadaqah dan shilah
(menyambungkan).” (At-Tirmidzi)
- Menjadi fasilitas untuk perjuangan.
Perjuangan Islam jelas tidak mungkin
tanpa dukungan finansial. Kekuatan orang-orang kafir harus dihadapi dengan
kekuatan optimal kaum muslimin. Dan tentu saja salah satu kekutan itu adalah
kekuatan maliyyah (finansial).
Itulah sebagian ajaran Islam yang
terkait dengan kekayaan. Jadi, menjadi orang kaya, siapa takut? Allahu a’lam.
Sumber: www.dakwatuna.com