Tazkiyah
An-Nafs (Penyucian Jiwa)
تزكية النّفس
Tazkiyah, secara bahasa (harfiah) berarti Tathahhur,
maksudnya bersuci. Seperti yang terkandung dalam kata zakat, yang memiliki
makna mengeluarkan sedekah berupa harta yang berarti tazkiyah
(penyucian). Karena dengan mengeluarkan zakat, seseorang berarti telah
menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia tunaikan.
Salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wa salam adalah untuk membimbing umat manusia dalam rangka
membentuk jiwa yang suci. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ
قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (2)
"Dialah yang mengutus kepada kaum yang
buta huruf seorang Rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah
(As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang
nyata". (Al-Jumu'ah:
2).
Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan
keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari akhir hendaknya benar-benar
memberi perhatian khusus pada tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia harus
berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke dunia ini tak lain adalah untuk
menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat jelas pada jiwa para sahabat
antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya. Sebelum mengenal Al-Islam jiwa
mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme
suku), dendam, iri, dengki dan sebagainya. Namun begitu telah disibghah
(diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW, mereka menjadi
bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.
Keberuntungan dan kesuksesan seseorang, sangat
ditentukan oleh seberapa jauh ia men-tazkiyah dirinya. Barangsiapa tekun
membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya
akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu diperkuat oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali berturut-turut,
padahal dalam Al-Qur'an tidak dijumpai keterangan yang memuat sumpah Allah sebanyak
itu secara berurutan. Marilah kita perhatikan firman Allah sebagai berikut:
"Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,
dan demi bulan apabila mengiringinya, dan malam bila menutupinya, dan langit
serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta
penciptaannya (yang sempurna), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketaqwaannya, sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya,
dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya".(Asy-Syams: 1-10).
Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa
nantinya harta dan anak-anak tidak bermanfaat di akhirat. Tetapi yang bisa
memberi manfaat adalah orang yang menghadap Allah dengan Qalbun Salim ,
yaitu hati yang bersih dan suci.
Firman Allah:
"yaitu di hari harta dan anak laki-laki
tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih".
(Asy-Syu'araa':88-89).
Hakekat Tazkiyatun Nafs
Secara umum aktivitas tazkiyatun nafs
mengarah pada dua kecenderungan, yaitu
- Membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, membuang seluruh penyakit hati.
- Menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji.
Kedua hal itu harus berjalan seiring, tidak
boleh hanya dikerjakan satu bagian kemudian meninggalkan bagian yang lain. Jiwa
yang cuma dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa dibarengi dengan menghiasi
dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak sempurna.
Sebaliknya, sekedar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa menumpas
penyakit-penyakit hati, juga akan sangat ironis. Tidak wajar. Ibaratnya seperti
sepasang pengantin, sebelum berhias dengan beragam hiasan, mereka harus mandi
terlebih dahulu agar badannya bersih. Sangat buruk andaikata belum mandi
(membersihkan kotoran-kotoran di badan) lantas begitu saja dirias. Hasilnya
tentu sebuah pemandangan yang mungkin saja indah tetapi bila orang mendekat
akan tercium bau tak sedap.
Wasilah Tazkiyatun Nafs
Wasilah (sarana) untuk men-tazkiyah jiwa
tidak boleh keluar dari patokan-patokan syar'i yang telah ditetapkan Allah dan
rasul-Nya. Seluruh wasilah tazkiyatun nafs adalah beragam ibadah dan
amal-amal shalih yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Kita
dilarang membuat wasilah-wasilah baru dalam menyucikan jiwa ini yang
menyimpang dari arahan kedua sumber hukum Islam tersebut. Misalnya seperti
yang dilakukan oleh beberapa penganut kejawen, dimana dalam membersihkan jiwa (tazkiyatun
nafs) mereka melakukan puasa pati geni (puasa terus menerus sehari
semalam/wishal) sambil membaca sejumlah mantra. Ada lagi yang
mensyariatkan mandi di tengah malam atau berendam di sungai selama beberapa
waktu yang ditentukan. Cara-cara bid'ah semacam ini jelas tidak bisa dibenarkan
dalam Islam.
Sesungguhnya rangkaian ibadah yang diajarkan
Allah dan RasulNya telah memuat asas-asas tazkiyatun nafs dengan
sendirinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa inti dari ibadah-ibadah seperti shalat,
shaum, zakat, haji dan lain-lain itu tidak lain adalah aspek-aspek tazkiyah.
Shalat misalnya, bila dikerjakan secara
khusyu', ikhlas dan sesuai dengan syariat, niscaya akan menjadi pembersih jiwa,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut:
Abu Hurairah radhiyallaahu anhu berkata: Saya
telah mendengar Rasulullah n bersabda: "Bagaimanakah pendapat kamu
kalau di muka pintu (rumah) salah satu dari kamu ada sebuah sungai, dan ia
mandi daripadanya tiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya? Jawab
sahabat: Tidak. Sabda Nabi: "Maka demikianlah perumpamaan shalat lima
waktu, Allah menghapus dengannya dosa-dosa". (HR Al-Bukhari dan
Muslim).
Dari hadits di atas nampak sekali bahwa misi
utama penegakan shalat adalah menyangkut tazkiyatun nafs. Artinya,
dengan shalat secara benar (sesuai sunnah), ikhlas dan khusyu', jiwa akan
menjadi bersih, yang digambarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
seperti mandi di sungai lima kali. Sebuah perumpamaan atas terhapusnya
kotoran-kotoran dosa dari jiwa. Secara demikian, bisa kita bayangkan kalau
ibadah shalat ini ditambah dengan shalat-shalat sunnah. Tentu nilai kebersihan
jiwa yang diraih lebih banyak lagi.
Demikian pula masalah shaum (puasa).
Hakekat puasa yang paling dalam berada pada aspek tazkiyah. Sabda
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam:
"Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan
dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum".
(HR Al-Bukhari,
Ahmad dan lainnya).
Dalam hadits yang lain disebutkan:
"Adakalanya orang berpuasa, bagian dari
puasanya (hanya) lapar dan dahaga". (HR Ahmad).
Ini menunjukkan betapa soal-soal tazkiyatun
nafs benar-benar mewarnai dalam ibadah puasa, sehingga tanpa membuat-buat
syariat baru sesungguhnya apa yang datang dari syariat Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bila diresapi secara mendalam benar-benar telah mencukupi.
Hal yang sama dijumpai pada ibadah qurban.
Esensi utama qurban adalah ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
berarti soal pembersihan jiwa dan bukan terbatas pada daging dan darah qurban.
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Daging-daging dan darahnya itu,
sekali-kali tidak dapat mencapai derajat (keridhaan) Allah, tetapi keaqwaan
daripada kamulah yang dapat mencapainya".(Al-Hajj: 37).
Kalau diteliti lagi masih banyak sekali ibadah
dalam syariat Islam yang muara akhirnya adalah pembersihan jiwa. Dengan
mengikuti apa yang diajarkan syariat, niscaya seorang muslim telah mendapatkan tazkiyatun
nafs. Contohnya adalah para sahabat Rasulullah n. Mereka adalah generasi
yang paling dekat dengan zaman kenabian dan masih bersih pemahaman agamanya,
karenanya mereka memiliki jiwa-jiwa yang suci lantaran ber-ittiba' pada
sunnah Rasul dan tanpa menciptakan cara-cara bid'ah dalam tazkiyatun nafs.
Mereka mendapatkan kesucian jiwa tanpa harus menjadi seorang sufi yang hidup
dengan syariat yang aneh-aneh dan njlimet (rumit).
Bagi seorang muslim, ia harus berupaya
menggapai masalah tazkiyatun nafs dari serangkaian ibadah yang
dikerjakannya. Artinya, ibadah yang dilakukan jangan hanya menjadi gerak-gerak
fisik yang kosong dari ruh keimanan dan taqarrub kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Sebaliknya, ibadah apapun yang kita kerjakan hendaknya juga
bernuansa pembersihan jiwa. Dengan cara seperti inilah, insya Allah kita bisa
mencapai keberuntungan.
Wallahu' a'lam bis shawab.
Maraji': Tazkiyatun
nufuus wa Tarbiyatuha Kama Yuqorriruhu 'Ulama'us Salaf (Dr. Ahmad Faried). Riyadhus
Shalihin, Imam Nawawi. Risalah Ramadhan , Abdullah bin Jarullah bin
Ibrahim Al-Jarullah.
0 Comments:
Posting Komentar