وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ
إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
"Dan carilah, pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu, (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada
orang lain), sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan." – (QS.Al-Qashash {28}:77)
Zuhud adalah salah satu akhlak utama
seorang muslim. Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk
meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannnya. Apakah itu kekuasaan,
harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud adalah
karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin
awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin
tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.
Apalagi seorang dai. Jika orang
banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak
akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu
sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus
menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda:
“Zuhudlah terhadap apa yang ada di
dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi
manusia, maka manusia pun akan mencintaimu”
(HR Ibnu Majah, tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Makna dan Hakikat Zuhud
Makna dan hakikat zuhud banyak
diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23
berikut ini.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat
(nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan
kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
mempunyai karunia yang besar.
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.”
Ayat di atas tidak menyebutkan kata
zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna dan hakikat zuhud. Ayat ini
menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang
kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk
berlomba meraih ampunan dari Allah dan surga-Nya di akhirat.
Selanjutnya Allah menyebutkan
tentang musibah yang menimpa manusia adalah ketetapan Allah dan bagaimana
orang-orang beriman harus menyikapi musibah tersebut. Sikap yang benar adalah
agar tidak mudah berduka terhadap musibah dan apa saja yang luput dari
jangkauan tangan. Selain itu, orang yang beriman juga tidak terlalu gembira
sehingga hilang kesadaran terhadap apa yang didapatkan. Begitulah metodologi
Al-Qur’an ketika berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang
mengarahkan manusia untuk bersikap zuhud.
Dari ayat itu juga, kita mendapat
pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui
hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya
ketika manusia mencintanya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik
kenikmatannya maupun penderitaannya.
Demikian juga ketika Rasulullah
saw., ingin membawa para sahabatnya pada sikap zuhud, beliau memberikan panduan
bagaimana seharusnya orang-orang beriman menyikapi kehidupannya di dunia.
Rasulullah bersabda, ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau
musafir.”(HR Bukhari). Selanjutnya Rasulullah mencontohkan langsung
kepada para sahabat dan umatnya bagaimana hidup di dunia. Beliau adalah orang
yang paling rajin bekerja dan beramal shalih, paling semangat dalam ibadah,
paling gigih dalam berjihad. Tetapi pada saat yang sama beliau tidak mengambil
hasil dari semua jerih payahnya di dunia berupa harta dan kenikmatan dunia.
Kehidupan Rasulullah saw. sangat sederhana dan bersahaja. Beliau lebih
mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhaan Allah swt. Ibnu Mas’ud
ra. melihat Rasulullah saw. tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga
membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah saw., bagaimana kalau
saya ambilkan untukmu kasur?” Maka Rasulullah saw. menjawab, ”Untuk apa dunia
itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah
pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)
Para ulama memperjelas makna dan
hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya
sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia
bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap
dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada
di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk
mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun
berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud
adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah
meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah
meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”
Keutamaan Zuhud terhadap Dunia
Zuhud merupakan sifat mulia orang
beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya baik harta,
wanita, maupun tahta. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Tapi, orang
beriman beramal shalih di dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk
kemaslahatan manusia, kemudian mereka meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas
dan kenikmatan yang halal di dunia. Pada saat yang sama, hati mereka tidak
tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan
akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman
beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan
kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di akhirat.
Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an dan
beberapa Hadits yang menerangkan keutamaan zuhud terhadap dunia:
Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan
di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku
kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk
orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka
dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah; dan Allah Maha
Melihat akan hamba-hamba-Nya.
(Ali Imran: 14-15).
Dan berilah perumpamaan kepada
mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan
dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi,
kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan
adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi: 45-46)
Dan tiadalah kehidupan dunia ini
melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 64).
Rasulullah saw. bersabda, “Demi
Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada
kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat
sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba,
dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Rasulullah saw. mengabarkan kepada
kita bahwa didatangkan orang yang paling senang di dunia sedang dia adalah ahli
neraka di hari kiamat, dicelupkan ke dalam api neraka satu kali celupan.
Kemudian ditanya, ”Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kebaikan?
Apakah engkau merasakan kenikmatan (di dunia)?” Maka dia menjawab, ”Tidak, demi
Allah, wahai Rabbku.” Kemudian didatangkan orang yang paling menderita di dunia
dan dia ahli surga, dicelupkan satu kali celupan di surga. Kemudian ditanya,
”Wahai Anak Adam, apakah engkau pernah menderita kesulitan? Apakah lewat padamu
suatu kesusahan (di dunia)?” Maka ia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai
Rabbku, tidak pernah aku mengalami kesusahan dan kesulitan sedikitpun.” (HR
Muslim)
Rasulullah bersabda, “Demi Allah,
perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang menyelupkan tangannya ke
dalam lautan, lihatlah apa yang tersisa.” (HR Muslim)
Tanda-tanda Zuhud
Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3
tanda-tanda zuhud, yaitu: pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada
dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di sisinya
orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan. Ketiga,
hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya
ketaatan. Karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan. Apakah cinta Allah
atau cinta dunia. Dan keduanya tidak dapat bersatu.
Jadi, tanda zuhud adalah tidak
adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian
dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah.
Yahya bin Yazid berkata, ”Tanda
zuhud ada dermawan dengan apa yang ada.” Imam Ahmad bin Hambal dan Sufyan r.a.
berkata, ”Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”
Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh
para sahabatnya: Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf.
Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua
harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta
mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman. Mereka
adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak
tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala
kenikmatannya. Abu Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan
kami, bukan di hati kami.”
Suatu saat Ibnu Umar mendengar
seseorang bertanya, ”Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai
akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan
Umar, seraya balik bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang mereka?”
Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin
‘Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sekian banyak
gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfakkan harta tersebut dalam
rangka mentaati Allah, dan bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”
Dengan demikian hanya orang yang
berimanlah yang dapat memakmurkan bumi dan memimpin dunia dengan baik, karena
mereka tidak menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Demikianlah cara umat
Islam memimpin dunia, mulai dari Rasulullah saw., khulafaur rasyidin sampai
pemimpin berikutnya. Pemerintahan Islam berhasil menghadirkan keamanan,
perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Perdaban dibangun atas dasar keimanan
dan moral. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang
paling zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan.
Tidak ada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah
tercukupi.
Tingkatan Zuhud
Zuhud orang-orang beriman memiliki
tingkatan. Zuhud terhadap yang haram, zuhud terhadap yang makruh, zuhud
terhadap yang syubhat, dan zuhud terhadap segala urusan dunia yang tidak ada
manfaatnya untuk kebaikan hidup di akhirat.
Zuhud terhadap yang haram hukumnya
wajib. Orang-orang beriman harus zuhud atau meninggalkan segala sesuatu yang
diharamkan Allah. Bahkan sifat-sifat orang beriman, bukan hanya meninggalkan
yang diharamkan, tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna.
Kualitas keimanan dan keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya
dalam meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna.” (Al-Mu’minun: 3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara
tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.”
(HR At-Tirmidzi)
Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada
tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya
orang awwam. Kedua, meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah
zuhudnya golongan yang khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang
menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang `arif.”
Hal yang berkaitan dengan zuhud ada
6 perkara. Seseorang tidak berhak menyandang sebutan zuhud sehingga bersikap
zuhud terhadap 6 perkara tersebut, yaitu; harta, rupa (wajah), kedudukan
(kekuasaan), manusia, nafsu, dan segala sesuatu selain Allah. Namun demikian,
ini bukan berarti menolak kepemilikan terhadapnya. Nabi Daud a.s. dan Nabi
Sulaiman a.s. adalah orang yang paling zuhud di zamannya, tetapi memiliki
banyak harta, wanita, dan kedudukan.
Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang
paling zuhud, tetapi juga punya beristri lebih dari satu. Sembilan dari sepuluh
sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin Abi Thalib,
semuanya kaya raya, tetapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang paling
zuhud. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin
Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi
Thalib adalah sahabat yang paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal
dunia, beliau meninggalkan 21 wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak
wanita.
Setiap orang beriman harus
senantiasa meningkatkan kualitas zuhudnya. Itulah yang akan memberinya
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah swt.
Orang-orang yang berkerja keras mencari nafkah dengan cara yang halal. Ketika
berhasil meraih banyak harta kemudian menunaikan kewajiban atas harta tersebut,
seperti zakat, infak, dan lainnya. Dengan berlaku seperti itu, dia termasuk
orang zuhud. Orang-orang yang beriman yang memiliki istri lebih dari satu untuk
membersihkan dirinya (iffah) adalah termasuk orang yang zuhud.
Sedangkan orang kafir,
karakteristiknya adalah rakus terhadap kehidupan dunia dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkannya. Bagi mereka tidak ada istilah halal dan haram.
Mereka tidak mengenal perbedaan antara nikah dengan zina, antara hadiah dengan
suap, antara bisnis dengan riba, antara makanan halal dengan yang haram. Bahkan
pada hal yang dianggap tabu saja orang-orang kafir berupaya menghalakan
semuanya. Perzinaan mereka menghalalkan dengan dalil hak asasi manusia.
Berawal dari kebebasan hak untuk
membuka aurat dalam berbusana. Permisif dalam pergaulan dengan membolehkan
berduaan di tempat sepi. Berciuman di tempat umum dijadikan hal lumrah.
Sehingga, perilaku perzinaan menjadi berita yang selalu dipertontonkan di teve
dan dikabarkan di tabliod. Dari mulai perzinaan lelaki dengan perempuan yang
belum menikah, perzinaan lelaki dan perempuan yang sudah menikah, sampai
perzinaan sejenis: lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Dari
perzinaan inces sampai perzinaan yang dilakukan bukan pada tempatnya. Begitulah
kehidupan orang kafir. Mereka seperti hewan, bahkan lebih rendah lagi. Allah
berfirman, “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka
makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal
mereka.” (Muhammad: 12)
Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Allah
menjadikan segenap keburukan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah
cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah, dan
menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.”
Tragisnya, kepemimpinan dunia saat
ini dikuasai oleh orang-orang kafir. Sehingga, kerusakannya sangat dahsyat.
Jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Pola hidup materialisme mendominasi di
hampir semua lapangan kehidupan. Tolok ukur kesusesan diukur dari sejauh mana
berhasil meraup sebanyak-banyak materi, tanpa memperhatikan ukuran agama dan
moral. Maka berlomba-lombalah setiap orang menjual diri dan harga diri untuk
meraih sebanyak-banyaknya materi. Dan mayoritas umat Islam terimbas budaya
materialisme itu. Pola hidupnya mirip dengan orang kafir sehingga terjadilah
kerusakan yang sangat dahsyat. Realitas seperti inilah yang dikhawatirkan oleh
Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya dimana umat Islam terkena virus wahn
(cinta dunia dan takut mati) dan berpola hidup materialisme hampir sama dengan
orang kafir.
Cinta dunia dan rakus terhadap harta
adalah penyakit yang paling berbahaya. Segala bentuk kejahatan bermuara dari
kerakusan terhadap dunia dan pola hidup materialisme: perzinaan dan seks bebas,
penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, korupsi, dan lain sebagainya.
Karenanya, Rasulullah saw. mengingatkan akan bahaya rakus terhadap harta, ”Tidaklah
dua serigala lapar yang dikirim pada kambing melebihi bahayanya daripada
kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi)
Upaya penyadaran kembali umat Islam
tentang hakikat dunia dan akhirat sangat penting. Bahwa keimanan terhadap hari
akhir adalah prinsip yang harus terus menerus diingat dan ditanamkan kepada
umat Islam sehingga motivasi dan tujuan hidup mereka sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin baik dan
semakin zuhud. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang kepada hari akhir,
akan semakin jahat dan semakin rakus.
Dalam sebuah riwayat disebutkan dua
orang zuhud bertemu, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi. Syaqiq bertanya
kepada Ibrahim, “Apa yang Anda ketahui tentang dunia?” Ibrahim balik bertanya,
“Kalau menurut Anda, bagaimana?” Syaqiq menjawab, “Jika kami tidak
mendapatkanya, maka kami harus bersabar. Dan jika mendapatkannya, maka kami
harus bersyukur.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau seperti itu, maka anjing
Balakh (sebuah kota di Afghanistan) pun melakukannya.” Syaqiq bertanya, “Lalu,
bagaimana menurut pendapat anda?” Ibrahim menjawab, “Jika tidak mendapatkan
dunia, kami bersyukur. Dan jika mendapatnya, kami itsaar
(mengutamakannya untuk orang lain).” Demikianlah bahwa zuhud memang memiliki
tingkatan.
Kesalahpahaman terhadap Zuhud
Banyak orang yang salah paham
terhadap zuhud. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta,
menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian,
karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian
dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh
pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma minta-minta
mengharap sedekah dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah
atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar
memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama
tidak tertipu oleh dunia.
Segala yang halal itu jelas dan
segala yang haram itu jelas, di antara keduanya ada yang syubhat yang harus
kita jauhi dan tinggalkan.
Semoga Allah swt menjadikan kita
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang zuhud, tidak terpedaya kehidupan
dunia, dan menjadikan akhirat sebagai prioritas utama dari segala-galanya dalam
kehidupan dunia.
Wallahu A`lam bishshawab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
www.buyahaerudin.com
0 Comments:
Posting Komentar