Menyelami dalamnya lautan ilmu Islam hingga nampak cahaya dan terasa indah dalam sukma

Fi`il Mudhari` Marfu`

Fi`il Mudhari` Manshub

Pembagian hadits berdasarkan kualitas


Berdasarkan pada kuat lemahnya hadits tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu hadits maqbul (diterima) dan mardud (tertolak). Hadits yang diterima terbagi menjadi dua, yaitu  haditsyang shahih dan hasan. Sedangkan yang tertolak disebut juga dengan dhaif.


1. Hadits Yang Diterima(Maqbul)

Hadits yang diterima dibagi menjadi2 (dua):


1. 1. Hadits Shahih

1. 1. 1. Definisi:




Kata shohih secara etomologi mengikuti wazan fa'iilun yang terbentuk dari mashdar shihah yang mempunyai arti sehat (tidak sakit). Pemakaian kata shohih yang digunakan pada hadits hanyalah sebuah majaz. Berbagai macam definisi yang diungkapkan oleh para pakar hadits mengenai definisi hadits shohih, akan tetapi pada dasarnya semuanya adalah sama. Menurut Imam Ibnu al-Sholah t, hadits shohih adalah:

الصحيح: فهو الحديث المسند، الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا، ولا معللاً.

"Hadits Shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan penukilan oleh orang yang adil lagi dhobith dari orang yang adil lagi dhobith dan seterusnya sampai selesai, tanpa adanya penyimpangan maupun cacat."

 

Menurut Imam al-Nawawi t, yang dinamakan dengan hadits shohih adalah:

وهو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة.

"Hadits shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan orang-orang yang adil lagi dhobith tanpa adanya penyimpangan dan cacat."

Sebenarnya masih banyak definisi-definisi yang diungkapkan oleh para muhadditstsin, akan tetapi tidak kami paparkan semuanya dalam modul  yang singkat ini. Dari kedua definisi di atas, dapat kita simpulkan, bahwa hadits shohih mempunyai beberapa unsur:

a. Kesinambungan sanad, yakni isnad dari matan itu. Dengan cara setiap rawinya meriwayatkannya dari gurunya (syeikh) mulai dari awal sanad hingga akhirnya. Dari definisi di atas maka terdapat hadits yang tidak muttasil (bersambung) yaitu; mursal, munqati', mu'dhal dan mu'allaq.

b. Keadilan rawi, keadilan adalah sifat yang mendorong manusia untuk selalu bertaqwa dan memelihara diri. Dan yang dimaksud dengan hal itu adalah keadilannya dalam menyampaikan riwayat.

c. Ketelitian sempurna dari rawinya, yang dimaksud dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaan dan kedudukannya pada tingkat yang tinggi. Ketelitian ada dua macam. Pertama, ketelitian hafalan, yaitu apabila ia menetapkan apa yang didengarnya di dalam dadanya, sehingga ia bisa mengingatnya kapan saja bila ia mau. Kedua, ketelitian tulisan, yaitu apabila riwayatnya berasal dari sebuah kitab yang dijaganya dan dikoreksinya.

d. Tidak ada penyimpangan (tidak syadz), artinya hadits tersebut bukanlah hadits yang syadz (menyimpang). Syadz adalah bertentangannya seorang rawi yang tsiqah dengan rawi yang lebih tsiqah darinya.

e. Tidak ada cacat, yakni tidak terdapat cacat pada hadits itu. Cacat ialah sifat tersembunyi yang menimbulkan kendala bagi penerimanya, sedangkan lahirnya adalah bersih darinya.


1. 1. 2. Syarat-Syarat Hadits Shahih:

Untuk bisa dikatakan sebagai hadits shahih, maka sebuah hadits haruslah memenuhi kriteria berikut ini:

  • Rawinya bersifat adil, artinya seorang rawi selalu memelihara ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak melakukan perkara mubah yang dapat menggugurkan iman, dan tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’
  • Sempurna ingatan (dhabith), artinya ingatan seorang rawi harus lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya harus lebih banyak daripada kesalahannya, menguasai apa yang diriwayatkan, memahami maksudnya dan maknanya
  • Sanadnya tiada putus (bersambung-sambung) artinya sanad yang selamat dari keguguran atau dengan kata lain; tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari yang memberi hadits.
  • Hadits itu tidak ber’illat (penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits)
  • Tidak janggal, artinya tidak ada pertentanganantara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits
    yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin daripadanya.

1.1.3. Contoh Hadits Shohih

صحيح البخاري - (ج 1 / ص 3)

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ

قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ.

Hadist di atas diriwayatkan oleh Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhori t dalam kitabnya al-Jami' al-Shahih al-Musnad min Hadits Rasulillah e wa Sunanihi wa Ayyamihi. Hadits tersebut dikatakan sebagai hadits yang shohih karena:

1.  Sanadnya bersambung, karena setiap rawi yang meriwayatkan hadits di atas memperoleh dari gurunya.

2.  Para rawi hadits di atas adalah rawi-rawi yang adil dan dlabith.

3.  Para rawinya mempunyai ketelitian yang sempurna. Yang dimaksud dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaan dan kedudukannya pada tingkat yang tinggi.

4.  Hadits tersebut tidak syadz (tidak ada peyimpangan), karena tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat.

5.  Tidak terdapat illat (cacat) dalam hadits tersebut.

Jika sebuah hadits telah memenuhi lima persyaratan di atas, maka hadits itu bisa dikatakan sebagai hadits shohih lidzatihi.

1.1.4. Klasifikasi Hadits Shohih

Hadits shohih dibagi menjadi dua:

a.      Hadits Shohih Lidztihi, yaitu hadits-hadits yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan diatas.

b.      Hadits Shohih Lighairihi.

Kedlabitan seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan hadits shahih lidzatihi turun nilainya menjadi hadits hasan lidzatihi. Akan tetapi jika kekurangsempurnaan rawi tentang kedlabitannya itu dapat ditutupi, misalnya hadits hasan lidzatihi tersebut mempunyai sanad lain yang lebih dlobith, maka naiklah hadits hasan lidztihi ini menjadi hadits shahih lighairihi. Dengan demikian hadits shohih lighairih dapat didefinisikan sebagai:

مَا كَانَ رُوَاتُهُ مُتَأَخِّراً عَنْ دَرَجَةِ الْحَافِظِ الضَّابِطِ، مَعَ كَوْنِهِ مَشْهُوْراً بِالصِّدْقِ حَتَّي يَكُوْنَ حَدِيْثُهُ حَسَنًا ثُمَّ وُجِدَ فِيْهِ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍمُسَاوٍ لِطَرِيْقِهِ أَوْ اَرْجَحُ مَا يَجْبُرُ ذَلِكَ الْقُصُوْرَ الْوَاقِعَ فِيْهِ.

"Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidz dan dlabith, tetapi mereka masih terkenal dengan orang yang jujur sehingga hadisnya adalah hasan. Kemudian terdapat hadits dari jalur lain yang rawinya sama atau lebih kuat, sehingga dapat menutupi kekurangan pada hadits itu."[4][19]

Atau dengan ungkapan yang lebih singkat, hadits shohih lighairihi dapat didefinisikan sebagai hadits hasan lidztihi ketika diriwayatkan dari jalur lain yang nilainya sama atau lebih kuat. Hadits ini dinamakan sebagai shohih lighairihi, karena keshohihan hadits tersebut tidak datang dari esensi sanad, akan tetapi karena berkumpulnya beberapa sanad. Kedudukan hadits shohih lighairih berada di atas hadits hasan lidzatihi dan di bawah hadits shohih lidzatihi.

        Contoh Hadits Shohih Lighairih

سنن الترمذى - (ج 1 / ص 41)

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ.

Imam Ibnu Shalah mengatkan bahwa Muhammad bin Umar bin Alqamah terkenal dengan kejujurannya, akan tetapi tidak termasuk dalam kategori rawi yang ahli al-itqan (tingkat kedlobitannya tinggi), sehingga sebagian ulama mendloifkannya dilihay dari segi keburukan hafalannya dan sebagian yang lain mentsiqahkannnya karena memandang kejujuran dan keagungannya. Maka hadits tersebut dengan sanad semacam ini dikatakan sebagai hadits hasan. Kemudian apabila hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain yang nilai sanadnya sama atau lebih tinggi, maka kekurangan yang terdapat pada sanad pertama (buruknya hafalan) dapat dipenuhi dari jalur lain. Sehingga sanad hadits tersebut menjadi shohih dan hadits tersebut disebut dengan hadits shohih lighairihi.Karena selain diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari jalur Muhammad bin Umar bin Alqamah, hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari jalur Abu Zinnad, dari al-A'raj, dari Abu Hurairah.

صحيح البخاري - (ج 3 / ص 405)



1. 2. Hadits Hasan

1.2.1. Definisi

Secara etimologi, hasan merupakan sifat musytabihat dari kata al-husnu yang mempunyai makna al-jamal (bagus/elok/cantik) atau dapat diartikan sebagai sesuatu yang disukai oleh hati.

Mengenai definisi hadits hasan secara terminologi, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Hal itu disebabkan karena posisi hadits hasan yang berada diantara hadits shohih dan dloif. Imam al-Khuthobi mendefinisikannya sebagai hadits yang diketahui tempat keluarnya dan terkenal para rawinya. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits hasan adalah setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits tersebut diriwayatkan tidak dari satu jalur (mempunyai banyak jalur) yang sepadan maknanya. Sedangkan mayoritas ahli hadits menta'rif hadits hasan sebagai:

مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلِّلٍ وَلَا شَاذٍّ. 

"Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya."



1.2.2. Klasifikasi Hadits Hasan

Hadits hasan terbagi menjadi dua:

a.      Hasan Lidzatihi

Yaitu hadits yang sanadnya bersambung dengan dinukil dari orang adil yang kadlabitannya dibawah derajat perawi hadits shahih serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat dalam matannya. Dari keterangan di atas dapat disimpulakan bahwa uraian yang telah disampaikan oleh para muhaddtsin tentang hadits hasan adalah hadits hasan lidzatihi. Kesimpulannya ketika suatu hadits itu dikatakan sebgai hadits hasan, maka yang dimaksud adalah hasan lidzatihi.

Syarat-syarat hadits hasan:

1)      Sanadnya bersambung

2)      Para rawinya adil

3)      Para rawinya dlabith. Maksudnya derajat kedlabitannya dibawah rawi hadits shahih

4)      Tidak terdapat syudzudz (kejanggalan dalam matan)

5)      Tidak terdapat illat (cacat dalam matan).

Contoh Hadits Hasan:

تحفة الأحوذي - (ج 4 / ص 335)

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ الضُّبَعِيُّ عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الْجَوْنِيِّ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ قَال سَمِعْتُ أَبِي بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ يَقُولُ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ....

Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits itu adalah hadits hasan lagi asing. Hadits tersebut dikatakan sebagai hadits hasan karena para rawi hadits tersebut adalah tsiqat, kecuali Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i. Para Ahli al-Jarhi wa Ta'dil berselisih tentang ketsiqahan dan kedloifan Ja'far bin Sulaiman al-Dluba'i[6][28]. Oleh karena itu hadits tersebut turun derajatnya dari shohih menjadi hasan.

b.      Hasan Lighairihi

Hadits hasan lighairih adalah hadits dloif yang jalurnya banyak (sanadnya dari berbagai jalur) dan sebab kedlaifannya bukan karena kefasikan atau kedustaan seorang rawi. Dari definisi ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hadits dloif bisa naik derajatnya menjadi hadits hasan lighairihi dengan dua hal:



1)      Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain, baik kualitas sama atau lebih kuat.

2)     Kedloifan hadits tersebut adakalanya disebabkan karena; buruknya hafalan rawi, terputusnya sanad atau rawinya tidak diketahui biografinya.

Contoh hadits hasan lighairihi:

تحفة الأحوذي - (ج 2 / ص 68)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلْيَمَسَّ أَحَدُهُمْ مِنْ طِيبِ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَالْمَاءُ لَهُ طِيبٌ.

"Merupakan suatu hak bagi orang-orang muslim untuk mandi di hari Jum'at. Hendaklah salah seorang diantara mereka mengusapkan wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh, airpun cukup menjadi wangi-wangian."

Hadis ini dikatakan sebagi hadits dloif, karena pada rawinya terdapat Ismail bin Ibrahim al-Taimi yang didloifkan oleh para ahli hadits. Akan tetapi hadits ini naik derajatnya menjadi hasan lighairihi karena selain dari jalur Ismail bin Ibrahim al-Taimi, ternyata juga terdapat jalur lain yang berasal dari Ahmad bin Manba' lalu Husyaim, dari Yazid bin Abi Ziyad. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui Husyaim, dari Yazid bin Ziyad. Kemudian hadits senada tentang kesunahan memakai wangi-wangian juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.

Berikut adalah hadits-hadits pendukung terahadap hadits Ismail bin Ibrahim al-Taimi.  

تحفة الأحوذي - (ج 2 / ص 68)

قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَشَيْخٍ مِنْ الْأَنْصَارِ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ الْبَرَاءِ حَدِيثٌ حَسَنٌ وَرِوَايَةُ هُشَيْمٍ أَحْسَنُ مِنْ رِوَايَةِ إِسْمَعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ وَإِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ.

مسند أحمد - (ج 37 / ص 444)

حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ الْحَقِّ عَلَى الْمُسْلِمِينَ أَنْ يَغْتَسِلَ أَحَدُهُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَأَنْ يَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَ أَهْلِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُمْ طِيبٌ فَإِنَّ الْمَاءَ أَطْيَبُ.

صحيح البخاري - (ج 3 / ص 394)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَرَمِيُّ بْنُ عُمَارَةَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي بَكرِ بْنِ الْمُنكَدِرِ قَالَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ سُلَيْمٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ قَالَ

أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ

 صحيح مسلم - (ج 4 / ص 313)

و حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ سَوَّادٍ الْعَامِرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ أَبِي هِلَالٍ وَبُكَيْرَ بْنَ الْأَشَجِّ حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ

إِلَّا أَنَّ بُكَيْرًا لَمْ يَذْكُرْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ فِي الطِّيبِ وَلَوْ مِنْ طِيبِ الْمَرْأَةِ.

سنن أبى داود - (ج 1 / ص 420)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ الْمُرَادِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ أَبِي هِلَالٍ وَبُكَيْرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَالسِّوَاكُ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قُدِّرَ لَهُ

إِلَّا أَنَّ بُكَيْرًا لَمْ يَذْكُرْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ فِي الطِّيبِ وَلَوْ مِنْ طِيبِ الْمَرْأَةِ.

Dengan demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari jalur Abu Yahya Isma'il bin Ibrahim yang dloif itu naik derjatnya menjadi hasan lighairihi. Karena kadloifannya telah diangkat oleh muttabi', yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi sendiri dan Imam Ahmad dan diangkat pula oleh syahid, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan Abu Dawud.


Hasan Lidzatih

Yaitu hadits hasan yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Atau hadits yang bersambung-sambung sanadnya denganorang yang adil yang kurang kuat hafalannya dan tidak terdapat padanya sydzudz dan illat.

Di antara contoh hadits ini adalah:

لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة

Seandainya aku tidak memberatkan umatku, maka pasti aku perintahkan untuk menggosok gigi setiap waktu shalat

Hadits Hasan lighairih

Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.

Ringkasnya, hadits hasan li ghairihi ini asalnya adalah hadits dhaif (lemah),
namun karena ada ada mu’adhdhid, maka derajatnya naik sedikit menjadi hasan lighairihi. Andaikata tidak ada ‘Adhid, maka kedudukannya dhaif.

Di antara contoh hadits ini adalah hadits tentang Nabi SAW membolehkan wanita menerima mahar berupa sepasang sandal:

أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، فأجاز

“Apakah kamu rela menyerahkan diri dan hartamu dengan hanya sepasang sandal ini?” Perempuan itu menjawab,“Ya.” Maka nabi SAW pun membolehkannya.

Hadits ini asalnya dhaif (lemah),karena diriwayatkan oleh Turmuzy dari ‘Ashim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa ‘Ashim ini dhaif lantaran lemah hafalannya. Namun karena ada jalur lain yang lebih kuat, maka posisi hadits ini menjadi hasan li ghairihi.

Kedudukan Hadits Hasan adalah berdasarkan tinggi rendahnya ketsiqahan dan keadilan para rawinya, yang palingtinggi kedudukannya ialah yang bersanad ahsanu’l-asanid.

Hadits Shahih dan Hadits Hasanini diterima oleh para ulama untuk menetapkan hukum (Hadits Makbul).



Hadits Hasan Naik Derajat Menjadi Shahih

Bila sebuah hadits hasan lidzatihi diriwayatkan lagi dari jalan yang lain yang kuat keadaannya, naiklah dia dari derajat hasan li dzatihi kepada derajat shahih. Karena kekurangan yang terdapat pada sanad pertama, yaitu kurang kuat hafalan perawinya telah hilang dengan ada sanad yang lain yang lebih kuat, atau dengan ada beberapa sanad lain.


2. Hadits Mardud (Tertolak)

Setelah kita bicara hadits maqbul yang di dalamnya adahadits shahih dan hasan, sekarang kita bicara tentang kelompok yang kedua, yaitu hadits yang tertolak.

Hadits yang tertolak adalah hadits yang dhaif dan juga hadits palsu. Sebenarnya hadits palsu bukan termasuk hadits, hanya sebagian orang yang bodoh dan awam yang memasukkannya ke dalam hadits. Sedangkan hadits dhaif memang benar sebuah hadits, hanya saja karena satu sebab tertentu, hadis dhaif menjadi tertolak untuk dijadikan landasan
aqidah dan syariah.

2.1 Definisi:

Hadits Dhaif yaitu hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari
syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan.

Hadits Dhaif merupakan hadits Mardud yaitu hadits yang tidak diterima oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.

2.2. Penyebab Tertolak

Ada beberapa alasan yang menyebabkan tertolaknya Hadits Dhaif, yaitu:

2.2.1 Adanya Kekurangan pada Perawinya

Baik tentang keadilan maupun hafalannya, misalnya karena:

  • Dusta (hadits maudlu)
  • Tertuduh dusta (haditsmatruk)
  • Fasik, yaitu banyak salah lengah dalammenghafal
  • Banyak waham (prasangka) disebut hadits mu’allal
  • Menyalahi riwayat orang kepercayaan
  • Tidak diketahui identitasnya (hadits Mubham)
  • Penganut Bid’ah (hadits mardud)
  • Tidak baik hafalannya (hadits syadz dan mukhtalith)

2.2.2. Karena Sanadnya Tidak Bersambung

  • Kalau yang digugurkan sanad pertama disebut hadits mu’allaq
  • Kalau yang digugurkan sanad terakhir (sahabat) disebut hadits mursal
  • Kalau yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut disebut hadits mu’dlal
  • Jika tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’

2. 2. 3. Karena Matan (Isi Teks) Yang Bermasalah

Selain karena dua hal di atas, kedhaifan suatu hadits bisa juga terjadi karena kelemahan pada matan. Hadits Dhaif yang disebabkan suatu sifat pada matan ialah hadits Mauquf dan Maqthu’

Oleh karenanya para ulama melarang menyampaikan hadits dhaif tanpa menjelaskan sanadnya. Adapun kalau dengan sanadnya, mereka tidak mengingkarinya

2.3. Hukum Mengamalkan Hadits Dhaif

Segenap ulama sepakat bahwa hadits yang lemah sanadnya (dhaif) untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram adalah terlarang. Demikian juga dengan hukum jual beli, hukum akad nikah, hukum thalaq dan lain-lain.

Tetapi mereka berselisih fahamtentang mempergunakan hadits dha’if untuk menerangkan keutamaan amal, yangsering diistilahkan dengan fadhailul a’mal, yaitu untuk targhib atau memberi semangat menggembirakan pelakunya atau tarhib (menakutkanpelanggarnya).

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim menetapkan bahwa bila hadits dha’if tidak bisa digunakan meski hanya untuk masalah keutamaan amal. Demikian juga para pengikut Daud Azh-Zhahiri serta Abu Bakar Ibnul Arabi Al-Maliki. Tidak boleh siapapun dengan tujuan apapun vmenyandarkan suatu hal kepada Rasulullah SAW, sementara derajat periwayatannya
lemah.







Share:

0 Comments:

Posting Komentar

Latest Posts

Back to Top

Recent Posts

default
Diberdayakan oleh Blogger.

Formulir Kontak

Cari Blog Ini

Blog Archive


CAHAYA ISLAM

Join & Follow Me

Recommend us on Google!

Postingan Populer

Sepakbola GP

Blog Archive